Sastra Sebagai Sebuah Dunia (2)
Melihat
Lewat Perbatasan
Tetapi mengapa perlu mulai dari hipotesis sebuah ruang sastra dunia
dan bukan ruang yang lebih terbatas, yang lebih mudah ditandai
batasnya—kawasan regional atau linguistik, misalnya? Mengapa
memilih awal dengan mengkonstruksi domain kemungkinan paling luas,
yang sangat mengundang risiko? Sebab untuk menyoroti bekerjanya dunia
ini, khususnya bentuk-bentuk dominasi yang berlaku di dalamnya,
dituntut penolakan terhadap kategori-kategori dalam pembagian
nasional mapan; bahkan dituntut adanya mode berpikir trans-nasional
atau antar-nasional. Begitu kita mengadopsi perspektif dunia ini,
seketika kita bisa melihat bahwa perbatasan nasional, atau perbatasan
linguistik, benar-benar menyingkap efek riil dominasi dan ketimpangan
kesusastraan. Penjelasannya sederhana: sastra di seluruh dunia
dibentuk mengikuti model nasional yang diciptakan dan dipromosikan
Jerman pada akhir abad ke-18. Gerakan nasional sastra, yang menyertai
pembentukan ruang politik Eropa sejak permulaan abad ke-19, bermuara
pada esensialisasi kategori kesusastraan dan kepercayaan bahwa garis
terluar ruang kesusastraan harus bertepatan dengan perbatasan
nasional. Bangsa-bangsa dianggap sebagai unit-unit terpisah yang
memagari diri, tidak bisa saling direduksi; dari dalam spesifitas
autarkis mereka, entitas-entitas itu memproduksi objek-objek
kesusastraan dengan ‘keharusan historis’ yang terpahat dalam
sebuah cakrawala nasional. Stefan Collini telah memaparkan tautologi
yang melandasi definisi ‘sastra nasional’ untuk kasus
Britania—atau tepatnya, Inggris; ‘hanya para pengarang yang
menunjukkan karakteristik gamblang diakui sebagai Inggris yang
autentik, sebuah kategori yang definisinya bertumpu pada
contoh-contoh yang tersedia dalam sastra yang ditulis oleh
pengarang-pengarang itu sendiri.’10
Pembagian sastra menurut kebangsaan menghasilkan sebuah bentuk
astigmatisme. Sebuah analisis tentang ruang kesusastraan Irlandia
antara 1890 dan 1930 yang mengabaikan berbagai peristiwa di London
(kekuasaan politik, kolonial serta kesusastraan, yang untuk melawan
hal inilah maka ruang Irlandia itu dibangun) dan di Paris (sumber
alternatif dan kekuasaan kesusastraan yang netral secara politis),
atau diam-diam menganggap sepi peredaran, pengasingan, dan berbagai
bentuk penghargaan yang diberikan di berbagai ibu kota, pasti akan
menimbulkan pandangan parsial dan terdistorsi tentang pertaruhan dan
relasi kekuasaan aktual yang menghadang para pelaku sastra Irlandia.
Begitu pula, sebuah kajian tentang ruang kesusastraan Jerman dari
akhir abad ke-18 yang mengabaikan hubungan kompetitif dengan Perancis
akan berisiko sepenuhnya menyalahpahami upaya-upaya strukturisasinya.
