Mentalitas Kerajaan Tengah
Ketika Cina Menguasai Dunia: Kebangkitan Kerajaan Tengah dan Akhir Dunia Barat. sumber gambar: www.penguin.co.uk |
Perjalanan dari Universitas Fudan di sisi utara
Shanghai ke Museum Shanghai di pusat kota makan waktu sedikitnya satu jam,
mungkin lebih lama. Satu dekade lalu jalanan bukan hanya macet tetapi juga
sedang dalam berbagai tahap perbaikan. Sering sekali dalam perjalanan saya
mendapati para sopir taksi tidak tahu betul tempat yang saya tuju dan tidak
jarang diturunkan begitu saja di tempat yang diperkirakan dekat dengan tujuan
saya: kota berubah begitu cepat sehingga peta jalan sudah ketinggalan sebelum
diterbitkan, memberikan makna sangat berbeda bagi apa disebut sopir taksi di
London “pengetahuan”. Tetapi kali ini problem semacam tersebut tidak saya
alami; sebagai gedung termasyhur di pusat kota Shanghai museum itu mudah
ditemukan.
Teman perjalanan saya dalam rangka mewawancarai
pendiri Museum Shanghai yang mengesankan itu adalah seorang mahasiswi
sosiologi, Gao, yang sedang merampungkan tahun terakhirnya di Universitas Fudan
sebelum mengejar gelar doktor di salah satu universitas top Amerika.
Profesornya meminta dia membantu saya sebulan di Fudan dan ternyata dia sangat
membantu. Gao adalah salah satu mahasiswa jenjang sarjana paling cerdas dan
serius. Bacaannya sangat luas. Lebih dari itu, dia adalah teman yang
menyenangkan dan ramah, penuh saran, selalu siap memenuhi permintaan saya, dan
punya banyak gagasan sendiri. Dia turut membuat kunjungan saya ke Shanghai
benar-benar menyenangkan. Kali ini dia ikut saya untuk membantu menerjemahkan
selama wawancara jika perlu.
Dalam taksi kami mengobrol tentang wawancara, tentang
Museum, yang pernah saya kunjungi beberapa kali sebelumnya, dan beberapa
wawancara yang direncanakan sebelum saya kembali ke Hong Kong dalam sepekan.
Perbincangan kami lalu bergeser ke masalah lain. Sudah tentu Gao sangat gembira
dengan prospek studinya di Amerika Serikat dan tiba-tiba mengatakan: “Apakah
Anda kenal mahasiswa Cina yang pergi ke Amerika dan kawin dengan orang
Amerika?” Saya ceritakan kepadanya acara televisi yang saya buat tahun
sebelumnya tentang orang-orang Cina perantauan, termasuk wawancara dengan
pasangan campuran semacam itu yang tinggal di San Francisco. “Sebenarnya, tiga
minggu lalu saya melihat pasangan campuran di kasir supermarket ujung jalan di
dekat rumah kami,” kata saya, “Seorang perempuan Cina dan laki-laki Amerika.”
Lalu, setelah jeda sesaat, saya tambahkan, “Laki-laki itu berkulit hitam.” Mengapa saya katakan itu kepadanya? Saya rasa
ada beberapa alasan. Di Hong Kong, pasangan seperti itu adalah pemandangan
langka—bahkan cuma pasangan itu yang pernah saya lihat, dan pemandangan itu
melekat dalam ingatan saya. Mendiang istri saya orang Malaysia-India, dia
mempunyai kulit cokelat gelap terindah, tetapi dengan perasaan getir saya
menyadari bahwa tidak semua orang memandang warna kulitnya seperti saya,
terutama orang-orang Cina Hong Kong.
Saya benar-benar terperanjat dengan reaksi Gao.
