Pemuda Weber

      Masa sekolah menengah Weber berakhir pada musim semi 1882. Berkat bakatnya yang luar biasa dia tidak perlu “tegang”. Meski begitu, guru-gurunya menegaskan bahwa anak itu tidak rajin belajar rutin dan meragukan “kematangan moral”nya. Seperti kebanyakan pemikir abad sembilan belas, Weber menimbulkan kesan kurang menyenangkan bagi gurunya. Usia tujuh belas, anak muda canggung dengan bahu tak kokoh itu terlihat masih membutuhkan respek selayaknya pada otoritas.
      Weber pergi ke Heidelberg dan, mengikuti jejak ayahnya, mendaftarkan diri sebagai mahasiswa hukum. Dia juga mempelajari berbagai bidang budaya, termasuk sejarah, ekonomi, dan filsafat, yang di Heidelberg diajarkan oleh para sarjana terkemuka. Dia mendapatkan keanggotaan sementara dalam perkumpulan duel ayahnya, pengaruh ayahnyalah yang membawanya masuk lingkaran semacam itu. Dari pihak ibunya, berkat seorang kakak sepupu yang belajar teologi, putra sejarawan Strassburg, Baumgarten, dia terlibat dalam kontroversi teologis dan filsafat masa itu.
      Weber mengawali rutinitas harian di Heidelberg dengan bangun pagi-pagi untuk mengikuti kuliah logika. Lalu ogah-ogahan dia “bermain-main” di aula duel selama satu jam. Dia mengikuti kuliah sampai habis “dengan sungguh-sungguh,” makan siang pada pukul 12:30, “seharga satu mark,” kadang-kadang dia memesan seperempat liter anggur atau bir bersama makanannya. Sering kali, dua jam di sore hari dia bermain “permainan kartu yang berat”, lalu kembali ke kamarnya, memeriksa catatan kuliahnya, membaca buku-buku seperti The Old and the New Belief Strauss. “Pada sore hari kadang-kadang aku pergi ke gunung dan berjalan-jalan bersama teman-teman, dan malamnya kami bertemu lagi di restoran dan makan malam cukup enak untuk 80 pfennig. Aku membaca Microcosm Lotze, dan kami sengit memperdebatkannya.” Kadang-kadang, kunjungan ke rumah para guru besar memberinya peluang untuk meniru keanehan khas orang-orang yang dikenal kelompok itu.
      Selama semester berikutnya, Weber bergabung sepenuh hati dalam kehidupan sosial kelompok duel, dan dia belajar menguasai diri dalam pertandingan minum maupun duel. Segera saja wajahnya menyandang goresan luka konvensional duel. Dia terjerat utang dan tetap demikian selama hari-harinya di Heidelberg. Lagu-lagu mahasiswa dan patriotik yang dipelajari selama periode itu terus melekat dalam ingatan di sepanjang hidupnya. Pemuda canggung itu sudah tumbuh menjadi lelaki tegap, berbahu lebar dan besar. Saat dia menjenguk ibunya di Berlin, kini seorang pria dengan karakteristik fisik Jerman Imperial, ibunya terperanjat dengan penampilannya dan menerimanya dengan sebuah tamparan di wajah.
      Menengok kembali masa-masa di Heidelberg, Weber menulis: “Latihan rutin untuk menyerang dengan congkak di perkumpulan duel dan sebagai seorang perwira tak pelak lagi menanamkan pengaruh kuat padaku. Pengaruh itu membuang rasa malu dan kecemasan pada masa dewasaku.”
       Setelah tiga semester di Heidelberg, pada umur 19 tahun Weber pindah ke Strassburg untuk menjalani dinas militer. Karena tidak pernah melakukan latihan fisik selain duel, tugas militer dengan latihan-latihannya menyulitkan Weber. Selain ketegangan fisik, dia sangat menderita karena dungunya latihan di barak dan kelicikan para opsir instruktur. Dia tidak suka harus menghentikan perburuan intelektualnya:
      Ketika pulang biasanya aku berangkat tidur jam sembilan. Tapi aku tidak bisa tidur, karena mataku tidak lelah dan sisi intelektual seorang manusia tidak digunakan. Perasaan, yang bermula di pagi hari dan menyangat menjelang akhir hari, perlahan-lahan tenggelam dalam malam yang penuh kebodohan bukan kepalang dan sesungguhnya adalah hal paling tidak menyenangkan.”
      Weber membiasakan perasaan itu dengan minum alkohol sepuasnya pada malam hari dan menjalani rutinitas militer keesokkannya dengan kepala pening masih agak mabuk. Lalu dia merasa “bahwa waktu berlalu karena tidak ada, satu pikiran pun tidak ada, yang bergerak dalam tengkorakku.” Meski akhirnya berhasil membangun daya tahan dan memenuhi sebagian besar persyaratan fisik dengan baik, dia tidak pernah menguasasi akrobat gimnastik. Suatu ketika seorang sersan pernah meneriakinya, dalam dialek Berlin, “Nak, kau persis tong anggur bergoyang di gantungan baju.” Dia menutupi kekurangan itu dengan menyempurnakan daya tahan baris-berbarisnya dan baris langkah panjangnya. Tak pernah dia berhenti melawan
      “Pemborosan waktu luar biasa yang dibutuhkan untuk menjinakkan mahluk berpikir menjadi mesin yang merespons perintah dengan ketepatan otomatis … Orang disuruh belajar sabar dengan mengamati satu jam setiap harinya tetek bengek tak masuk akal yang disebut pendidikan militer. Seolah-olah, ya Tuhan! setelah tiga bulan berlatih senjata empat jam setiap hari dan tak terhitung hinaan dari kawanan bedebah itu, orang bisa dituduh tidak punya kesabaran. Calon perwira harus dijauhkan dari kemuningkinan menggunakan pikirannya selama pelatihan militer.”
