Hakim Agung Kusumah Atmadja
Ketua Mahkamah Agung pertama Kusumah Atmadja (1945-1951). Seorang pemberani dan lugas, dan duri bagi Sukarno, dia tetap menjadi teladan yang coba ditiru generasi-generasi berikutnya |
Di zaman kolonial, hakim-hakim Indonesia bertindak sebagai pelayan setia
negara kolonial dan mendapati diri mereka berhadapan langsung dengan gerakan
kemerdekaan. Bahkan, para hakim pengadilan dan aktivis politik berhadap-hadapan
secara harfiah. Pada tahun 1942, para hakim Indonesia adalah minoritas dalam
yurisdiksi landraad yang mengadili perkara-perkara politik bangsa
Indonesia pada tingkat pertama. Dari enam puluh orang hakim Indonesia pada
tahun 1942, dua puluh tiga di antaranya adalah lulusan universitas, lainnya
adalah lulusan pendidikan hukum rakyat bagi bangsa Indonesia, disebut sekolah
hukum (recshtsschool). Ini memberi mereka latar belakang pendidikan yang
kuat, tetapi membatasi karier mereka hanya pada fungsi-fungsi landraad
tingkat pertama.
Ketika konflik politik makin mendalam dan menghebat pada tahun 1930-an dan
awal 1940-an, tak satu pun hakim Indonesia di peradilan kolonial mengundurkan
diri. Walaupun kadang-kadang ada upaya kompromi, hal itu tidak meyakinkan dan
tidak pernah mengubah secara fundamental realitas politik bahwa para hakim
Indonesia berdiri tegak di kubu kolonial. Dalam salah satu perkara semacam itu,
seorang revolusioner didakwa telah menyatakan di depan umum bahwa “Ratu
Wilhelmina akan digulingkan dan tidak lagi menjadi Ratu, tetapi akan memasak
nasi untuk saya ketika saya suruh dan Juliana akan menjadi gundik saya.” Hakim
berusaha menghindari hukuman dengan menanyakan apakah pernyataan itu
disampaikan tertutup atau di depan umum dan mengutip banyak rujukan literatur
kesarjanaan. Pertimbangan hakim itu tidak diterima, dan putusan itu ditolak
ketika dimintakan banding ke Raad van Justitie (yang dikontrol Belanda).
Kesetiaan mereka barangkali tergambar sangat gamblang oleh fakta bahwa
orang yang kelak menjadi ketua Mahkamah Agung, Kusumah Atmadja, menjebloskan
kaum revolusioner karena mendukung Sukarno yang nantinya menjadi presiden.
Mereka adalah “nasionalis ekstrem” menurut Kusumah Atmadja, seraya menambahkan
...
“... bahwa sangat mungkin mewujudkan “Indonesia Merdeka” lewat
cara-cara yang legal, yang oleh karena itu tidak menimbulkan gangguan terhadap
ketertiban umum atau penggulingan otoritas pemerintah di Belanda dan Hindia
Belanda; bahwa untuk mewujudkan “Indonesia Merdeka” dimaklumi akan disertai
perubahan pemerintahan, yang bagaimanapun juga tidak perlu menempuh cara-cara
kekerasan dan ilegal; bahwa sebuah “Indonesia” merdeka sangat bisa dibayangkan
dengan organisasi negara yang sama seperti Dominion Inggris misalnya atau
bahkan masyarakat hukum yang tidak begitu merdeka di Imperium Belanda ...”
Pemerintahan Jepang untuk sementara menjembatani kesenjangan politik itu
dengan menyatukan kedua kubu. [Dengan sedikit perkecualian mencolok, seperti
Sjahrir, Amir Sjarifoedin, dan Tan Malaka, kepemimpinan politik Indonesia
dikooptasi oleh Jepang, dan hampir tidak ada hakim Indonesia mengundurkan diri
ketika Jepang datang. Dengan hanya dua perkecualian, semua elite kehakiman dua
puluh tiga lulusan Fakultas Hukum terdaftar dalam catatan Jepang 1944 tentang
elite Indonesia di Jawa. Orang Indonesia jang terkemoeka di Djawa
(Jakarta: Gunseikanbu, 2604/1944), h. 136. Dua perkecualian itu adalah Dzul
Karnin dan Achmed, yang tidak terdaftar karena alasan sederhana: mereka
bertugas di Sumatra dan Sulawesi. Catatan Belanda tahun 1946 tentang tawanan
dari kalangan kehakiman menunjukkan nama Soumokil sebagai satu-satunya anggota
Indonesia (ditawan di Bangkok pada tahun 1945), tetapi dia ini panitera (griffier)
Raad van Justitie Surabaya sebelum perang, bukan hakim (Algemeen
Rijksarchief [ARA]-II, Den Haag, Algemene Secretarie no. 4631)]. Bahkan, selama
periode ini beberapa hakim mulai menggeser pijakan politik. Contoh paling jelas
orang yang mengalami pergeseran semacam itu adalah Kusumah Atmadja. Walaupun
tidak terdaftar sebagai peserta dalam komite-komite politik penting Indonesia
pada permulaan perang, seperti Panitia Adat dan Tatanegara Dahulu atau Dewan
Sinyo, namanya mendadak menjulang ketika keadaan menjadi gawat pada 1944-1945.
