Mahkamah Agung dalam Dokrtin Pemisahan Kekuasaan



Het Hooggerechtshof aan het Waterlooplein te Batavia, Mahkamah Agung, Jakarta
Gedung Mahkamah Agung Hindia Belanda di Waterlooplein (Lapangan Banteng). Sumber foto: wikimedia.org
Asal-usul Mahkamah Agung pada masa kolonial berakar dalam ide-ide revolusioner Perancis mengenai struktur pemerintahan, yang menjadi berpengaruh di Belanda, bahkan di seluruh Eropa daratan pada akhir abad kedelapan belas. Ide-ide ini lalu ditransfer ke negeri-negeri jajahan. Doktrin Perancis membayangkan sebuah organisasi negara yang sangat rasional berdasarkan “bentuk ekstrem pembagian kerja, di mana masing-masing unit mengerjakan dan hanya bisa mengerjakan satu hal.” Pemerintah, Parlemen, dan Pengadilan adalah penguasa absolut di wilayah masing-masing, sehingga membentuk apa yang disebut pemisahan struktur kekuasaan. Tidak ada interdependensi di antara berbagai kekuasaan Pemerintah, sehingga mereka saling mengawasi, seperti dalam sistem perimbangan kekuasaan yang berlaku di Amerika Serikat.

Doktrin pemisahan kekuasaan memiliki sejumlah konsekuensi konseptual penting bagi organisasi dan kekuasaan pengadilan. Dalam lingkup organisasional, sistem ini membedakan antara fungsi kehakiman dan administratif dalam organisasi pengadilan. Yang disebut pertama terkait dengan fungsi pengadilan sebagaimana mestinya, yaitu menyelesaikan sengketa. Sedangkan yang kedua menyangkut semua hal, seperti personalia, keuangan dan manajemen kantor (fungsi-fungsi administratif), “la logique du système”, begitu kata orang Perancis, yang menghendaki fungsi-fungsi administratif ini ditangani oleh Pemerintah, dan tidak oleh Pengadilan.1 Akibatnya, Perancis dan negara-negara yang hingga batas tertentu mengadopsi sistem Perancis, seperti Belanda dan Indonesia, dicirikan oleh pembagian fungsi bahkan dalam lembaga yudikatif. Umumnya, lembaga yudikatif menjalankan kewenangan dan kontrol tertinggi atas fungsi-fungsi yudisial, sedangkan fungsi-fungsi administratif, seperti administrasi pengadilan dan urusan personalia, ditangani oleh sebuah departemen pemerintah, biasanya Departemen Kehakiman. Departemen ini berfungsi sebagai semacam pendukung administratif bagi lembaga yudikatif, melaksanakan permintaan (bukan perintah) dari siapa pun yang berwenang, yang biasanya adalah Mahkamah Agung.

Aspek penting lain yang berdasarkan logika sistematis ini terkait dengan akuntabilitas politik, terutama ihwal pendanaan. Dari perspektif Perancis (dan Belanda), akuntabilitas dana publik adalah kewajiban dasar konstitusional. Pekerjaan dalam mendapatkan dana (yaitu mengajukan usulan kebijakan dan memastikan pendanaannya), dan alokasi serta pembelanjaannya, dipandang sebagai tugas-tugas politik yang utama. Mereka yang menerima tugas tersebut wajib menyampaikan akuntabilitas penuh terhadap konsituensi demokratis. Sehingga orang-orang yang ditunjuk secara politis diberi kewenangan ini dipandang bertanggung jawab oleh lembaga legislatif untuk tindakan-tindakan mereka dalam masalah ini, kalau perlu dengan pemecatan. Karena independensi pengadilan sulit dipertemukan dengan akuntabilitas publik, terutama dengan adanya ancaman sanksi berupa pemecatan, akuntabilitas finansial menghendaki pemisahan fungsi.