      Tetapi Weber sungguh objektif; dia mengakui bahwa tubuh bekerja lebih tepat ketika segala macam pikiran dihilangkan. Dan setelah menerima penugasan sebagai perwira, dengan cepat dia memahami sisi terang kehidupan tentara. Dia sangat dihargai oleh para perwira atasannya, dia pun menyumbang cerita panjang dan selera humor tajam pada sejawat di mes perwira dan, sebagai orang yang cakap memegang komando, dia meraih rasa hormat dari orang-orang di bawahnya.
      Masa-masa di ketentaraan berakhir pada 1884 dan pada usia dua puluh tahun Weber kembali melanjutkan studi universitasnya di Berlin dan Gottingen di mana, dua tahun kemudian, dia mengikuti ujian pertamanya di bidang hukum. Tetapi pada musim panas 1885 dan sekali lagi pada tahun 1887 dia kembali ke Strassburg untuk mengikuti latihan militer. Pada tahun 1888 dia ikut dalam operasi militer di Posen. Di sana dia merasakan dari jarak dekat atmosfer perbatasan Jerman-Slavonia, yang baginya tampak sebagai perbatasan “kultural.” Diskusinya tentang Channing, dalam sebuah surat untuk ibunya, menjadi ciri pemikirannya waktu itu.
     Channing menoreh pesona mendalam dalam dirinya, tetapi Weber tidak sepakat dengan absolutisme etis dan pasifismenya. “Aku tidak mengerti peningkatan moral macam apa yang akan dihasilkan dari penempatan profesional militer bersama-sama segerombolan pembunuh dan memajang mereka untuk dihina publik. Kalau begitu halnya perang tidak akan menjadi lebih manusiawi.” Yang khas, Weber tidak memasuki silang pendapat teologis tentang Khotbah di Bukit; dia menjaga jarak dari Channing dengan menempatkan perspektifnya dalam situasi sosial dan historis; dengan begitu dia berusaha “memahami” dan, pada saat yang sama, merelatifkan posisi Channing. “Channing jelas tidak mengerti persoalan-persoalan semacam itu [perang dan desersi]. Yang tergambar dalam benaknya adalah kondisi tentara reguler yang dikerahkan Pemerintah Federal Amerika demokratis dalam perang predatoris terhadap Meksiko dan lain-lain.” Argumen itu menunjukkan, in nuce, pandangan yang kemudian dikemukakan Weber, dalam subbab terakhir Politics as a Vocation dan dalam diskusi tentang agama dan politik dalam Religious Rejections of the World.
      Sudah menjadi karakteristik cara hidup Weber bahwa di Strassburg pengalaman sosial utamanya tetap terletak dalam situasi keluarganya. Dua orang saudari ibunya menikah dengan profesor Strassburg; dan Weber menemukan persahabatan dan wacana intelektual maupun pengalaman emosional mendalam di rumah mereka. Beberapa anggota keluarga Baumgarten berkecenderungan sangat kuat pada pengalaman mistik dan religius, dan Weber muda terlibat dengan simpati besar dalam ketegangan yang dimunculkan pengalaman-pengalaman itu. Dia menjadi teman akrab semua orang yang terlibat, mencoba mengapresiasi dan bersimpati terhadap nilai mereka masing-masing. Dia menyebut dirinya “Ich Weltmensch” dan berupaya mencari solusi yang bisa diterapkan bagi beberapa orang yang terlibat. Dan bagi Weber ini berarti beranjak melampaui absolutisme etis: “Persoalannya tidak terlihat begitu mendesak bagiku jika orang tidak bertanya kelewat eksklusif (sebagaimana, sering sekali, dilakukan keluarga Baumgarten): Siapa yang benar dan siapa salah secara moral?” Tetapi jika orang bertanya: “Mengenai konflik ini, bagaimana aku bisa menyelesaikannya dengan kerugian internal dan eksternal sekecil-kecilnya bagi semua pihak?” Weber pun menganjurkan suatu pandangan pragmatis, sebuah fokus pada konsekuensi dari berbagai keputusan bukannya bersikeras menekankan kesadaran instrospektif  ketulusan mendalam seseorang. Surat-surat awalnya dan pengalaman di Strassburg jelas menunjuk pada pembedaan terakhirnya antara sebuah etika tanggung jawab dan sebuah etika tujuan absolut.
     Weber menyelesaikan studinya dan bertugas di pengadilan Berlin, di kota itu dia tinggal bersama orang tuanya. Pada awal 1880-an, dia duduk, sebagai seorang mahasiswa hukum yang rajin, di ruang-ruang kuliah para yuris terkemuka masa itu. Salah satunya, Gneist, dengan kuliah-kuliah yang menggiring perhatiannya pada problem politik mutakhir. “Menurutku kuliahnya sungguh suatu mahakarya, aku betul-betul kagum pada caranya langsung memasuki persoalan politik, juga caranya membangun dengan ketat pandangan-pandangan liberal tanpa menjadi seorang propagandis. Treitschke menjadi propagandis dalam kuliahnya tentang negara dan gereja.”
      Weber berkonsentrasi pada suatu bidang di mana sejarah ekonomi dan hukum bertumpang tindih. Dia menulis disertasi tentang sejarah kongsi dagang selama Abad Pertengahan (1889). Demi mengkaji beratus-ratus referensi berbahasa Italia dan Spanyol dia pun mempelajari kedua bahasa itu. Pada tahun 1890 dia menyelesaikan ujian keduanya di bidang hukum. Di Berlin dia menekuni hukum dagang, hukum Jerman, dan Romawi dengan risalah tentang apa yang pernah disebut Marx sebagai “sejarah rahasia Romawi,” yakni Sejarah Institusi Pertanian (1891). Judul bersahaja itu sesungguhnya mencakup analisis sosiologis, ekonomi, dan kultural tentang masyarakat kuno, sebuah tema yang berulang kali diangkat Weber. Dia harus mempertahankan pokok pikiran paling bagus dalam tesisnya menghadapi Theodor Mommsen. Pada akhir tukar pikiran tanpa kesimpulan itu, sejarawan terkemuka tersebut menyatakan bahwa dia tidak mengenal orang yang lebih baik untuk menggantikan dirinya “selain Max Weber yang sangat terhormat.”