Dia tampil bersama para pemimpin nasionalis seperti Sukarno dan Hatta dan sesama
kawan yang terlahir kembali sebagai revolusioner, seperti Supomo di panitia
BPKI (Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang bertugas menyiapkan
kemerdekaan. (Algemeen Rijksarchief
[ARA]-II, Den Haag, Algemene Secretarie no. 4631, h. 20.) Kerja panitia itu
umumnya dirahasiakan, dan peran Kusumah Atmadja tidak jelas. BPKI dibubarkan
pada tanggal 1 Juni 1945, nama Kusumah Atmadja juga muncul dalam daftar pemuka
Indonesia yang berkumpul di bahwa pimpinan Hatta, yang mencakupi dua ribu nama
dan menjadi dasar daftar pemuka Indonesia yang sering disebut dalam catatan
Jepang 1944 tadi. Akhirnya, selama pemerintahan Jepang, bersama Djoeanda dan M.
Enokh, Kusumah Atmadja membentuk partai politik di Jawa Barat yang mendukung
cita-cita kaum Republik: Pagajoeban Pasoendan. Tidak jelas kapan persisnya
partai ini didirikan, tetapi tampaknya terus berjalan sesudah perang. Tetapi,
sebagaimana kemudian terungkap revolusi, itu sama sekali tidak menunjukkan
penataan ulang aliansi besar-besaran kehakiman atau kepemimpinan politik.
Undang-undang Dasar 1945, disahkan ketika para
pemimpin politik Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus
1945, adalah dokumen yang disusun secara longgar. Walaupun itu sudah cukup
untuk menegakkan lembaga-lembaga negara, perwujudan fisik dan peran
lembaga-lembaga tersebut masih ditopang dalam praktiknya. Mengenai peradilan,
karena konflik bersenjata dengan Belanda, tidak ada banyak gerakan. Mahkamah
Agung dibentuk dengan peraturan seumur jagung Undang-undang No. 7 Tahun 1947,
dengan peraturan pelaksanaan disahkan tahun berikutnya. Tidak ada undang-undang
yang bisa diberlakukan semestinya karena konflik bersenjata. (S. Mertokusumo, Sedjarah
peradilan dan perundang-undangan di Indonesia sedjak 1942 dan apakah
kemanfaatannja bagi kita bangsa Indonesia (Bandung: Kalimaju, 1971), h. 31.)
