Memahami Max Weber

Esai-esai Sosiologi Max Weber
Max Weber, Esai-esai Sosiologi

     Max Weber adalah bagian dari suatu generasi ilmuwan universal, dan ada berbagai persyaratan sosiologis tertentu bagi jenis kesarjanaan yang dia jalani. Salah satu persyaratan semacam itu adalah pendidikan gymnasium yang, dalam kasus Weber, membekalinya sedemikian rupa sehingga bahasa-bahasa Indo-Jerman hanyalah berbagai dialek dari sebuah medium linguistik. (Kemahiran membaca dalam bahasa Ibrani dan Rusia didapat dengan cara tersebut.) Sebuah latar belakang keluarga yang memacu secara intelektual memberinya awal yang menguntungkan dan memungkinkan baginya mempelajari kombinasi tidak lazim berbagai subjek khusus. Saat lulus ujian hukum, dia juga seorang ekonom, sejarawan, dan filsuf andal. Dan berkat keterlibatannya, melalui kerabatnya di Strassburg, dalam berbagai perdebatan teologis masa itu dia cukup akrab dengan literatur teologi hingga mampu menanganinya dengan cakap.
     Jelas sekali bahwa tumpukan kerja Weber yang luar biasa banyak mustahil membuahkan hasil tanpa semacam pemanfaatan waktu luang. Secara material, hal itu dimungkinkan, terutama, oleh jabatannya sebagai seorang sarjana di sebuah universitas Jerman. Pola karier universitas di sana memberi waktu bagi dosen Jerman untuk melakukan penelitian dalam masa-masa di mana akademisi muda Amerika dibebani tugas mengajar yang berlebihan. Lebih dari itu, tidak ada tekanan untuk buru-buru menerbitkan—seperti terbukti dengan fakta bahwa banyak bab-bab panjang buku Wirtschaft und Gesellschaft, yang ditulis sebelum Perang Dunia I, baru diterbitkan sesudah tahun 1920. Dalam pertengahan hidupnya Weber mendapat warisan yang memadai untuk menjauhkannya dari kekhawatiran serius soal uang.
     Relatif tiadanya tekanan bagi pengetahuan “praktis” dan “bermanfaat” seketika, yang dikondisikan oleh atmosfer sangat humanis, memungkinkan perburuan tema-tema yang jauh dari tuntutan praktis masa itu. Di lingkungan ilmu sosial agaknya memang begitulah kenyataannya sebab imbas Marxisme nyaris selalu mensyaratkan akademisi untuk menanggapi persoalan kapitalisme sebagai sebuah struktur suatu zaman penting, bukan sebagai tema-tema sempit dan praktis. Dalam kaitan ini kebebasan universitas dari tekanan lokal sangatlah penting.
     Beberapa dekade panjang penuh damai bagi Jerman, dari 1870 hingga 1914, berpasangan dengan kemakmuran umum, mengubah sepenuhnya kondisi keilmuan Jerman. Profesor borjuis kecil, yang disibukkan oleh persoalan uang, digantikan oleh akademisi kelas atas yang punya rumah besar dan pembantu. Perubahan ini mempermudah pembentukan sebuah salon intelektual. Dari posisi inilah Weber melihat kediaman para profesor universitas Amerika.
     Tradisi intelektual dan akumulasi kesarjanaan Jerman, utamanya dalam sejarah, sastra Yunani dan Romawi kuno, psikologi, teologi, sastra komparatif, filologi, memberikan sebuah pijakan kokoh sarjana Jerman penghujung abad sembilan belas untuk membangun karyanya. Dan perbenturan dua kubu karya intelektual, interpretasi konservatif berbagai ide oleh akademisi dalam tradisi Hegel dan Ranke, dengan produksi intelektual radikal sosialis non-akademis, Kautsky, Bernstein, dan Mehring, membentuk sebuah ketegangan intelektual yang unik dan menantang.
     Sejumlah elemen kontradiktif berhadapan satu sama lain dan membentuk kehidupan serta pandangan-pandangan Max Weber. Kalau, seperti ditulisnya, “manusia bukanlah buku yang terbuka,” sudah pasti tidak akan kita temukan indeks paling gampang sekalipun dari eksistensi banyak sisinya. Untuk memahaminya, kita harus memahami serangkaian setengah paradoks irasional.