***

      Pada musim semi 1892, seorang gadis keponakan jauh Max Weber, Sr., datang ke Berlin untuk menempuh pendidikan demi suatu profesi. Marianne Schnitger, gadis dua puluh satu tahun putri seorang dokter, sudah menamatkan sekolahnya di kota Hanover. Sekembalinya ke Berlin setelah kunjungan awal ke rumah Weber, dia mendapati dirinya jatuh cinta pada Max Weber. Setelah melewati beberapa kebingungan, kesalahpahaman Victorian, dan upaya-upaya moral klarifikasi diri, Max dan Marianne mengumumkan pertunangan resmi mereka pada musim gugur 1893.
      Selama enam tahun sebelum perkawinannya dengan Marianne, Weber pernah menjalin cinta dengan anak gadis saudari ibunya di Strassburg yang, dalam waktu agak lama, dirawat di rumah sakit jiwa. Dia sembuh ketika dengan halus Weber putus dengannya. Weber tak pernah melupakan betapa dirinya tidak mau membuat gadis lembut itu menderita. Barangkali inilah alasan utama bagi kelembutannya yang menonjol dalam hubungan pribadi dan kesabarannya dalam urusan pribadi. Di samping situasi seperti itu, kesulitan moral lain menghadang di jalan perkawinan. Mungkin disebabkan oleh kebimbangan Weber dalam mendekati Marianne, seorang temannya memacari gadis itu, dan agak sulit bagi Weber untuk menyela.


Dari Introduction: The Man and His Work, From Max Weber: Essays in Sociology https://archive.org/stream/frommaxweberessa00webe/frommaxweberessa00webe_djvu.txt

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)