Tentu ini tidak berarti bahwa relasi kesusastraan antar-bangsa adalah
satu-satunya faktor penjelas dalam teks-teks kesusastraan; juga tidak
berarti bahwa kompleksitas kesusastraan direduksi ke dalam dimensi
ini saja. Banyak variabel lain—nasional (yakni yang bersifat
internal bagi bidang kesusastraan nasional), psikologis,
psikoanalisis, formal atau formalis—yang memainkan peran.11
Tampaknya yang lebih perlu diupayakan adalah memperlihatkan, dalam
batas-batas struktural maupun historis, berapa banyak variabel,
konflik atau bentuk-bentuk kekerasan samar yang tetap tidak
terdeteksi karena tak kasatmatanya struktur dunia ini. Tulisan kritis
tentang Kafka, misalnya, sering terbatas hanya pada kajian biografis
psikologinya atau deskripsi Praha tahun 1900-an. Dalam hal ini
‘layar’ biografis dan nasional menghalangi kita melihat tempat
sang pengarang di dunia-dunia lain yang lebih besar: dalam ruang
gerakan nasionalis Yahudi waktu itu yang berkembang di seluruh Eropa
tengah dan timur; dalam perdebatan antara kubu Bundis dan Yiddishis;
sebagai salah satu yang didominasi dalam ruang linguistik dan
kultural Jerman, dan lain sebagainya. Filter nasional bertindak
sebagai semacam batas ‘alami’ yang merintangi pengamat menimbang
kekerasan relasi kekuasaan politis dan kesusastraan yang mempengaruhi
penulis.
Ruang
Dunia atau Sistem-Dunia?
Hipotesis tentang sebuah ruang dunia, yang bekerja lewat sebuah
struktur dominasi yang, hingga batas tertentu, independen dari
bentuk-bentuk politik, ekonomi, linguistik dan sosial, jelas berutang
banyak pada konsepsi Pierre Bourdieu tentang ‘gelanggang’ (field)
dan pada, lebih persisnya, ‘gelanggang kesusastraan’.12
Tetapi yang disebut terakhir itu, sejauh ini hanya dibayangkan dalam
sebuah kerangka nasional, dibatasi oleh tapal batas, tradisi historis
dan proses akumulasi modal suatu negara bangsa. Dalam karya Fernand
Braudel, dan terutama dalam ‘dunia-ekonomi’-nya, saya dapati ide
dan kemungkinan meluaskan analisis atas mekanisme-mekanisme ini ke
level internasional.13
Meski begitu perlu saya tekankan perbedaan antara ‘struktur dunia’
yang saya usulkan dan ‘sistem dunia’, yang dikembangkan terutama
oleh Immanuel Wallerstein, yang tampaknya tidak begitu cocok dengan
ruang-ruang produksi kultural.14 ‘Sistem’ secara tidak
langsung menunjuk pada relasi interaktif antara setiap unsur, setiap
posisi. Sedangkan struktur dicirikan dengan relasi-relasi objektif,
yang bisa beroperasi di luar semua interaksi langsung. Lebih jauh,
dalam pengertian Wallerstein, berbagai kekuatan dan gerakan yang
melawan ‘sistem’ dianggap anti-sistemik. Dengan kata lain, mereka
berada di luar dan melawan sistem dari suatu posisi ‘di luar’,
yang kadang-kadang sulit ditentukan letaknya tetapi bisa ditempatkan
di ‘pinggiran’. Dalam sebuah struktur dominasi internasional,
yang sebaliknyalah yang terjadi: definisi ‘luar’ dan
‘dalam’—yaitu perbatasan-perbatasan ruang—justru adalah fokus
pertarungan. Pertarungan-pertarungan inilah yang menyusun ruang, yang
menyatukannya dan mendorong ekspansinya. Dalam struktur ini, sarana
dan metode terus-menerus diperselisihkan: siapa yang bisa disebut
penulis, siapa yang bisa melakukan penilaian esetetis yang sah
(penilaian yang bakal menyandangkan nilai spesifik pada suatu karya),
tentang definisi pokok sastra.