    Meski secara personal tidak religius—dalam kata-katanya, “tidak musikal secara religius”—Weber mencurahkan banyak energi keilmuannya untuk menelusuri pengaruh agama bagi perilaku dan hidup manusia. Barangkali cukup relevan dalam hal ini mengingat kembali betapa ibu dan keluarganya sangat saleh dan pada masa-masa awalnya sebagai mahasiswa Weber dekat dengan teman-teman dan kerabat yang mengalami keadaan psikis dan religius luar biasa; pengalaman-pengalaman tersebut menggores kesan mendalam dalam dirinya. Bahwa dia memandang rendah “gereja” Kristen konvensional adalah sesuatu yang sangat jelas, tetapi dia mengasihani dan memaklumi mereka yang karena hantaman tragedi politik dan keputusasaan pribadi mengorbankan intelektualitas mereka dalam lindungan altar.
     Kebanyakan temannya memandang pengabdian tulusnya pada kerja, sentimentalitas nyata dan pembawaannya yang bermartabat, serta kekuatan dan kekayaan wawasan pembicaraannya sebagai fenomena religius. Tetapi karyanya nyaris mustahil dipahami tanpa apresiasi terhadap pandangan kecewanya mengenai soal-soal agama. Cintanya pada ibunya dan keterpenggalan tulennya dari “agama” menjaganya tidak terperosok dalam penghujatan Promothean ala Nietzsche, atheis terbesar abad sembilan belas, yang dia pandang, pada intinya, sebagai ‘sebuah residu menyakitkan Philistine borjuis’.
     Weber adalah salah seorang “profesor politis” terakhir yang memberi kontribusi tidak memihak bagi ilmu pengetahuan, dan, sebagai garda depan intelektual kelas menengah, juga merupakan tokoh politik terkemuka. Meski begitu, demi “objektivitas” dan kebebasan para mahasiswanya, Weber menentang “para  Treitschke” yang menggunakan gedung kuliah terpisah sebagai forum-forum propaganda politik. Walaupun sangat berminat pada jalannya kebijakan Jerman, dalam teori dia memisahkan secara tegas perannya sebagai seorang profesor dan ilmuwan dengan perannya sebagai seorang publisis. Tetapi, ketika temannya Brentano, di Munich, memintanya menerima sebuah jabatan, dia menjawab bahwa jika harus menerima jabatan profesor, “Aku akan bertanya bukankah lebih baik memasang seseorang yang mengikuti pandanganku di Berlin saat ini sebagai imbangan bagi oportunisme absolut yang bersimaharaja di sana.”
     Sepanjang hidupnya, Weber adalah seorang nasionalis dan berkeinginan negerinya mencapai kualitas sebagai Herrenvolk, tetapi pada saat yang sama dia memperjuangkan kebebasan individual dan, dengan ketidakberpihakan analitis, mengkarakterisasi ide-ide nasionalisme dan rasisme sebagai ideologi-ideologi pembenar yang dimanfaatkan kelas berkuasa, dan para publisis sewaan mereka, untuk memberlakukan pemaksaan mereka atas warga negara yang lebih lemah. Dia amat menghargai perilaku tak berbelit-belit para pemimpin buruh semasa keruntuhan Jerman, tetapi dia menyerang pelatihan doktrinal yang dipakai orang-orang (itu juga) untuk menjinakkan massa dan mencekoki mereka agar meyakini “surga” yang bakal terwujud dengan revolusi. Dia bangga menjadi seorang perwira Prusia, tetapi dia juga menyatakan secara terbuka bahwa Kaiser, panglimanya, adalah sesuatu yang membuat semua orang Jerman merasa malu. Seorang perwira Prusia dan anggota perkumpulan duel, tetapi Weber tidak berkeberatan menginap di sebuah hotel Brussels yang mengibarkan bendera Internasional merah. Seorang model maskulinitas sadar Jerman Imperial, dia mendukung perempuan pertama pejabat tenaga kerja Jerman dan memberikan pidato penting bagi anggota-anggota gerakan emansipasi wanita permulaan abad kedua puluh.
    Weber memang seorang dosen terkemuka, sayang kesehatannya membuat dia jauh dari kuliah-kuliah akademis selama hampir dua dekade. Meski seorang sarjana, dia merasa bukan tempatnya berada di kursi akademis dan benar-benar merasa nyaman berada di panggung politik. Berusaha menjaga ketepatan dan keseimbangan, prosanya sarat dengan anak kalimat dan persyaratan, dalam gaya yang paling ilmiah dan sukar. Kadang dia merasa dirinya bisa disejajarkan dengan para demagog Yudea kuno yang berkhotbah berbuih-buih bagi kerumunan di jalanan.