Air mukanya berubah dan bereaksi seolah-olah dia baru saja mendengar sesuatu
yang menyinggung perasaan dan menjijikkan. Jelas sekali dia menganggap hal
semacam itu memuakkan, seakan-akan itu tidak wajar dan ganjil, mirip menjalin
hubungan dengan spesies lain. Reaksinya itu adalah demonstrasi penolakan fisik
menahun yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Baginya gagasan itu sama
sekali tidak bisa diterima. Gao adalah perempuan berpendidikan tinggi dan
cerdas, juga sangat baik. Saya terpana. Saya tanyakan kepadanya apa yang
membuatnya begitu kecewa, tidak ada jawaban dan tidak mungkin berdebat
dengannya. Bisa dibilang itulah awal dan akhir dari perbincangan kami tentang
masalah tersebut. Kenangan perjalanan itu masih membekas dalam benak saya
sampai kini. Celakanya, tidak ada alasan untuk menganggap reaksi Gao itu tidak
lazim atau luar biasa. Itu bukan cuma reaksi individual melainkan sikap sebuah
budaya. Dan tentu saja Gao disuratkan menjadi bagian golongan elite Cina.
Akan seperti apa Cina sebagai sebuah kekuatan
besar? Secara tradisional jawaban pertanyaan ini berkaitan dengan geopolitik,
politik luar negeri dan hubungan antarnegara. Dengan kata lain, pertanyaan semacam
itu dipandang sebagai bidang khusus kementerian luar negeri, diplomasi,
perundingan bilateral, negosiasi multinasional dan militer. Akan tetapi
konsentrasi pada struktur formal hubungan internasional mengabaikan
faktor-faktor budaya yang membentuk cara orang berpikir, berperilaku dan
memandang orang lain. Pendekatan geopolitik menjelaskan bagaimana seorang elite
negara berpikir dan bertindak, sementara analisis budaya, yang berakar dalam
sejarah dan kesadaran populer, berusaha menjelaskan nilai, sikap, prasangka dan
asumsi dari suatu bangsa. Dalam jangka pendek, pendekatan geopolitik barangkali
bisa menjelaskan perilaku hubungan antarnegara, namun dalam jangka panjang
nilai dan prasangka suatu bangsa jauh lebih signifikan dan penting. Pada
akhirnya, berbagai bangsa memandang dunia dalam kerangka sejarah, nilai-nilai
dan cara berpikir mereka masing-masing dan berusaha membentuk dunia itu
berdasarkan pengalaman dan persepsi itu.
Amerika Serikat misalnya. Dasar untuk memahami
perilaku orang Amerika selama tiga abad terakhir adalah negara itu didirikan
oleh para pemukim Eropa yang, dengan perang dan penyakit, memusnahkan sebagian
besar penduduk asli Amerindian. Setelah menghancurkan apa yang ada sebelumnya
para pendatang itu mulai membangun dari awal berdasarkan tradisi Eropa yang
mereka bawa. Lalu mereka melancarkan ekspansi agresif ke barat hingga menguasai
seluruh benua dan menjadi sangat kaya berkat kerja keras budak-budak Afrika
mereka. Tanpa unsur-unsur tersebut mustahil memahami sejarah Amerika selanjutnya.
Unsur-unsur tersebut memudahkan kita memahami secara umum perilaku orang
Amerika, termasuk ide Amerika Serikat sebagai sebuah model universal dan
keyakinan pada Manifest Destiny. Terang sekali bahwa ras dan etnis
sangat fundamental dalam konsep ini. Disadari atau tidak, unsur-unsur itu
menghunjam dalam inti cara orang mendefinisikan diri dan hubungan mereka dengan
orang lain.
Pendekatan yang lebih kultural menjadi kian
penting menyangkut Cina karena baru-baru ini saja Cina memandang dirinya sebagai
sebuah negara-bangsa dan melaksanakan tata cara sebuah negara-bangsa: sebagian
besar sikap, persepsi dan perilaku orang Cina tetap lebih tepat dipahami
sehubungan dengan warisan peradaban ketimbang statusnya sebagai sebuah
negara-bangsa. Jika kita ingin memahami bagaimana perilaku Cina terhadap
negara-negara lain, mula-mula kita harus mengerti apa yang membuat Cina seperti
adanya sekarang, bagaimana berkembangnya, dari mana asal bangsa Cina, dan bagaimana
mereka memandang diri sendiri. Kita tidak akan mengerti sikap mereka terhadap
negara-negara lain tanpa memahami terlebih dahulu pandangan mereka terhadap
diri sendiri. Sekali lagi, sejarah, budaya, ras dan etnis adalah intinya.