Sehubungan dengan kekuasaan kehakiman, doktrin pemisahan kekuasaan tidak mengizinkan penyerobotan masing-masing kekuasaan pemerintah. Ini berarti salah satu kekuasaan memaksa pemerintah tidak boleh menjalankan fungsi-fungsi utama yang merupakan kewenangan dari cabang kekuasaan yang lainnya. Maka, secara tradisional badan yudikatif tidak akan mempunyai kewenangan untuk mengontrol kekuasaan-kekuasaan yang lain. Dalam hal pengujian peraturan oleh Pengadilan, hal ini menimbulkan dua pembatasan jika dibandingkan dengan sistem perimbangan kekuasaan di Amerika Serikat. Pertama, pengadilan mempunyai hak sangat terbatas untuk menguji dan secara sangat spesifik tidak boleh membatalkan undang-undang, atau yang disebut “undang-undang formal” dalam sistem kontinental. Undang-undang dikualifikasikan sebagai pernyataan tertinggi kehendak demokratis dan oleh sebab itu merupakan sumber legitimasi tunggal yang memungkinkan dinyatakannya kekuasaan politis. Konsekuensinya, Pengadilan tidak bisa mempertanyakan undang-undang, walaupun diperbolehkan menguji peraturan-peraturan lebih rendah, yaitu apabila bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Kedua, sekalipun pertentangan dalam undang-undang yang lebih rendah itu dijumpai, Pengadilan tidak boleh membatalkan undang-undang terkait, tetapi hanya mengumumkan bahwa itu tidak bisa dipakai dalam berperkara di pengadilan. Terserah badan legislatif yang bersangkutan untuk meninjau instrumen legislatifnya sendiri.2 Ini, sudah barang tentu, bertolak belakang dengan sistem Amerika Serikat, yang membolehkan perubahan keputusan-keputusan Kongres karena melanggar Konstitusi.

Doktrin pemisahan kekuasaan tidak dipertanyakan serius selama masa perjuangan kemerdekaan Indonesia dan kemudian diadopsi serta diintegrasikan ke dalam negara Indonesia modern. Tidak pernah ada perdebatan mendasar tentang kedudukan ‘Pengadilan Tertinggi Negara’, yang kemudian dinamakan ‘Mahkamah Agung’. Penting untuk dicatat, bahwa pada akhirnya posisi Mahkamah Agung tidak ditentukan sebagai konsekuensi, melainkan oleh pilihan berdasarkan musyawarah.

Selama perdebatan dalam persiapan UUD 1945, para peserta mempertanyakan apakah doktrin tersebut hendak dipertahankan. Seorang anggota terkemuka Panitia Persiapan Undang-Undang Dasar, Mohammad Yamin, menanyakan apakah Indonesia mesti menggunakan praktik uji konstitusional, yang akan membolehkan Mahkamah Agung menguji konstitusionalitas undang-undang. Butir ini menyentuh inti doktrin pemisahan kekuasaan  yang jika diterima akan sepenuhnya berarti memilih sistem perimbangan kekuasaan.

Sedemikian menguratnya tradisi hukum Perancis-Belanda hingga panitia persiapan menolak usul Yamin. Ketua Panitia Penyusunan Undang-Undang Dasar, Supomo, pada mulanya menyatakan secara kurang meyakinkan bahwa Indonesia tidak cukup berpengalaman dengan peninjauan konstitusional, dan dia tidak tertutup kemungkinan bahwa tinjauan seperti itu akan dilakukan suatu saat nanti (“... untuk negara muda kita, terlalu dini untuk membahas persoalan ini...”). Meskipun demikian Supomo mempunyai keberatan konseptual yang lebih mengakar. Dia berpendapat bahwa kekuasaan penuh untuk uji konstitusional menghendaki sebuah struktur negara yang tidak selaras dengan fondasi ideologis negara Indonesia yang dibayangkan dalam rancangan konstitusi.3 Dalam rancangan ini, Presiden, sangat mirip dengan seorang bapak patrimonial tradisional yang dipandang sebagai kepala keluarga, dengan tanggung jawab memimpin dan menyatukan rakyat. Presiden mewujudkan kesatuan masyarakat dan dalam kapasitas itu dia berada di atas semua golongan. Jelas, sebuah Mahkamah Agung yang kuat, sebagaimana diusulkan Yamin, dengan kewenangan menguji konstitusionalitas perundang-undangan, bertentangan dengan gagasan ini.4 Supomo menegaskan:

... dalam hemat saya, Ketua Yang Terhormat, konstitusi ini tidak didasarkan pada pemisahan pokok tiga kekuasaan Pemerintah, sehingga lembaga yudikatif tidak perlu diberi kekuasaan membuat undang-undang.

