Nama Dalam Terjemahan
![]() |
Asterix Chez Les Bretons |
Koleksi
buku yang berderet rapi di rumah teman saya, di Jatiwaringin, sungguh mengundang
iri. Benar kata Sidney Smith, rohaniwan Inggris abad ke-19, “Tiada mebel semenawan
buku-buku.” Seraya mengutuki kecenderungan nomaden yang menjauhkan saya dari
impian mempunyai rak-rak bagus penuh buku tebal-tebal lagi bersampul gagah, saya
memilih satu buku. Buku terjemahan. Apa hendak dikata, yang terlihat pada
halaman yang saya buka secara acak menyurutkan niat baca: kata “Young Turk”.
Mengapa tidak diterjemahkan menjadi “Turki Muda” saja? Kata itu sudah lazim di
buku-buku sejarah SMP/MTs dan yang sederajat. Saya takut, kalau jadi
membacanya, akan semakin geram menemui Persaudaraan Muslim bukannya Ikhwanul
Muslimin atau Komandan Orang-orang Beriman dan bukan Amirul Mukminin, atau
Mother of the Believers yang dicetak miring.
Jauh
sebelum itu saya pernah kesal membaca novel yang enggan menerjemahkan Persian
Gulf, White House, Oval Office, Secretary
of State, dan lain-lain yang tak terbilang banyaknya. Yah, penerjemahan tidak
melulu mensyaratkan penguasaan bahasa sumber dan bahasa sasaran, melainkan juga
keluasan bacaan. Atau, jangan-jangan, para penerjemah itu menganggap versi
Indonesianya tidak cool (kewl kata warga
Twitter). Ottoman memang terkesan lebih intelektuil diucapkan daripada Utsmani,
apalagi Usmani.* Bahwa orang Barat melafalkan Ottoman karena Utsmani menyiksa
lidah mereka itu lain perkara. Ketika orang-orang bule yang bekerja di negeri
kita tidak becus mengucapkan Jakarta, kita pun bangga melafalkan Jekardah. Kita
memang menakjubkan.
Jadikan
bahasa Indonesia tuan rumah di negeri sendiri adalah slogan rezim Soeharto.
Rezim kebencian para cerdik pandai yang mengerti baca tulis. Bertebaranlah Country
Wood, Greenwood, City Walk, Senayan City, Residence Hills di Jakarta hingga
Green Hills di Yogyakarta. Keduanya, siapa tahu ada yang lupa, berada dalam
pangkuan kedaulatan Republik Indonesia yang sempat beribu kota Yogyakarta
sebentar. (Mestinya Bukittinggi juga.)
Boleh
jadi karena belum bisa bahasa Inggris saya senang-senang saja dengan
judul-judul Rubi si Rubah Kecil, Putih Salju, Si Cantik dan Si Buruk Rupa, Alice
di Negeri Ajaib, Petualangan Si Janggut Merah Hantu Laut Karibia sewaktu masih kecil
dahulu. Yang terpatri dalam benak saya adalah karya para penerjemah Album
Cerita Ternama. Mereka tegas menerjemahkan nama-nama orang Indian, sebab nama
dalam teks Inggrisnya bisa dipastikan berbeda dari nama asli mereka dalam
bahasa Indian. Satu frasa yang tetap saya ingat berikut adegan dalam gambar
adalah “air api”, judul cerita “Sebatang Kara” juga sangat mengesankan. Tetapi
bagi generasi Born to Cook dan Street Fighters atau The Voyage of Dawn Treader penerjemahan
nama-nama tadi pasti terasa menggelikan. Sitting Bull ya Sitting Bull saja.
Karena
itulah saya menganggap orang dahulu lebih percaya diri dengan bahasa kita
dibanding anak-anak mereka. Ketika berbincang-bincang dengan saya, ayah saya
selalu menyebut Tanah Hijau untuk Greenland. Itu yang didapatnya dari pelajaran
Ilmu Bumi selain sebutan Tanah Es untuk Iceland—kita menyebutnya Islandia. Generasi
ayah saya menyebut pelajaran geografi adalah ilmu bumi, biologi adalah ilmu
hayat. Tidak perlu memaksakan padanan yang satu kata. Bahasa kita memang
begitu. Percaya diri betul mereka. Tingkat kepercayaan diri mereka barangkali setara
dengan orang Perancis** yang menyebut New York sebagai Nouvelle York, New
Orleans sebagai Nouvelle Orleans, White House adalah Maison Blanc. Mungkin
karena jalan kaki pun sampai (Asterix dan Obelix menyambung perjalan mereka dengan naik perahu), mereka bahkan menyebut ibu kota Inggris Londres. Adapun
kita kini makin sering menyebut New Zealand bukan Selandia Baru. Kaledonia Baru
kalah pamor dari New Caledonia. Ini penghinaan terhadap Nouvelle Caledonie yang
milik Perancis itu. Belum lagi Mexico City yang rata-rata penghuninya berbahasa
Spanyol. Soal kemampuan berbahasa Inggris? Tak tahulah. Yang saya tahu doktorandus
zaman dahulu banyak yang lebih bermutu dibanding doktor sekarang. Konon begitu.
Lulusan AMS saja rata-rata fasih berbahasa Inggris dan, tentunya, Belanda.
Kendati
demikian, tidak ada perlunya menerjemahkan nama George Walker Bush menjadi
George Pejalan Kaki Semak-semak, H. G. Wells menjadi H. G. Perigi, atau I. F.
Stone sebagai I. F. Batu, itu kekhususan transtool.
Tak baik kita merebutnya.
** Dalam “pertarungan”
Perancis vs Prancis saya memihak Perancis. Ada teman yang menyalahkan pilihan
saya, dia bilang kita merujuk pada suku kata versi Inggrisnya. Misalnya,
English menjadi Inggris, bukan Inggeris. Kalau ketentuan ini yang diikuti, maka
dalam bahasa kita tak ada Irlandia melainkan Irelandia, karena versi Inggrisnya
Ireland. Tak ada juga Islandia karena alasan yang sama. Lalu bagaimana
ceritanya Greece jadi Yunani? Seperti halnya dengan Ionia, siapa tahu leluhur
kita lebih terbiasa dengan negeri Faransa daripada France. Alasan saya yang
sesungguhnya lebih sederhana: Prancis terlalu pendek untuk negeri sebesar Perancis.
Comments
Post a Comment