Dari
Keragaman ke Homegenitas
Cina, atau setidak-tidaknya dataran luas yang kini
kita sebut Cina, pernah, seperti semua wilayah luas yang lain, dihuni
bermacam-macam ras. Namun, kini Cina memandang dan memproyeksikan diri sebagai
sebuah bangsa yang sangat homogen, 91 persen lebih penduduknya disebut orang
Cina Han. Benar bahwa konstitusi menyatakan Cina adalah sebuah negara kesatuan
multietnis, tetapi ras-ras lain tidak sampai 9 persen dari jumlah total
penduduk, persentase yang sangat kecil mengingat ukuran negara itu. Tetapi
tidak sulit bagi wisatawan yang mengunjungi tiga kota besar—Guangzhou di
selatan, Shanghai di timur dan Beijing di timur laut—mendapati perbedaan
mencolok penduduk masing-masing kota, padahal semuanya mengaku sebagai orang
Cina Han. Penduduk Beijing sama tinggi dengan orang Kaukasia, sedangkan
penduduk Guangzhou cenderung lebih pendek. Karena Cina modern adalah produk
dari bermacam-macam ras, kenyataan itu tidak mengherankan. Perbedaan antara
Cina dan negara-negara berpenduduk besar lainnya bukan terletak pada nihilnya
keragaman, tetapi pada rentang dan kontinuitas peradaban Cina yang sedemikian
luar biasa hingga identitas sebagian besar ras, selama ribuan tahun, lenyap
melalui kombinasi penaklukan, penyerapan, asimilasi, perkawinan silang,
marginalisasi dan pemusnahan.
Seperti semua kategori ras, orang Cina Han—produk
peleburan bertahap berbagai ras—adalah sebuah kelompok yang diidealkan. Bahkan
istilah Cina Han baru muncul pada akhir abad kesembilan belas. Tetapi
sedemikian hebat kekuatan ide yang mengakar dalam sejarah panjang peradaban
Cina itu hingga melahirkan apa yang hanya bisa disebut sebagai mitos
historisnya sendiri, yang meliputi proyeksi masa kini ke masa sangat lampau.
Mitos ini menyatakan bahwa bangsa Cina adalah satu ras dan akan selalu
demikian, bahwa mereka memiliki asal-usul sama, dan bahwa mereka yang menghuni
Cina dewasa ini selalu memiliki afinitas alami satu sama sebagai sebuah
keluarga besar. Mitos ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari folklor
Cina dan terkandung dalam tradisi Konfusian, Republik maupun Komunis. Sebuah
terbitan resmi Cina mutakhir tentang pendidikan patriotisme menyatakan:
“Patriotisme adalah tradisi luhur bangsa Cina kita. Selama ribuan tahun,
sebagai sebuah kekuatan spiritual luar biasa, patriotisme senantiasa memacu
kemajuan sejarah kita.” Pandangan yang lazim diyakini orang Cina menyatakan
bahwa peradaban Cina dimulai bersama Kaisar Kuning (Huang Di) yang, kata
legenda, lahir pada 2704 SM dan memerintah sebuah kerajaan di dekat Sungai
Kuning di tengah dataran yang dianggap sebagai tempat kelahiran peradaban Cina.
Banyak orang Cina, di tanah air maupun perantauan, yang meyakini bahwa secara
geneaologis mereka adalah keturunan Kaisar Kuning. Walaupun ditolak Mao,
gagasan itu lahir kembali pada pertengahan tahun delapan puluhan. Dalam sebuah
pidato pada tahun 1984, Deng Xiaoping mengungkapkan bahwa hasrat bagi
reunifikasi Cina daratan dengan Taiwan secara genetis “mengakar di hati semua
anak cucu Kaisar Kuning.” Intelektual terkemuka Su Xiaokang
mengemukakan: “Sungai Kuning ini, kebetulan, menghidupi sebuah bangsa yang
diidentifikasi dengan pigmen kulitnya yang kuning. Selain itu, bangsa ini juga
menyebut leluhur pertama mereka sebagai Kaisar Kuning. Sekarang, di muka bumi
ini, dari setiap lima orang salah satunya adalah keturunan dari Kaisar Kuning.”