Dalam konteks Indonesia kontemporer, usulan Yamin dan penolakan terhadapnya banyak diakui sebagai sebuah peristiwa penting dalam hukum tata negara Indonesia.5 Usulan itu dipandang sebagai sebuah prakarsa serius yang akan diterima sekiranya bukan karena Supomo yang tidak imajinatif dan reaksioner.6 Inti gagasannya adalah Indonesia sangat mungkin tampil sebagai negara yang berbeda kalau saja usulan itu diterima. Argumen ini tentu saja bersifat spekulatif, tetapi jelas sangat memikat. Kegagalan Mahkamah Agung dan Pengadilan mempertahankan otonomi mereka dari campur tangan pemerintah setelah kemerdekaan membuat orang berpikir-pikir boleh jadi mereka akan jauh lebih baik sekiranya menganut sistem konstitusional berbeda. Bagaimanapun juga, realitas sejarah memperlihatkan bahwa pada masa kemerdekaan, Indonesia menganut doktrin pemisahan kekuasaan Perancis-Belanda. Terutama di bawah Orde Baru, perjuangan untuk mengubah Mahakamah Agung dan peradilan kian terfokus pada doktrin ini dan beberapa ciri menonjolnya. Jika perubahan itu tiba, maka doktrin pemisahan kekuasaan adalah pertama kali yang akan diadopsi.


________________________________________


Catatan Akhir

1. Untuk menjamin independensi kehakiman, rutinitas kerja menghendaki agar departemen pada dasarnya bertindak sebagai saluran administratif bagi permintaan-permintaan pengadilan. Kendati demikian, doktrin ini tidak membolehkan lembaga yudikatif menginstruksikan departemen untuk mewujudkan fungsi-fungsi administratif, tetapi hanya bisa memintanya.

2. Tentu ini adalah deskripsi amat sederhana sistem tersebut, yang bagaimanapun juga tidak menjelaskan perkembangan-perkembangan sesudah Perang Dunia Kedua. Jika Perancis melembagakan Cour Constitutionnel, di Belanda pengadilan boleh menguji keputusan-keputusan Parlemen sehubungan dengan perjanjian internasional, meskipun tidak jika berkaitan dengan Undang-undang Dasar. Perkembangan-perkembangan ini bukan tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan konteks Indonesia, karena Pemerintah Indonesia mempertahankan diri dengan gigih terhadap tuntutan-tuntutan judicial review, misalnya, dengan rujukan-rujukan ideologis pada sistem usang Perancis sebelum perang.

3.  Yamin, Naskah persiapan, h. 341. Ada persoalan dalam kalimat penting yang disampaikan Yamin. Setelah pemikiran yang merujuk model-model konstitusional Barat, kalimat itu berbunyi: “Akan tetapi di negeri democratie perbedaan atau perpisahan antara tiga djenis kekuasaan itu tidak ada.” Pernyataan ini diikuti oleh penjelasan tentang sistem rancangan undang-undang Supomo. Kalimat Yamin itu tidak masuk akal, karena pemisahan kekuasaan Pemerintah tidak dikenal di negara-negara demokrasi. Karena kalimat itu dimulai dengan sebuah negasi yang menunjukkan kontras dengan perkataan sebelumnya, mestinya lebih baik jika dibaca dengan perkataan sesudahnya, yang membicarakan ide-ide demokrasi yang mendasari konstitusi Supomo. Jika penafsiran ini tepat, dan saya menganggapnya begitu, ada sebuah kata yang hilang dalam catatan Yamin, yang aslinya mestinya berbunyi kurang lebih begini: “Akan tetapi di negeri ini, democratie perbedaan atau perpisahan antara tiga djenis kekuasaan itu tidak ada.”

4.  Yamin, Naskah persiapan, h. 232-36. Menarik untuk diperhatikan, dalam sebuah artikel tentang Negara Federal yang terbit dua tahun kemudian, Supomo mengungkapkan ide-ide yang sangat sejalan dengan pemikiran-pemikiran yang diusulkan Yamin. Lihat Mimbar Indonesia 7 Februari 1948. Supomo mengatakan: “Saya yakin bahwa mungkin perlu juga bagi Indonesia untuk memiliki sebuah ketentuan konstitusional yang memberi kewenangan Pengadilan, seperti Mahkamah Agung Federal, untuk meninjau konstitusionalitas semua perundang-undangan, dari pihak-pihak berwenang federal maupun negara-negara bagian.” Lihat juga A.A. Schiller, The Formation of Federal Indonesia 1945-1949 (Den Haag/Bandung: Van Hoeve tahun 1955), h. 294. Perlu diingat bahwa pandangan ini tidak bertentangan dengan pendapat-pendapat sebelumnya yang dikemukakan Supomo. Tidak seperti negara-negara kesatuan, struktur federal menghendaki tinjauan legislatif oleh Pengadilan sebagai instrumen untuk mengkoordinasikan rezim-rezim regulasi negara-negara bagian.