Tak pelak, selama perjuangan revolusioner, peran
hukum dan lembaga-lembaga hukum bersifat ambivalen. Di satu pihak, dalam
perjuangan fisik, ketika republik berupaya habis-habisan untuk bertahan hidup,
hukum hanya menempati posisi marginal. Maka, ketua Mahkamah Agung pertama
diangkat pada masa proklamasi kemerdekaan, tetapi hakim-hakim selain hakim Mahkamah
Agung baru diangkat setahun kemudian, layaknya sesuatu yang baru terpikir
belakangan. Bahkan, selama tahun-tahun awal perjuangan sengit politik dan
militer, tidak jelas apa sebetulnya yang dilakukan Ketua Mahkamah Agung Kusumah
Atmadja, atau yang bisa dia lakukan, selain bekerja untuk beberapa panitia. Di sisi
lain, hukum dan lembaga-lembaganya memperkuat klaim-klaim Republik Indonesia
muda atas legitimasi dan kemerdekaan. Para pemimpin politik Indonesia mampu
menerjemahkan kekuasaan dan aksi politik fisik dalam berbagai lembaga,
betapapun singkatnya, dan ini memberi daya tahan bagi perjuangan serta
legitimasi di mata dunia luar, pada akhirnya mengubah gerakan revolusioner
menjadi sebuah Republik. Lembaga-lembaga negara dan penghormatan yang diberikan
kepadanya bersifat sangat simbolis dan tak kalah riil atau pentingnya dengan
perjuangan bersenjata karena mewujudkan legitimasi klaim-klaim kaum republikan
atas kekuasaan. Karena itu, pencurian mobil Kusumah Atmadja oleh pasukan
Belanda pada tahun 1946 berkembang menjadi sebuah insiden politik. Fakta bahwa
anaknya mengalami persoalan medis karena blokade ekonomi Belanda layak
disebutkan. Rujukan satu-satunya pada Kusumah Atmadja dalam uraian otoritatif
Kahin tentang revolusi ini menunjukkan arti penting marginal kehakiman dalam
pergerakan revolusioner. Maka, walaupun hukum mendapat tekanan nyata, tekanan
yang makin berat ketika perang merugikan pihak Indonesia (melalui Agresi
Militer I dan Agresi Militer II), arti penting simbolisnya masih memastikan
bahwa pihak berwenang Indonesia akan berusaha memperkuatnya. Alhasil, elite
kehakiman Indonesia yang pernah bertugas di bawah pemerintahan kolonial
ditunjuk untuk menduduki jabatan-jabatan senior dalam Republik baru, di samping
bermacam-macam panitia penting untuk urusan hukum dan politik.
Bagaimanapun juga, ketika konflik dengan Belanda menajam, kesetiaan politik
para hakim kepada Republik mulai goyah. Peruntungan politiknya yang memudar dan
tekanan blokade ekonomi yang dilakukan Belanda menggoyahkan resistensi para
hakim terhadap tawaran pemerintah Belanda. Belanda sangat berminat
mempekerjakan kembali hakim-hakim Indonesia karena beberapa alasan, terutama
simbolisme politik yang ditimbulkan. Mereka ingin menunjukkan kepada dunia
bahwa mereka punya administrasi yang berfungsi dan terkontrol. Citra publik
lebih bagus dijaga dengan membentuk sebuah sistem peradilan yang berfungsi ketimbang
punya tentara yang hilir-mudik ke sana kemari. Mempekerjakan hakim-hakim
Indonesia juga penting bagi Belanda karena mereka kekurangan personel yang
cakap.
Ironisnya, goyahnya komitmen para hakim terhadap cita-cita Republik diperparah
oleh kecurigaan kaum Republikan terhadap loyalitas politik mereka.
Kecurigaan-kecurigaan itu diwujudkan dengan makin sering dilakukannya campur
tangan politik dalam urusan pengadilan, ketika para penguasa Republik, dan
terutama tentara Pemuda yang sulit dikontrol, mulai memberi intruksi bagi para
hakim tentang bagaimana perkara harus diputus dan hukuman apa yang harus
dijatuhkan. Para hakim dipaksa membebaskan para terdakwa atas dasar politik.
Dalam kata-kata seorang hakim Indonesia, seluruh kehakiman “diteror”.
Insiden yang paling serius secara politis, dan isyarat buruk bagi masa
depan, terjadi ketika Mahkamah Agung memutus apa yang boleh jadi adalah kasus
pertamanya, dan yang berdampak politik paling penting. Perkara tersebut kemudian
dikenal dengan nama perkara Sudarsono
yang timbul dari percobaan kudeta, penculikan Perdana Menteri Sjahrir di tahun 1946
oleh anasir tentara yang kecewa, didukung beberapa pemuka politik (seperti
Muhammad Yamin). Percobaan itu gagal, dan para pemuka yang terlibat diadili.
Beberapa terdakwa punya hubungan dekat dengan Presiden Sukarno dan ada dugaan
bahwa Sukarno menekan agar Mahkamah Agung bersikap lunak. Kendati demikian, Ketua
Mahkamah Agung Kusumah Atmadja dalam setiap kesempatan menentang tekanan ini, serta
mengancam akan mundur kalau Sukarno berkeras. Dalam tiga pertimbangan
putusannya Kusumah Atmadja merasa perlu menekankan dengan tegas bahwa Mahkamah
Agung adalah lembaga mandiri yang harus tetap bebas dari campur tangan politik.
