Max Weber, Akademikus Paripurna
Sekembali ke Jerman Max Weber memulai lagi
tulisannya di Heidelberg. Dia merampungkan bagian kedua Etika Protestan,
yang dalam sepucuk surat pada Rickert dia sebut “Asketisisme Protestan sebagai
fondasi peradaban vokasional modern—semacam konstruksi ‘spiritualis’ ekonomi
modern.”
Revolusi Rusia pertama mengarahkan kembali kerja kesarjanaannya;
dia belajar bahasa Rusia, di tempat tidur sebelum bangun setiap pagi, agar bisa
mengikuti berita-berita di surat kabar harian Rusia. Lalu dia menuliskan “berita-berita
itu dengan penanya agar menjadi sejarah harian.” Pada tahun 1901 dia
menerbitkan dua esai utama tentang Rusia, “Situasi Demokrasi Borjuis di Rusia”
dan “Transisi Rusia menuju Konstitusionalisme Semu”.
Para ilmuwan sosial terkemuka, seperti Schmoller
dan Brentano, mendorongnya agar kembali memangku jabatan profesor, tetapi Weber
merasa tidak sanggup. Untuk sementara dia hanya ingin menulis. Tetapi, karena
dihargai pada tataran universal, dia tidak kuasa untuk tidak menceburkan diri
dalam politik akademis, menilai para kandidat prospektif untuk berbagai posisi,
atau mencoba membuka ruang bagi banyak ilmuwan muda, seperti Georg Simmel dan
Robert Michels, yang karir cemerlang mereka dihambat atau ditolak karena anti
Semitisme atau prasangka terhadap para dosen muda sosialis. Terutama kasus
Robert Michels, putra keluarga saudagar patrisian Cologne terpandang, yang
membuat Weber naik pitam. Pada masa itu, universitas-universitas Jerman menutup
pintu bagi Michels karena dia seorang demokrat sosial. Weber menyatakan, “Jika
saya membandingkan kondisi Italia, Perancis, bahkan Rusia sekalipun dengan
kondisi kita, saya harus menganggap itu sungguh memalukan bagi sebuah bangsa
beradab.” Beberapa profesor menyatakan bahwa selain alasan politis bagi
penolakan Michels, ada alasan lebih jauh: Michels tidak membaptis anak-anaknya.
Menyikapi hal itu Weber menulis artikel di Frankfurter Zeitung dengan
judul “Yang Disebut Kebebasan Akademis.” Di situ dia mengatakan:
“Selama pandangan-pandangan demikian masih berlaku, saya tidak melihat kemungkinan untuk bersikap seolah-olah kita punya sesuatu yang dinamakan kebebasan akademis … Dan sejauh komunitas religius dengan sadar dan secara terbuka membiarkan sakramen mereka dipakai sebagai sarana mengejar karir, pada level yang sama dengan sebuah korps duel atau komisi perwira, mereka pantas menerima penghinaan yang biasa mereka keluhkan.”
Pada 1908 dia meneliti psikologi industri di
pabrik linen kakeknya di Westphalia dengan harapan bisa mengangkat serangkaian
studi semacam itu. Catatan metodologis yang ditulisnya adalah analisis sebab
akibat faktor-faktor fisik dan psikis yang mempengaruhi produktivitas buruh
industri. Pada tahun itu juga, dia mengerjakan sebuah esai panjang tentang
struktur sosial masyarakat kuno, diterbitkan dalam sebuah ensiklopedia* dengan
judul sederhana dan agak menyesatkan, 'Institusi Agraria Jaman Kuno'.