5.  A. B. Nasution, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), h. 122; T. Mulya Lubis, In Search of Human Right (Jakarta: Gramedia, 1993), h. 119, J. C. T. Simorangkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia, Jilid 2 (Jakarta: Gunung Agung, 1986), h. 37; Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia (Bandung: Alumni, 1986), h. 47-48. Walaupun pentingnya usulan Yamin sangat jelas dalam pengertian politik-konstitusional, mungkin terlalu berlebihan upaya menyandangkan signifikansi historis kontemporernya. Ada indikasi bahwa para pendukungnya tidak menyadari bahwa isu itu sangat penting secara fundamental, dan bahwa judicial review adalah salah satu dari banyak balon panas yang melayang-layang dalam perdebatan itu. Supomo tidak memikirkan usulan itu cukup serius untuk membahasnya secara tuntas; jawabannya ambigu dan serampangan. Para anggota panitia persiapan lainnya tampaknya juga tidak menganggap itu sebagai isu penting, yang sangat kontras dengan sikap mereka terhadap masalah-masalah lain, seperti hak asasi manusia. Orang bisa melukiskan Yamin sebagai seorang visioner di padang pasir, tetapi waktu itu Yamin tidak mendesakkan isu tersebut sama sekali. Malah, bukannya tampil sebagai pemikir politik cerdas berwawasan jauh ke depan, Yamin justru merupakan bagian dari persoalan itu sendiri. Punya pikiran tajam, Yamin juga punya reputasi kelewat bersemangat dan bertele-tele, dan agak congkak. Dia membuat letih beberapa anggota panitia dengan pidato-pidato tak putus-putus dan banyak interupsi. Ini merusak integritasnya, justru karena tak terhitung komentar dan saran yang bertebaran ke segala arah dan kadang-kadang tidak punya koherensi internal serta fokus. Sikapnya terhadap judicial review adalah contoh relevan. Akhirnya, walaupun autentisitas bagian perdebatan ini tidak diragukan, perlu diingat bahwa kita hanya mempunyai keterangan dari Yamin tentang apa yang terjadi, dan belakangan dinyatakan bahwa catatan itu mungkin tidak benar-benar bisa diandalkan, boleh jadi sudah disunting untuk membesar-besarkan peran Yamin di dalamnya. Lihat M. Simandjuntak, Pandangan negara integralistik (Jakarta: Grafiti, 1994), h. 17-21, 67-68, 255-57, dan Suara Pembaruan, 19 Juni 1993, dikutip di dalamnya.
6.  Sebagai ahli hukum kawakan, anggota elite Jawa tradisional, dan bagian tak terpisahkan dari elite birokrat yang mengalami eropanisasi di tanah jajahan, Supomo tidak pernah menjadi pendukung perubahan radikal. Kecondongan personal dan profesionalnya mendukung pembaruan bertingkat-tingkat, tertib dan rasional, bukan pembaruan radikal dan impresionistik. Usulan Yamin luar biasa karena dalam beberapa segi dia termasuk dalam kelompok Supomo. Tetapi dia pembangkang. Kariernya di kemudian hari sebagai pelaku kudeta gagal, penyair, dan politikus patriarkal dalam sebuah era di mana Pengadilan sangat terpinggirkan mengungkapkan bahwa karakter Yamin jauh lebih kompleks daripada Supomo yang berbakat tetapi agak membosankan.
 Dipetik dari Sebastiaan Pompe, The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung oleh Noor Cholis; penyunting Arsil, Dian Rosita, Nur Syarifah; pembaca akhir Prof. Soetanyo Wignjosoebroto dan Bivitri Susanti, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Jakarta, 2012, h. 31-36

Comments

Popular posts from this blog

Para Pembunuh

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Contentious Politics (3)