Pernyataan ini menyiratkan bahwa asal-usul orang Cina berbeda dari bangsa
lain. Seperti orang Jepang, orang Cina sudah lama, walaupun terdapat perbedaan
pendapat yang signifikan, menganut pandangan poligenis mengenai asal mula Homo
sapiens, meyakini bahwa—bertolak
belakang dengan pandangan yang lazim dianut bahwa kita semua berasal dari satu
nenek moyang di Afrika—manusia sesungguhnya mempunyai banyak asal-usul. Manusia
Peking, ditemukan di Zhoukoudian di dekat Beijing pada tahun 1929-30, banyak
ditafsirkan di Cina sebagai “leluhur” ras Mongoloid. Pada tahun 2008 sebuah
ekspedisi menghasilkan penemuan penting lebih jauh berupa fosil-fosil tengkorak
hominid—Manusia Xuchang—di situs Xuchang di Provinsi Henan, yang diyakini
berasal dari 80.000-100.000 tahun lalu. Sebuah artikel di Harian Cina
menyatakan bahwa “penemuan di Xuchang mendukung teori bahwa manusia modern Cina
berasal dari wilayah yang sekarang disebut Cina, bukan Afrika.” Selanjutnya
dikatakan, “Penemuan-penemuan arkeologis luar biasa ini sangat penting bagi
pemeliharaan identitas nasional kita maupun sejarah peradaban kuno kita.” Jika
secara internasional temuan-temuan arkeologis dianggap sebagai bagian dari
upaya seluruh dunia untuk memahami evolusi umat manusia, di Cina temuan-temuan
itu, yang disandangi arti penting luar biasa, dipandang sebagai bagian integral
dari sejarah nasional dan digunakan “untuk mendukung konsep pemersatu tentang
asal-usul unik dan kontinuitas dalam bangsa Cina.”
Umumnya para sejarawan Cina memaparkan proses
perluasan wilayah Cina sebagai proses “unifikasi” bukan “penaklukan”, ekspansi
dipandang sebagai sebuah evolusi progresif menuju kesatuan tak terelakkan dan
sudah disuratkan. Wilayah, begitu dikuasai, dianggap sebagai Cina selamanya.
Terdapat asumsi dasar kuat yang menyatakan bahwa berbagai ras dan
kebangsaan yang begitu banyak itu selalu menunjukkan kesetiaan tak terbagi
kepada rezim-rezim imperial. Keadaan yang sebenarnya sangat berbeda. Ekspansi
Cina hingga perbatasannya saat ini sama sekali bukan proses harmonis dan alami,
perwujudan suatu bangsa selalu harus diupayakan dan itu sesungguhnya,
sebagaimana diperkirakan, melibatkan proses rumit peperangan, persaingan,
konflik etnis, hegemoni, asimilasi, penaklukan dan pendudukan. Embrio Cina
kontemporer adalah buah dari kemenangan kerajaan Qin (221-206 SM), menyusul
periode Negara-negara Berperang di mana lebih dari 100 negara berperang
memperebutkan supremasi di wilayah utara dan tengah Cina. Dinasti Qin—yang,
sebelum kemenangannya, kurang lebih menguasai wilayah Provinsi Shaanxi saat ini
di barat laut Cina—akhirnya menang atas enam kerajaan lainnya dan berhasil
memperluas enam kali lipat wilayah. Selama 2.000 tahun menyusul kemenangan
tersebut, Cina berekspansi ke selatan
hingga Laut Cina Selatan, ke utara untuk menyatukan sebagian besar stepa, dan
ke barat hingga AsiaTengah. Ekspansi geografis besar-besaran itu sama sekali
tidak dicirikan oleh proses penggabungan alami, kedamaian dan harmoni, seperti
yang lazim terjadi proses itu melibatkan konflik besar dan banyak peperangan.