Seorang murid Freud tampil dalam lingkaran
intelektual Heidelberg pada 1909. Konsepsi Victorian konvensional tentang
kesetiaan perkawinan dan tentang kecemburuan yang dibenarkan secara moral
ambruk nilainya di hadapan norma baru tentang hidup sehat secara mental. Penuh
simpati pada belitan tragis dan kesulitan moral teman-temannya, sebagai akibat
dari perilaku itu, Weber bereaksi tajam terhadap apa yang tampak baginya
sebagai kebingungan wawasan psikiatrik yang berharga itu, sekalipun masih tidak
tepat, dengan sebuah etik kebanggaan vulgar dalam “kegelisahan sehat.” Dia
tidak mau menerima kegelisahan sehat sebagai sebuah tujuan absolut, atau
mengkalkulasikan kelayakan moral represi sehubungan dengan akibatnya bagi
kegelisahan seseorang. Weber berpandangan bahwa teknik terapeutik Freud
merupakan sebuah kebangkitan kembali pengakuan oral, dengan para dokter klinis
mengganti directeur d’âme lama. Dia merasa ada sebuah etika tersembunyi
dalam diskusi ilmiah dokter klinis, dan bahwa dalam persoalan ini seorang
ilmuwan spesialis, yang harus menyibukkan diri hanya dengan berbagai peralatan,
mencabut hak orang awam untuk melakukan evaluasi sendiri. Karena itu Weber melihat
sebuah cara hidup “longgar” melekat pada apa yang dilihatnya sebagai teori
klinis yang mengalami pergeseran. Dengan mudah orang bisa melihat bahwa dia
menentang teori yang, pada dasarnya, ditujukan pada asketisisme dan yang
memandang tujuan hanya dalam batas-batas pragmatis, sehingga menyusutkan klaim
imperatif berbagai etik heroik. Secara pribadi terbiasa dengan sebuah kesadaran
luar biasa keras, Weber sering kali siap memaafkan orang lain tetapi sangat
kaku pada dirinya sendiri. Dia yakin banyak dari mereka yang mengikuti Freud
terlalu mudah membenarkan apa yang baginya terlihat sebagai kebobrokan moral.
Tetapi harus dicatat bahwa meski Weber tidak mau
melihat murid-murid Freud mempergunakan teori-teori mereka dalam cara pesonal
seperti itu, dia
Di Heidelberg, dari 1906 hingga 1910, Weber
berpartisipasi dalam dikusi intelektual dengan kolega-kolega terkemuka seperti
saudaranya, Alfred Weber, dengan Otto Klebs, Eberhard Gothein, Wilhelm
Windelband, Georg Jellinek, Ernst Troeltsch, Karl Neumann, Emil Lask, Friedrich
Gundolf, dan Arthur Salz. Selama masa-masa liburan atau ‘waktu-waktu bebas’
lainnya banyak teman dari luar Heidelberg menyambangi keluarga Weber. Mereka
antara lain adalah Robert Michels, Werner Sombart, filsuf Paul Hensel, Hugo
Münsterberg, Ferdinand Tönnies, Karl Vossler, dan, yang paling penting, Georg
Simmel. Dari kalangan ilmuwan muda yang meminta dukungan Weber adalah Paul
Honigsheim, Karl Löwenstein, dan Georg Lukacs. Lingkaran tersebut tidak
tertutup bagi kaum non akademis; mereka antara lain adalah beberapa seniman
terkemuka seperti Mina Tobler, musisi yang baginya Weber mendedikasikan studi
tentang agama Hindui dan Buddha, maupun mantan aktris, Kläre Schmid-Romberg,
dan suaminya, seorang penyair, filsuf, dan pakar seni. Karl Jaspers, seorang
psikiatris yang menjadi filsuf dan menggunakan karya Kierkegaard dalam filsafat
eksistensialismenya, dan H. Gruhle, seorang psikiatris yang menaruh minat pada
seni modern paling mutakhir, juga termasuk dalam lingkaran perkawanan itu. Tiga
generasi elite intelektual dan seni terlibat dalam diskursus aktif dalam
pertemuan-pertemuan Heidelberg itu.