Insiden itu, sebagaimana disebutkan Daniel Lev, tak urung menyadarkan para
hakim bahwa kedudukan Mahkamah Agung di negara yang sedang muncul itu tidak
seaman sebelumnya. Insiden itu tidak berdampak besar dalam meningkatkan
kepercayaan diri para hakim dalam berbagai peristiwa di kemudian hari.
Alhasil, dalam sebuah gerakan yang bermula sebagai tetes-tetes air pada
tahun 1946 dan tahun berikutnya menjadi banjir bah, hampir semua hakim berganti
kesetiaan dari kubu Republik ke Belanda. Garis pemisah menjulur tepat hingga
jantung dunia kehakiman, sehingga banyak hakim senior yang membelot, termasuk
mereka yang bertugas dalam panitia-panitia politik penting Republik. Memperparah
keadaan, Belanda secara konsisten menempatkan hakim-hakim Indonesia pada posisi
senior dalam pemerintahan mereka. Dari dua puluh tiga hakim senior Indonesia,
hanya sembilan yang bertahan di kubu Republik pada tahun 1948. Mereka adalah
Kusumah Atmadja, Wirjono Prodjodikoro, Wirjono Koesoemo, Soekardono, Satochid
Kartanegara, Soerjotjokro, Tirtaamidjaja Gondokoesoemo, dan Aroeman. Kesembilan
orang itu berkumpul di sekitar Kusumah Atmadja di Mahkamah Agung dan merupakan
inti perlawanan dalam tubuh kehakiman terhadap tekanan Belanda. Tetapi pada
April 1949 sebagian dari hakim-hakim itu sedemikian dikecewakan oleh Republik
hingga timbul pembicaraan bahwa mungkin saja mereka mengalihkan kesetiaan.
Walaupun Kusumah Atmadja adalah salah seorang hakim yang muncul dari revolusi
dengan catatan pro-Repubilk tak tercela, realitasnya lebih rumit, mengingat ada
indikasi para Pemuda tidak percaya kepadanya. Para pejabat Belanda yang
mewawancarainya mengemukanan tentang kegelisahannya yang terlihat jelas:
... perlu diingat bahwa selama perbincangan saya dengan
Mr. Kusumah Atmadja—dan Mr. Vervloet mengatakan hal serupa di kemudian
hari—bahwa dia tidak pernah bisa tenang duduk di kursinya, terus-menerus
diawasi dari luar hingga dia merasa dimata-matai. Dia mengatakan kepada saya
bahwa setiap kali kita orang-orang Belanda mengunjunginya, Pemuda mendatanginya
untuk menyelidiki apa tujuan kunjungan kami ...
Walaupun dirayu Belanda, dan barangkali tergoda untuk menyeberang, para
hakim itu tetap teguh hingga akhir.
Walaupun dalam beberapa hal revolusi mendongkrak reputasi Mahkamah Agung,
terutama ketuanya, Kusumah Atmadja, secara umum periode itu adalah malapetaka
bagi kehakiman. Sekretaris Jenderal Departemen Kehakiman, Besar Mertokusumo, di
kemudian hari mengakui bahwa andaikan dia tahu betapa negatifnya pengaruh
begitu banyak hakim membelot terhadap posisi kehakiman pascarevolusi, pasti dia
tidak akan bersikap lunak dalam mengizinkan mereka. Peradilan adalah kelompok
kecil yang teridentifikasi jelas, dan fakta bahwa banyak anggotanya membelot
menodai citra seluruh profesi itu. Lebih dari itu, fakta bahwa para hakim
meninggalkan kedudukan prestisius di pihak Republik demi jabatan tinggi setara
di bawah kekuasaan Belanda menjadikan pembelotan mereka makin tampak sebagai
pengkhiatan. Bukan cuma meninggalkan kapal ketika keadaan menjadi sukar, mereka
juga menjauhkan legitimasi yang dibutuhkan Republik untuk bertahan hidup dan
malah memberikan legitimasi itu kepada musuh yang sesungguhnya tak punya
legitimasi sama sekali. Dalam uraian historisnya tentang revolusi, kepala staf
angkatan bersenjata Republik, Jenderal A. H. Nasution, menyebut para hakim
berganti jubah itu dengan kegetiran terang-benderang dan penghinaan, dia
mengatakan bahwa mereka “harus diperlakukan sederajat” oleh para pemimpin
Republik ketika Belanda mendesakkan mereka sebagai “pemuka” dalam pembicaraan
politik Indonesia-Belanda.