     Di kalangan mereka yang pernah berurusan dengannya, sosok Weber sungguh kontroversial. Di Heidelberg, banyak kolega yang memandangnya sebagai orang sulit, yang karena menghendaki kesadaran akan kehormatan yang tak bisa ditawar-tawar dia menjadi sangat tidak menyenangkan, juga agak merepotkan. Mungkin dia dianggap mengidap hipokondria. Di mata banyak teman dan muridnya, dia tampak sebagai seorang intelek yang menjulang. Seorang wartawan Wina mendeskripsikannya dalam klise berikut:
     “Tinggi dan berewokan lebat, ilmuwan ini mirip salah satu tukang batu Jerman dari zaman Renaisans; hanya saja matanya tidak memancarkan kenaifan dan keriangan indera seniman. Pandangannya berasal dari bagian terdalam, dari lorong tersembunyi, dan mencapai titik sangat jauh. Cara ekspresinya mengikuti segi lahiriahnya; luar biasa lentur. Dalam dirinya kita temukan cara memandang sesuatu yang nyaris Hellenik. Kata-katanya sederhana, dan, dalam kesederhanaan itu, mengingatkan kita pada blok-blok Cyclopic.”
     Seorang murid di Munich, yang secara pribadi jauh dari Weber, memujanya dari kejauhan, membandingkannya dengan ksatria Dürer: dengan keadilan tak memihak, menempuh jalan lurus antara kematian dan setan. Sedangkan Karl Jaspers melihatnya sebagai jenis manusia baru yang dengan tenang menyeimbangkan sintesis ketegangan-ketegangan hebat dalam dirinya maupun kontradiksi kehidupan publik eksternal tanpa terperosok dalam ilusi. Bahwa setiap hari Weber malah “membuang-buang waktu demi hal-hal politis” bukannya “mengobjektifikasi diri” terlihat sebagai kerugian yang patut disayangkan bagi Jaspers.
      Terlepas kentalnya objektivitas yang sangat dirasakan oleh pemerhati karya Weber, tak urung di dalamnya terkandung bagian-bagian yang merujuk pada citra Weber tentang dirinya. Yang paling jelas dari hal tersebut bisa ditemukan dalam karakterisasinya tentang nabi-nabi Yahudi tertentu. Ketika jalannya peperangan dan tersungkurnya Jerman meneguhkan apa yang sudah diramalkan Weber dua dekade sebelumnya, dan bangsa Jerman sendiri mengaku salah atas segala kemalangan dalam perang, Weber merasa bahwa Jerman adalah sebuah bangsa paria. Selama mengkaji Yudaisme kuno, 1916 dan 1917, dia sangat tergerak oleh analogi-analogi yang dilihatnya antara situasi bangsa Yahudi kuno dan Jerman modern. Bukan hanya situasi publik dan historis saja yang sejajar baginya; dalam kepribadian banyak nabi dan dalam keadaan psikis mereka yang tak tertentu dan mendesak, terutama menyangkut Yeremia, Weber melihat sifat-sifat yang dia rasakan mirip dengan sifatnya sendiri. Ketika dia membacakan bagian-bagian naskah itu kepada istrinya, Marianne tersentuh karena langsung melihat bahwa bacaan itu adalah analisis tak langsung tentang diri suaminya.
     Mungkin hanya dengan cara itulah Weber, yang sejak kanak-kanak tidak mampu mengungkap dirinya secara langsung, bisa mengkomunikasikan citra dirinya. Sehingga, apa yang paling personal baginya bisa dicapai dan pada saat yang sama disembunyikan oleh objektivikasi karyanya. Dengan menafsirkan para nabi pembawa nubuat malapetaka dan kiamat, Weber menjelaskan pengalaman publik dan pribadinya sendiri.