Pada 1908 Max Weber aktif membangun sebuah masyarakat
sosiologi. Jauh dari pamrih, dia melaksanakan tugas-tugas rutin mengatasi
kesulitan-kesulitan yang lazim menghadang organisasi semacam itu. Dia memainkan
peran menentukan dalam penetapan level diskusi dalam pertemuan dan dalam
mendefinisikan cakupan kerja yang akan datang. Dia mendorong upaya penelitian
kolektif, seperti sebuah penelitian tentang asosiasi sukarela, mulai dari liga
atletik hingga sekte-sekte keagamaan dan partai-partai politik. Dia mengusulkan
sebuah studi metodologis tentang pers dengan kuisioner, dan mengarahkan serta
mendorong studi-studi dalam psikologi industri. Selain itu, dia menerima
tanggung jawab dari penerbit Siebeck dalam mengorganisasi sebuah serial
ensiklopedis studi-studi ilmu sosial. Proyek yang disebut terakhir ini
dimaksudkan sebagai kerja dua tahun, tetapi masih berlanjut setelah
kematiannya, sedangkan Wirtschaft und Gesellschaft miliknya sendiri
tampil secara anumerta sebagai sebuah volume dalam bunga rampai itu.
Ketajaman rasa kehormatan Weber, keksatriannya
yang spontan, dan posisinya sebagai perwira cadangan kadang-kadang mendorongnya
untuk terlibat dalam perkara pengadilan dan “masalah kehormatan.” Bertindak dengan cepat dan kemarahan yang
pada tempatnya adalah ciri khas Weber. Tetapi ketika lawannya sudah dihancurkan
secara moral oleh perangkat yang dia pasang, amarahnya mereda, dan dia dipenuhi
belas kasih dan simpati, apalagi jika dia tahu bahwa meski memang bersalah
orang menderita karena tindakannya. Teman-teman dekat yang tidak sekuat Weber
perasaannya dalam masalah-masalah seperti itu cenderung memandangnya sebagai
orang suka ribut yang tidak mempunyai kelihaian melangkah, seorang Don Quixote
yang segala tindakannya bisa menjadi bumerang. Sedangkan yang lainnya
menghormatinya sebagai pendidik Jerman terkemuka, yang otoritas moralnya
mendudukkannya di atas bahu para Philistine** lemah karakter yang tampil hanya demi karier mereka sendiri.
Sisi Don Quixote-nya tampak jelas dalam pernyataan yang dia sampaikan pada
temannya, Theodor Heuss, pada 1917: “Begitu perang berakhir, akan kuhina Kaiser
sampai dia menuntutku, lalu para negarawan yang bertanggung jawab, Bülow,
Tirpitz, dan Bethmann-Hollweg, akan dipaksa membuat pernyataan di bawah
sumpah.”
Ketika Perang Dunia Pertama pecah, Weber berusia
50. “Lepas dari semuanya,” itulah “perang besar dan menakjubkan,” dan dia ingin
memimpin kompinya. Usia dan kondisi kesehatan yang membuat hal itu mustahil
sungguh menyakitkan hatinya. Tetapi sebagai anggota korps cadangan, dia
ditugaskan sebagai perwira disipliner dan perekonomian, seorang kapten yang
bertanggung jawab membangun dan menjalankan sembilan rumah sakit di kawasan
Heidelberg. Dalam posisi itu dia mengalami dari dalam apa yang menjadi sebuah
konsep sentral dalam sosiologinya: birokrasi. Aparatus sosial yang dia pegang,
bagaimanapun, adalah aparatus sukarela, bukan berisi para ahli; dan Weber bekerja
untuk, serta menyaksikan, transformasinya menjadi sebuah birokrasi yang
tertata. Dari Agustus 1914 hingga musim gugur 1915, dia bertugas di komisi itu,
yang kemudian dibubarkan dalam sebuah reorganisasi, dan Weber diberhentikan
dengan hormat.