Dengan kata lain, ruang sastra dunia bukan sebuah wilayah yang
membentang di atas yang lain-lainnya, dicadangkan khusus untuk para
penulis, editor, dan kritisi internasional—karena aktor-aktor
kesusastraan bergerak di sebuah dunia yang dianggap mengalami
de-nasionalisasi. Itu bukan kawasan eksklusif para novelis besar,
pengarang yang luar biasa sukses, dan produksi editorial yang
dirancang bagi penjualan global. Ruang itu dibentuk oleh seluruh
penghuni Republik Sastra, masing-masing mendiami tempat-tempat
berbeda dalam ruang sastra nasional mereka. Pada saat yang sama,
tidak bisa tidak posisi tiap-tiap penulis adalah posisi ganda, dua
kali didefinisikan: setiap penulis mula-mula ditempatkan menurut
posisi yang dia duduki di sebuah ruang nasional, lalu ditempatkan
lagi menurut tempat yang dia duduki dalam ruang dunia. Posisi ganda
ini, nasional dan internasional, menjelaskan mengapa—bertentangan
dengan apa yang coba diyakini oleh pandangan-pandangan ekonomistis
tentang globalisasi—pertarungaan internasional berlangsung dan
berpengaruh terutama dalam ruang-ruang nasional; pertempuran demi
definisi sastra, demi transformasi dan inovasi teknis atau formal,
secara keseluruhan menjadikan ruang sastra nasional sebagai arena
mereka.
Salah satu dikotomi besar yang menganga adalah antara penulis-penulis
nasional dan internasional. Inilah retakan yang menjelaskan
bentuk-bentuk kesusastraan, tipe-tipe inovasi estetis, pengadopsian
berbagai genre. Para penulis nasional dan internasional berperang
dengan senjata berbeda-beda, demi beragam penghargaan estetis,
komersial dan editorial—dengan demikian, dalam cara-cara berbeda,
menyumbang bagi akumulasi sumber daya kesusastraan nasional yang
disyaratkan guna memasuki ruang dunia dan bersaing di dalamnya.
Bertentangan dengan pandangan konvensional yang umum, nasional dan
internasional bukanlah wilayah terpisah; keduanya adalah
posisi-posisi yang berhadapan, bertarung dalam domain yang sama.15
Itulah sebabnya ruang sastra tidak bisa dibayangkan sekadar sebagai
sebuah geografi dunia yang bisa dimengerti cukup dengan deskripsi
daerah-daerahnya, iklim kultural dan linguistiknya, pusat-pusat daya
tarik dan mode sirkulasinya, seperti yang dilakukan Braudel atau
Wallerstein untuk dunia ekonomi.16 Ruang kesusastraan itu
harus lebih dilihat berkenaan dengan apa yang oleh Cassirer disebut
sebagai ‘bentuk simbolis’, yang di dalamnya para penulis,
pembaca, peneliti, guru, kritikus, penerbit, penerjemah dan
lain-lain, membaca, berpikir, berdebat, menafsir; sebuah struktur
yang menyediakan kategori-kategori intelektual untuk mereka—kita
juga—dan mencipta ulang hierarki dan rintangan-rintangannya dalam
setiap benak, dan dengan demikian memperkokoh aspek-aspek material
eksistensinya.17 Berbagai perbedaan yang muncul ditentukan
menurut posisi (nasional, linguistik, profesional) yang bersangkutan
di dalam ruang kesusastraan tersebut pada satu momen tertentu. Ruang
kesusastraan, dalam segala bentuknya—teks, juri, editor, kritikus,
penulis, teoretikus, sarjana—eksis dua kali: pertama dalam segala
hal yang kasatmata dan kemudian dalam pikiran; yakni, dalam
seperangkat kepercayaan yang diproduksi oleh relasi-relasi material
itu dan diinternalisir oleh para pemain dalam Lomba Besar sastra.
Ini juga merupakan hal lain yang membuat struktur itu begitu sulit
digambarkan: mustahil menempatkannya di kejauhan, sebagai sebuah
fenomena terpisah dan bisa diobjektifikasi. Lebih dari itu: setiap
deskripsi atau analisis atas cara kerjanya niscaya bertentangan
dengan pemikiran konvensional yang sangat lazim tentang sastra,
bertentangan dengan fakta-fakta kesarjanaan atau estetis yang ada,
dan harus ada pemahaman ulang atas setiap pengertian, setiap
kategori—pengaruh, tradisi, warisan, modernitas, klasik, nilai—yang
berhubungan dengan cara kerja spesifik internal republik sastra
dunia.