     Asimilasi citra dirinya dengan sebuah sosok historis tersebut berada dalam tradisi besar humanisme, historisisme, dan romantisisme yang sangat khas abad sembilan belas.  Para intelektual terkemuka dan bahkan juga negarawan abad itu sering mematut-matut citra diri mereka dalam busana tokoh-tokoh bersejarah. Maka wajar bila Napoleon menirukan Alexander Agung; dan kaum republikan revolusioner dari berbagai pergolakan besar memandang diri mereka dalam kaitan dengan “kehidupan Plutarch.” Di Jerman, kecenderungan ilusionis seperti itu tetap kokoh di sepanjang era liberalisme. Sebagian dari pemuda Jerman terbaik, di antaranya Francis Lieber, membantu orang Yunani dalam memperjuangkan liberalisme melawan Turki. Tetapi pedagang kuda kasar dari pegunungan Balkan itu mengobrak-abrik citra marmer Yunani kuno. Ilusi-ilusi histrois dipakai sebagai latar belakang kehidupan seseorang dan barangkali untuk menebus kedangkalan barbarisme, yang membatasi rutinitas keseharian profesor Jerman yang tak berdaya dengan ide-ide yang merangkum dunia.
     Jika Weber tua mengidentifikasi diri dengan Yeremia dalam tradisi humanis ilusi, dia tahu betul kalau sesungguhnya dia bukan nabi. Ketika didesak oleh seorang cendekiawan muda yang memujanya untuk menjelaskan keyakinannya, dia menolak permintaan itu, menyatakan bahwa pengakuan semacam itu hanya berlaku untuk lingkungan kawan dekat bukan untuk konsumsi publik. Hanya para nabi, seniman, dan orang suci yang memperlihatkan jiwa di depan publik. Bagi Weber, masyarakat modern itu tak bertuhan, para nabi dan sekalian orang suci adalah kejanggalan luar biasa. Dia cuma mengemukakan anjuran Yesaya: “Ia berseru padaku dari Seir, ‘Hai Pengawal, masih lama malam ini? Hai Pengawal, masih lama malam ini? Pengawal itu berkata, ‘Pagi akan datang, tetapi malam juga. Jika kamu mau bertanya, datanglah bertanya sekali lagi.” (21:11-12.)

***

     Jika kita hendak memahami biografi Weber secara utuh, kita harus mencermati ketegangan-ketegangannya dan gangguan psikisnya yang berulang kali muncul. Beberapa alur interpretasi bisa dibuat; bersama-sama atau terpisah, barangkali semua itu bisa memberikan sebuah penjelasan.
     Boleh jadi menurut garis keturunan Max Weber dibebani oleh suatu penderitaan jasmaniah, yang tidak bisa tidak mengalir lewat garis keluarganya. Beberapa bukti bagi penafsiran ini, yang paling sederhana, ada di depan mata. Marianne adalah kerabat jauh Weber, dan kerabat laki-laki istrinya itu mengakhiri hidup di rumah sakit jiwa. Lagi pula, seorang sepupunya dimasukkan rumah sakit jiwa, di mana Weber sendiri juga dirawat di sana selama sakitnya yang paling parah.
     Jika kita memandang penderitaan Weber sebagai fungsional semata, maka kita bisa mengikuti salah satu dari dua alur bukti yang berbeda: Kita bisa menempatkan kesulitan-kesulitan personalnya dalam konteks pribadi orang-orang yang menyayanginya: ibu, ayah, kekasih, istri; atau bisa pula kita membahas dirinya dalam konteks publik.
     Mengacu pada hubungan-hubungan personalnya, kita barangkali ingat bahwa Weber adalah seorang bocah yang tenang, patuh, dan cerdas sebelum waktunya, yang pasti khawatir dirundung ketegangan karena semakin memburuknya hubungan antara ayah dan ibunya. Jiwa kesatriaannya yang kuat, sebagian, adalah respon terhadap perilaku patriarkal dan dominan ayahnya, yang memahami cinta istrinya sebagai kesediaan untuk mengabdi dan menyerahkan dirinya untuk dieksploitasi dan dikuasai olehnya. Situasi demikian mencapai klimaksnya ketika Weber, pada usia 31 tahun, di hadapan ibunya dan istrinya, memutuskan untuk menghakimi ayahnya: dia takkan segan-segan memutus segala hubungan dengan ayahnya kecuali si ayah memenuhi syarat anaknya: sang ibu harus mengunjunginya “sendirian” tanpa si ayah. Sudah sama-sama kita maklumi bahwa ayahnya meninggal tak lama setelah pertemuan itu dan bahwa Weber menghadapi situasi itu dengan rasa bersalah tak terhapuskan. Tentu saja orang boleh menyimpulkan adanya situasi Oedipus yang sangat kental.