Dia bertolak ke Brussels untuk berunding dengan
Jaffé tentang administrasi pendudukan Belgia. Lalu dia pergi ke Berlin, sebagai
peramal bencana dan kehancuran, menulis berbagai memoranda, mencari kontak
dengan para pemegang otoritas politik, dan melawan aspirasi imperialis gila. Pada
intinya, dia mengungkapkan perilaku pihak yang berperang sebagai perjudian para
pembuat amunisi dan kapitalis agraria. Dari Berlin dia pergi ke Wina dan
Budapest, menjalankan tugas pemerintah, untuk melaksanakan beberapa pembicaraan
tak resmi dengan para industrialis tentang persoalan tarif.
Pada musim gugur 1916 Weber pulang ke Heidelberg,
mempelajari nabi-nabi Yahudi dan mengerjakan berbagai subbab Wirtschaft und
Gesellschaft. Pada musim panas 1917 dia berlibur di rumah istrinya di
Westphalia, membaca puisi Stefan Georg dan buku Gundolf tentang Goethe. Musim
dingin 1917 dan 1918, para mahasiswa pasifis sosialis sering berkunjung pada
“jam-jam terbuka”-nya pada hari Minggu di Heidelberg. Ernst Toller, si komunis
muda, adalah salah seorang dari mereka; sering membacakan puisinya keras-keras.
Di kemudian hari, ketika Toller ditangkap, Weber membelanya di pengadilan
militer dan berhasil membebaskannya, meski dia tak sanggup mencegah dibubarkannya
kelompok mahasiswa tersebut dari universitas.
Pada April 1918, dia pindah ke Wina untuk kuliah musim
panas di universitas. Itulah kuliah universitas pertamanya selama sembilan
belas tahun. Dengan judul “Sebuah Kritik Positif terhadap Konsepsi Materialis
tentang Sejarah,” dia mengemukakan sosiologinya tentang agama-agama dan politik
dunia. Kuliah-kuliahnya menjadi peristiwa penting bagi universitas itu, dan dia
mesti menyampaikannya di gedung terbesar yang ada di mana para mahaguru, pejabat
negara, dan politisi hadir. Meski begitu dia dilanda kecemasan meluap-luap
tentang kuliah-kuliah itu, karenanya dia mengkonsumsi opium agar bisa tidur.
Universitas Wina menawarinya jabatan permanen, tetapi dia tidak menerimanya.
Pada 1918 Weber berubah dari pendukung Monarkis
menjadi pendukung Republikan. Seperti dikatakan Meinecke, “Kami beralih dari
Monarkis di hati menjadi Republikan karena rasio.” Dia abstain dari segala
jabatan politis dalam rezim baru. Segala macam jabatan akademis ditawarkan
padanya: Berlin, Göttingen, Bonn, dan Munich. Dia menerima tawaran Munich,
berangkat ke kota itu pada musim panas 1919 selaku pengganti Brentano. Di
Munich, dia menyaksikan gegap-gempita Kediktatoran Bavaria dan kejatuhannya.
Kuliah-kuliah terakhirnya dikerjakan atas permintaan para mahasiswanya dan
diterbitkan sebagai Sejarah Ekonomi Umum. Di pertengahan musim panas Weber
jatuh sakit dan, pada tahap penyakitnya yang paling parah, seorang dokter mengatakan
bahwa Weber menderita radang paru-paru akut. Max Weber menutup mata pada Juni 1920.
** Julukan
yang diberikan para mahasiswa Jerman untuk orang non-universitas. Kata yang aslinya berarti orang dari Philistia (bangsa Aegea yang menetap
di Palestina kuno sekitar abad ke-12 SM) ini secara umum merujuk pada orang
bodoh, tak berbudaya, dan tidak peduli atau membenci pencapaian artistik dan intelektual.
Selanjutnya: Memahami Max Weber
Dari Introduction: The Man and His
Work, From Max Weber: Essays in Sociology https://archive.org/stream/frommaxweberessa00webe/frommaxweberessa00webe_djvu.txt
Comments
Post a Comment