Pertumbuhan Cina adalah kisah ekspansi keluar
orang-orang Cina utara. Konflik yang paling terkenal berkenaan dengan daerah di
sebelah utara Beijing, berbatasan dengan wilayah yang kini kita kenal sebagai
Mongolia dan Manchuria. Selama ribuan tahun daerah itu diperebutkan oleh
suku-suku utara nomaden berkuda dari stepa dan orang-orang Cina yang berbasis
pertanian. Gambaran yang yang disajikan para sejarawan Cina adalah tentang kaum
nomaden barbar dan kaum tani Cina yang cinta damai. Walaupun benar bahwa orang
Cina terus-menerus disibukkan dengan keamanan perbatasan utara mereka—sampai
era dinasti Qing, suku-suku nomaden stepa menunjukkan diri sebagai prajurit
yang sangat cakap—orang Cina sering berusaha menaklukkan dan menguasai daerah
stepa di sebelah utara mereka.
Daripada memandang Tembok Besar sebagai deretan
pertahanan kokoh dari serangan suku-suku nomaden, sebetulnya lebih tepat
menganggapnya sebagai batas terluar kekaisaran Cina yang meluas. Nama-nama
benteng pertahanan menunjukkan niat Cina yang sesungguhnya: “Menara untuk
Menumpas Utara” dan “Benteng Tempat Kaum Barbar Dibunuh”. Orang Cina menganggap
kaum nomaden jauh lebih rendah dari mereka, menyebut mereka barbar.
Konflik panjang antara orang Cina dan
suku-suku nomaden stepa itulah yang membentuk rasa keunggulan budaya orang
Cina, menimbulkan perbedaan antara “peradaban” dan ‘barbar’, dan pada umumnya
membiasakan orang Cina berpikir tentang “diri” dengan “yang lain.” Pembagian
ini tidak mengherankan: di mana-mana komunitas pertanian yang menetap
menganggap suku-suku nomaden terbelakang dan primitif. Sungguhpun demikian
orang Cina dan suku-suku nomaden stepa, walaupun bisa dibilang tak henti-henti
berperang, juga menjalin semacam hubungan simbiotis. Kaum “barbar” sering
menaklukkan Cina dan menjadi penguasa, yang
paling terkenal adalah orang-orang Mongol dan belakangan orang-orang
Manchu dari dinasti Qing. Bahkan, sebagai bukti bagi sejauh mana saling serang
dan interaksi selama ribuan tahun, kasta berkuasa Cina pada dasarnya adalah ras
campuran orang Cina utara dan suku-suku nomaden stepa. Dominasi Cina,
bagaimanapun juga, terlihat dalam cara bangsa Mongol dan Manchu—juga semua
penakluk Cina dari stepa—hampir selalu, cepat atau lambat, menjadi “Cina”
begitu mereka berkuasa. Sejarawan Wang Gungwu menyatakan bahwa bahwa “dalam
beberapa ribu tahun terakhir, orang Cina hanya bisa mengklaim memerintah negara
mereka sendiri selama 280 tahun,” meski begitu semua penguasa “asing”
mengadopsi budaya Konfusian dan sistem pemerintahan Konfusian. Tidak ada bukti
yang lebih kuat bagi keunggulan peradaban Konfusian dan pengaruh hegemoniknya
atas bangsa-bangsa di sekitar perbatasannya.
Penaklukan wilayah ke selatan kurang begitu
diketahui. Penaklukan itu terjadi dalam periode hampir tiga ribu tahun dan
melibatkan pergerakan seluruh penduduk, percampuran ras, dan kelenyapan atau
perubahan budaya. Beberapa ras musnah habis, sedangkan kerajaan-kerajaan
penting dihancurkan atau ditelan proses penyerapan dan asimilasi. Kerimbunan
hutan dataran subtropis menyediakan persembunyian yang cocok bagi perang
gerilya dan para penguasa Han, terutama pada masa kekuasaan dinasti Qin dan
Han, terus-menerus berada dalam keadaan yang bisa dikatakan tidak aman.