     Sepanjang hidup, Weber memelihara hubungan erat dengan ibunya, yang pernah menyebut Weber sebagai ‘anak perempuan tua’.  Sang ibu lebih senang meminta sarannya, anak sulungnya, ketimbang berbagi dengan suaminya, dalam persoalan tingkah laku anak ketiganya. Harus pula diperhatikan apa yang, pastinya, menjadi keinginan Weber muda saat menginjak dewasa: hasratnya menjadi seorang lelaki sejati di universitas. Hanya dalam tiga semester, secara lahiriah dia berhasil berubah dari seorang anak mama kurus menjadi seorang mahasiswa kekar, peminum bir, jago duel, penghisap cerutu khas Jerman Imperial, yang disambut ibunya dengan tamparan di wajah. Jelas, inilah anak sang ayah. Kedua model identifikasi dan nilai-nilai terkaitnya, mengakar pada ayah dan ibunya, tidak pernah pudar dari kehidupan batin Max Weber.
     Ketegangan serupa, dan sumber rasa bersalah selanjutnya, terjadi ketika Weber mendapati diri terasing dari kekasih pertamanya, salah seorang sepupunya, yang disayangi ibunya maupun bibinya dari pihak ibu. Situasi ini sangat menyakitkan baginya karena ibunya senang sekali melihat Marianne, istrinya kelak, dipinang teman karib Max. Mengawini Marianne, berarti Weber didera rasa bersalah dari dua sumber: dia nyaris merelakan cintanya demi sahabatnya, dan hampir saja dia mengawini seorang gadis yang bermasalah secara mental dan tidak stabil. Surat lamaran pada istrinya, berkenaan dengan situasi tersebut, tampak lebih menyerupai sebuah pengakuan kesalahan ketimbang surat cinta. Dan surat-surat berikutnya untuk istrinya adalah apologi untuk mengorbankan perkawinan mereka karena membiarkan energinya tersedot ‘jentera batin’ kehidupan intelektualnya.
     Suami istri Weber tidak dikaruniai anak, dan dia tak pernah gagal menandaskan kejantanannya di depan khalayak dengan menantang orang bertarung dengan gaya yang menekankan kegagahan istimewa seorang perwira Prussia. Tetapi pada saat yang sama, selaku seorang penulis, dia pun siap sedia secara terbuka mengejek militerisme Prussia berikut birokrasi perwiranya karena mendukung institusi pendidikan seperti perkumpulan duel guna “melatih” pemuda kelas menengah menghadapi disiplin yang disyaratkan dalam karier. Humanisme individual mendalam, “kebebasan seorang Kristen,” dan tingginya tuntutan etisnya berasal dari identifikasinya dengan ibunya.
     Mungkin sudah saatnya kita beranjak dari hubungan-hubungan personal dan segala kesulitan yang mungkin berakar dari situ; Weber juga seorang intelektual yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa politik pada jamannya. Dia menjadikan persoalan publik sebagai tugas sukarela. Dengan rasa tanggung jawab luar biasa, dia merasa begitu terpanggil pada politik. Tetapi dia tidak punya kuasa dan tidak punya kedudukan di mana kata-katanya bisa menyentuh neraca kebijakan. Dan berbagai ketegangan bermunculan dari sini.
     Weber tidak tampak punya banyak basis bagi identifikasi intensnya dengan Jerman. Dia memporak-porandakan kaum Junker, kaum pekerja, maupun para barbar lemah di kalangan kelas menengah, yang mendambakan seorang Caesar guna melindungi mereka dari momok buruh sosialis dan dari patriarkalisme dinasti-dinasti kecil. Ketika bepergian, gagasan pertama Weber adalah keluar dari Jerman. Dan terlalu sering, dengan kesebalan pecinta yang gagal, dia melontarkan kata-kata penuh amarah soal niatnya meninggalkan selamanya apa yang dia anggap sebagai sebuah bangsa tanpa harapan. Kaiser, yang padanya dia terikat sumpah sebagai seorang perwira Prusia, adalah langganan dari penghinaannya di depan khalayak.
     Jarang sekali kita sempat melirik apa yang menghidupi cintanya terhadap negeri dan bangsanya. Pada Pameran di St. Louis dia memandangi pajangan produk seni, kerajinan, dan industri Jerman sepenuh bangga, merasa bahwa keterampilan, imajinasi, dan kepiawaian artistik orang Jerman memang tiada duanya. Sewaktu berbaur dengan para pekerja keliling sosialis di Brussels dan diberitahu bahwa perpaduan bagus dari para penjahit paling cakap di Paris dengan tukang sepatu paling andal di London berasal dari Austria Jerman, dia bangga menjadi bagian dari para pekerja yang mengabaikan diri sendiri, yang tidak tahu apa pun yang lebih baik selain kesetiaan pada pekerjaan yang ditekuni.