Akumulasi
Kekuasaan
Karakteristik utama ruang kesusastraan dunia ini adalah hierarki dan
ketimpangan. Distribusi barang dan nilai yang tidak merata adalah
salah satu prinsip penyusunnya, sebab secara historis sumber daya
dikumpulkan dalam batas-batas nasional. Goethe adalah orang pertama
yang secara intuitif mengetahui kaitan langsung antara penampilan
Weltliteratur dan kemunculan sebuah perokonomian baru yang dibangun
di atas pertarungan spesifik relasi-relasi kesusastraan
internasional: sebuah ‘pasar di mana semua bangsa menjajakan
dagangan’ dan ‘sebuah perdagangan intelektual umum.’18
Pada kenyataannya, dunia sastra menyodorkan sebuah pasar paradoks,
dibentuk di sekitar perekonomian non-ekonomi, dan berfungsi menurut
seperangkat nilai miliknya sendiri: karena di sini produksi dan
reproduksi didasarkan atas kepercayaan pada nilai ‘objektif’
kreasi-kreasi kesusastraan—karya-karya sastra itu dinyatakan
sebagai ‘tak terukur harganya’. Nilai yang diproduksi oleh
karya-karya klasik nasional atau universal, inovator-inovator besar,
poètes maudits, naskah-naskah langka, semuanya memusat di kota-kota
besar dalam bentuk benda-benda kesusastraan nasional. Daerah-daerah
tertua, yang paling lama mapan di lapangan kesusastraan, adalah yang
paling kaya dalam pengertian ini—dengan kekuasaan yang paling kuat.
Prestise adalah bentuk paling murni perwujudan kekuasaan dalam
semesta kesusastraan: otoritas non-material mutlak yang disandangkan
pada karya-karya sastra paling tua, paling ningrat, paling absah
(istilah-istilah yang nyaris sinonim), pada karya-karya klasik yang
paling dikeramatkan dan pada para pengarang yang paling diagungkan.19
Distribusi timpang sumber daya kesusastraan merupakan hal fundamental
bagi struktur seluruh ruang kesusastraan dunia, diorganisir
sedemikian rupa di sekitar dua kutub yang berlawanan. Di kutub
otonomi terbesar—yaitu yang paling bebas dari rintangan politik,
nasional atau ekonomi—berdiri ruang-ruang tertua,20
ruang-ruang yang paling dilimpahi warisan dan sumber daya
kesusastraan.21 Umumnya itu adalah ruang-ruang Eropa, yang
pertama memasuki kompetisi kesusastraan transnasional, dengan banyak
akumulasi sumber daya. Di kutub heteronomi terbesar, di mana kriteria
politik, nasional dan komersial sangat menentukan, berdirilah para
pendatang baru, ruang-ruang paling miskin dalam hal sumber daya
kesusastraan; dan zona-zona dalam daerah-daerah tertua yang paling
tunduk pada kriteria komersial. Sementara itu, masing-masing ruang
nasional mengalami polarisasi dengan struktur yang sama. Kekuasaan
zona-zona terkaya terus langgeng sebab mereka mempunyai efek riil dan
bisa diukur, utamanya ‘transfer prestise’ lewat ulasan atau kata
pengantar para penulis prestisius untuk buku-buku yang sebelumnya
tidak dikenal, atau karya-karya dari luar pusat: ulasan penuh
semangat Victor Hugo tentang Walter Scott, ketika terjemahan pertama
bahasa Perancis novelnya terbit; tinjauan Bernard Shaw atas produksi
pertama lakon-lakon Ibsen di London; kata pengantar Gide tahun 1947
untuk Livre des jours Taha Hussein; atau mekanisme kompleks pengakuan
lewat terjemahan, seperti dalam penobatan Borges ketika diterjemahkan
oleh Roger Caillois, Ibsen oleh William Archer, dan seterusnya.
Comments
Post a Comment