Maka, aktivitas kehakiman selama periode kolonial dan revolusi merusak
nilai politik mereka dan merongrong mereka di kemudian hari ketika kedudukan
mereka dipertanyakan pada tahun 1950-an.
Status peradilan jelas mencerminkan kedudukan dan peran yang dipersiapkan dan
diberikan oleh negara kepada badan-badan peradilan. Sikap hormat dalam
memperlakukan para hakim adalah isyarat penting pandangan sistem politik
terhadap arti penting pengadilan. Bahkan, simbolisme politis status dan
penghormatan sangat penting maknanya bagi pengadilan. Tidak seperti Pemerintah
atau Parlemen, kekuasaan pemerintah yang paling lemah ini tidak mempunyai
instrumen riil yang bisa menjadikan kekuasaannya terasa, selain penghormatan
yang diberikan kepadanya. Terdapat hubungan yang amat erat antara status
jabatan kehakiman dan kekuasaan yang bisa diberdayakan. Ini membuat pengadilan sangat
berkepentingan dengan penegakan martabat publiknya yang rapuh serta rentannya
mereka terhadap sikap publik yang meremehkannya.
Dalam konteks ini, tidak mengherankan jika status peradilan adalah isu yang
menyulut perdebatan politik dan muncul sebagai masalah sentral pertama dalam
agenda politik peradilan. Ketika asumsi-asumsi politik yang melandasi Demokrasi
Parlementer makin sering dipertanyakan pada tahun 1950-an, kedudukan peradilan tidak
lagi dianggap sebagai sesuatu yang memang sudah demikian keadaannya. Selama
Demokrasi Parlementer, pada mulanya karena keteledoran tetapi kemudian karena
kebijakan yang disengaja, sejumlah insiden yang mempermalukan kehakiman
menanjak dengan stabil.
Insiden paling mencolok barangkali adalah yang terjadi pada tahun 1951
ketika Ketua Mahkamah Agung pertama Kusumah Atmadja tidak diberi tempat duduk
sesuai dengan posisinya dalam sebuah jamuan resmi kenegaraan. Sebagai seorang yang
tamperamental, dengan kesadaran mengurat tentang pentingnya prestise
kelembagaan Mahkamah Agung, Kusumah Atmadja—dan ini membuat Presiden masygul—marah-marah
dan mengancam akan meninggalkan jamuan kalau tidak diberi tempat sesuai dengan
martabat jabatannya—tepat di sebelah Presiden. Insiden ini penting karena
menunjukkan bahwa, bahkan pada tahun-tahun awal tersebut, para pemimpin politik
tidak menerima begitu saja kedudukan dan peran Mahkamah Agung. Seperti Kusumah
Atmadja, para hakim akan berjuang untuk mendapatkan perlakuan hormat bagi
jabatan mereka, yang mana dalam kenyataannya mereka terus-menerus menghadapi
sikap serupa yang meremehkan.
Tetapi tidak semua hakim memiliki kepribadian yang kuat seperti Kusumah
Atmadja, yang lantas berkembang dalam perannya sebagai ketua Mahkamah Agung
yang disegani. Juga tidak semua punya wawasan sedalam dirinya untuk memahami
kaitan-kaitan rumit antara status pribadi dan kekuasaan kelembagaan. Banyak hakim,
sebagaimana dikemukakan seorang pengamat kritis, berpandangan bahwa
masalah-masalah semacam itu tidak bisa dipaksakan, dengan mengatakan “kalau memang demikian cara yang
diinginkan masyarakat dalam memperlakukan ketua Mahkamah Agung, biarkan saja
begitu.” Pengganti Kusumah Atmadja, Wirjono Prodjodikoro, menganut pandangan
ini. Sebagai ahli hukum cakap dan santun, Wirjono menanggalkan kedalaman
pandangannya dalam politik dan lebih menyukasi solusi kompromis ketimbang tegak
membela untuk membeli kepentingan kelembagaan Mahkamah Agung dengan mati-matian.
Diperlakukan sama seperti pendahulunya, Wirjono terus beringsut menjauhi garis
hierarkis di jamuan kenegaraan hingga dia meninggalkan ujung meja sama sekali
dan tidak diundang lagi.
Dari Sebastiaan Pompe,
The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung oleh
Noor Cholis; penyunting Arsil, Dian Rosita, Nur Syarifah; pembaca akhir Prof.
Soetanyo Wignjosoebroto dan Bivitri Susanti, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan, Jakarta, 2012, hlm. 65 – 75.
Comments
Post a Comment