Ekspansi yang jelas paling besar—dan tentunya yang paling cepat—terjadi pada
fase awal dinasti Qing yang dikontrol orang Manchu, dari tahun 1644 hingga
akhir abad kedelapan belas, ketika wilayah yang dikuasai Cina berlipas dua kali
lebih. Ekspansi tersebut mencakupi penaklukan negeri-negeri utara, terutama
yang didiami orang Mongol, dan wilayah barat laut, kediaman populasi beragam
kaum Muslimin Turkestan. Banyak penduduk taklukan, terutama di Asia Tengah dan
Tibet, tidak banyak atau bahkan sama sekali tidak memiliki kesamaan dengan
orang Cina Han. Negeri-negeri itu menjadi daerah kekaisaran Qing, sangat luas,
berpenduduk sedikit dan kaya sumber daya alam. Ekspansi Cina biasanya melibatkan
gabungan kekuatan militer dan model kebudayaan. Begitulah yang terjadi di
bagian selatan dan tengah Cina maupun dataran stepa. Tetapi penaklukan Qing di
barat dan barat laut berbeda, dicapai dengan kekerasan luar biasa dan
kebrutalan. Sebagian besar etnis Zunghar, misalnya, yang mendiami daerah yang kini disebut Xinjiang,
dimusnahkan.
Ekspansi kekaisaran Cina dalam periode sejarah
yang sedemikian panjang itu melibatkan apa yang bisa disebut sebagai perbatasan
yang terus bergerak atau, lebih tepatnya, banyak perbatasan yang terus
bergerak. Salah satu karakteristik ekspansi Cina adalah relokasi penduduk
besar-besaran di seluruh Cina. Pergerakan penduduk, selalu diatur sangat rapi,
merupakan instrumen penting kebijakan pemerintah. Dinasti Qin, misalnya, menyebar
penduduk secara masif untuk mendiami dan menenangkan wilayah mereka yang
bertambah luar biasa luas. Salah satu contoh paling luar biasa adalah relokasi
besar-besaran di Provinsi Sichuan di barat daya, yang penduduknya menyusut menjadi sekitar setengah juta orang pada
tahun 1681, namun melonjak menjadi 207 juta pada tahun 1812 karena perpindahan
para pemukim-migran, yang digerakkan dan diatur oleh dinasti Qing. Proses
itu masih terlihat hingga hari ini. Para
pemukim-migran Han terus berdatangan di Mongolia Dalam, di mana kini mereka
merupakan mayoritas dominan, juga di Tibet dan Xinjiang di mana mereka
merupakan minoritas penting, mungkin malah sudah menjadi mayoritas di Xinjiang.
Relokasi adalah alat utama proses ekspansi Cina dan Hanifikasi.
Penting untuk dibedakan, dalam hal ini, antara
ekspansi darat seperti yang dilakukan Cina dan ekspansi maritim seperti yang
dilakukan Inggris dan Perancis. Jajahan-jahan Eropa tidak ada yang permanen
karena—kecuali jika pemukim kulit putih melimpah ruah seperti di Australia dan
Amerika Utara—mustahil mengasimilasi ras dan budaya yang, dari segi tempat dan
jarak, sepenuhnya asing. Sangat berbeda halnya dengan Cina yang, karena
ekspansi daratnya, selalu diuntungkan oleh jarak yang memungkinkan, jika perlu,
proses penyerapan dan penggabungan berlangsung selama ribuan tahun. Sehingga,
berkenaan dengan kesadaran tentang kelompok-kelompok komponen yang bukan main
banyaknya itu, imperium Cina sudah bukan imperium lagi, kecuali di pinggir
utara dan terutama barat laut serta
barat yang penduduknya cuma 6 persen dari keseluruhan penduduk Cina. Dengan
demikian Cina cuma menghadapi perbedaan, sebagian besar, di batas-batas
terluarnya. Di sisi lain, berkenaan dengan daratan, wilayah-wilayah itu sangat
penting karena merupakan sekitar 64 persen dari seluruh daratan Cina. Secara
teritorial, Cina tetap sebuah imperium.
Dari Martin Jacques, When China Rules The World: The Rise Of The Middle
Kingdom And The End Of The Western World, Allen Lane an imprint of Penguin
Books, h. 233 - 240.
Untuk versi yang sudah disunting dan, tentu saja, lebih baik silakan baca
bukunya
Judul : When China Rules The World Ketika
China Menguasai Dunia; Kebangkitan Dunia
Timur dan Akhir Dunia Barat.
Penerjemah : Noor Cholis (penyelia), Jarot Sumarwoto.
Penerbit : Penerbit Buku Kompas 2011
Comments
Post a Comment