     Sikap demikian memungkinkan kita memahami bagaimana dorongan asketisnya terhadap kerja terkait dengan keyakinannya bahwa ciri menonjol rakyat Jerman adalah sifat plebeian rakyat jelata dan para pekerja, tidak punya keanggunan sosial kerabat istana Latin maupun disiplin dan konvensionalitas yang dijiwai agama para gentlemen Anglo-Saxon. Kesetiannya pada pekerjaanya adalah perwujudan dari kewajibannya terhadap rekan sesama bangsa Jerman. Pada akhir November 1918, dia menulis: “Orang melihat segala kelemahan, tetapi jika mau, dia juga akan melihat kapasitas mengagumkan dari kerja, kehebatan dan kegamblangan, kapasitas—bukan pencapaian—untuk memperindah kehidupan sehari-hari, bertolak belakang dengan keindahan ekstase atau keindahan gaya bangsa-bangsa lain.”
     Seperti halnya hubungan dengan ayahnya adalah sumber dari rasa bersalah, Weber pun mengembangkan rasa bersalah mendalam karena hidup di bawah Kaiser:
     “Tindakan penghinaan pada negara kita di luar negeri (Italia, Amerika, dan di mana-mana!), yang bagaimanapun memang pantas!—dan ini mutlak—karena  kita mentolerir rezim orang ini menjadi sebuah faktor bagi kita menyangkut arti penting politis dunia kelas satu. Siapa saja yang membaca pers asing beberapa bulan saja pasti tahu itu. Kita terkucil karena orang ini memerintah kita dengan cara seperti ini dan karena kita mentolerirnya dan menutup-nutupinya. Tidak ada seorang pun dan tidak pula satu partai pun yang sedikit banyaknya mengembangkan ideal demokratis, dan pada saat yang sama ideal-ideal nasional, politis yang harus bertanggung jawab terhadap rezim ini, yang keberlanjutannya membahayakan dunia kita melebihi segala macam problem kolonial yang ada.”
      Tentu saja kehidupan Weber melukiskan cara di mana hubungan seorang manusia dengan otoritas politik bisa dilacak pada hubungannya dengan disiplin keluarga. Orang hanya perlu menambahkan, mengutip Rousseau, bahwa dalam keluarga cinta ayah pada anak-anaknya membuatnya menyayangi mereka; sedangkan dalam negara kegemaran memerintah diakibatkan karena cinta yang tidak dipunyai pemimpin politik bagi rakyatnya.


* Kaum aristokrat tuan tanah di Prusia dukungan Frederick Agung dan Bismarck, mereka menguasai tanah, industri, perdagangan, dan tentara. Mereka sering memamerkan privilese dan arogan. Dari abad ke-15 hingga tahun 1930-an merekalah sumber terbesar bagi pegawai negeri dan korps perwira Prusia.


** “La famille est donc, si l’on veut, le premier modèle de société politiques: le chef est l’image du père, le peuple est l’image des enfants; es tous, étant nés égaux et libres, n’aliènent leur liberté que pour utilité. Toute la différence est que, dans la famille, l’amour du père pour ses enfants le paye des soins qu’il leur rend; et que, dans l’Etat, le plaisir de commander suplée à cet amour que le chef n’a pas pour ses peuples.” Contrat Social, bab 2, bagian 3.

[Dengan demikian keluarga, kalau dikehendaki, adalah model utama masyarakat politik: pemimpin adalah gambaran ayah, rakyat adalah gambaran anak-anak; dan semuanya, terlahir sama dan bebas, hanya melepaskan kebebasan mereka atas dasar manfaat. Hanya saja bedanya, dalam keluarga, cinta ayah pada anak-anaknya membuatnya menyayangi mereka; sedangkan, dalam Negara, kegemaran memerintah diakibatkan karena cinta yang tidak dipunyai pemimpin politik bagi rakyatnya.]

Dari: Introduction: The Man and His Work, From Max Weber: Essays in Sociology https://archive.org/stream/frommaxweberessa00webe/frommaxweberessa00webe_djvu.txt

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)