Sulitnya menerjemahkan Weber
![]() |
Max Weber |
Seratus lima puluh tahun silam A. F. Tytler mengemukakan tiga Prinsip
Penerjemahan: Memberikan transkrip lengkap ide-ide orisinal; meniru gaya
pengarang aslinya; mempertahankan kemudahan teks aslinya. Dalam menyajikan
tulisan terpilih Max Weber bagi khalayak pembaca berbahasa Inggris, kami
berharap sudah memenuhi tuntutan pertama, yakni kesetiaan pada makna orisinalnya.
Tuntutan kedua dan ketiga sering bisa diperdebatkan dalam terjemahan dari
bahasa Jerman ke bahasa Inggris, dan, dalam kasus Max Weber, kedua tuntutan itu
betul-betul bisa diperdebatkan.
Kejeniusan bahasa Jerman membolehkan suatu tradisi stilistika ganda. Salah
satu tradisi sesuai dengan arah bahasa Inggris menuju kalimat-kalimat singkat
dan jelas secara gramatikal. Kalimat-kalimat demikian memuat rangkaian
pemikiran yang transparan di mana hal yang utama didahulukan. Friedrich
Nietzsche, Georg Christoph Lichtenberg, dan Franz Kafka termasuk yang menonjol
di antara para penganut tradisi ini.
Tradisi satunya lagi jauh dari kecenderungan modern bahasa Inggris. Tradisi
ini terasa berat dan menciutkan nyali, sebagaimana dirasakan para pembaca
Hegel, dan Jean Paul Richter, Karl Marx maupun Ferdinand Tönnies.
Nyaris mustahil mengklasifikasikan kedua tradisi itu sebagai “baik” dan
“buruk.” Para pengarang dari kubu yang pertama yakin bahwa mereka berurusan
dengan telinga; mereka ingin menulis seolah-olah mereka sedang berbicara.
Kelompok kedua memusatkan diri pada mata pembaca diam. Teks mereka tak mudah
untuk dibaca keras-keras bagi orang lain; setiap orang harus membaca untuk
dirinya sendiri. Max Weber pernah membandingkan humanisme sastra Jeman dengan
pendidikan Mandarin Cina; dan Jean Paul Richter, salah seorang penulis Jerman
terbesar, menyatakan bahwa “sebuah jeda panjang memperlihatkan lebih banyak
perbedaan bagi pembaca daripada dua puluh kalimat pendek. Pada akhirnya pembaca
harus membuat semuanya menjadi satu dengan membaca ulang dan mengikhtisarkan.
Penulis bukan pembicara dan pembaca bukan pendengar…’’*
Jelas bahwa mazhab tulisan ini menjadi seperti itu bukan karena
ketidakmampuan para praktisinya untuk menulis bagus. Mereka cuma mengikuti
sebuah gaya yang sama sekali berbeda. Mereka menggunakan parentesis,
mengklasifikasikan anak kalimat, inversi, dan perangkat ritmis kompleks dalam
kalimat polifoni mereka. Berbagai ide lebih disinkronkan daripada diserialkan.
Puncaknya, mereka membangun kepiawaian gramatikal di mana balkon dan menara
pengawas, maupun jembatan dan lekuk dinding mental menghias struktur utama.
Kalimat-kalimat mereka adalah puri-puri gotik. Dan gaya Max Weber jelas masuk
dalam tradisi ini.
Celakanya, dalam kasus Max Weber gaya tersebut masih diperumit dengan
kecenderungan memplatoniskan pemikiran: dia punya kegemaran pada kata benda dan participle yang dihubungkan dengan
bentuk-bentuk ekonomis tapi tuna warna kata kerja lemah seperti “to be,” ‘to
have,’ atau ‘to seem.’ Kecenderungan Platonisasi ini merupakan salah satu
penghormatan Max Weber terhadap filsafat dan yurispudensi Jerman, juga terhadap
gaya mimbar dan jabatan birokratis.
Jadilah kami melanggar aturan Tytler kedua bagi penerjemah. Meski kami
sangat ingin mempertahankan citra Weber, objektivitasnya, dan tentu saja
pengertian-pengertiannya, tanpa ragu-ragu kami memecah kalimatnya menjadi tiga
atau empat unit lebih kecil. Perubahan tertentu dalam bentuk waktu kata kerja, yang dalam bahasa Inggris akan terasa
tidak logis dan sembarangan, dihilangkan; kadang-kadang subjunktif diubah
menjadi indikatif, kata benda diganti dengan kata kerja; anak kalimat
oposisional dan parentesis disetarakan, dipaksa mengikuti bukannya mengusung
ide utama. Karena Weber tidak mengindahkan anjuran Friedrich Nietzsche bahwa
orang harus menulis dalam bahasa Jerman dengan tujuan memudahkan penerjemahan,
maka kami memecah-mecah struktur kalimatnya. Dalam urusan ini, kami berusaha
melakukannya sepenuh hormat dan seperlunya.
Tetapi kami juga melanggar aturan ketiga: Betapapun “mudahnya” Weber dalam
bahasa Inggris, itu adalah mudahnya prosa Inggris di mana dia diterjemahkan dan
sama sekali bukan mudahnya karya orisinal.
Seorang penerjemah Weber masih harus menghadapi kesulitan lebih jauh. Weber
kerap memperlihatkan keragu-raguan sadar dalam penggunaan kata-kata seperti
demokrasi, rakyat, lingkungan, penyesuaian, dan sebagainya, dengan pemakaian
tanda kutip secara berlebihan. Akan sepenuhnya salah menerjemahkan kata-kata
itu dengan tambahan kata ironis “yang disebut.” Lebih dari itu, Weber sering
menekankan kata dan frasa; konvensi percetakan Jerman lebih bisa menerima hal
demikian daripada konvensi Inggris. Terjemahan kami, pada pokoknya, mengikuti
konvensi Inggris; kami hilangkan apa yang bagi pembaca Inggris tampak sebagai
keberatan sadar dan cara penekanan. Hal yang sama juga berlaku bagi akumulasi
kata-kata kualifikasi, yang dibuang dalam bahasa Inggrisnya tanpa menghilangkan
ketepatan, penekanan, dan makna.
Weber mendorong tradisi akademik Jerman hingga ujung paling ekstrem. Tema
utamanya sering tenggelam dalam melimpahnya penyimpangan, pengecualian, dan
ilustrasi komparatif yang ditaruh dalam catatan kaki. Kami masukkan beberapa
catatan kaki ke dalam teks dan di beberapa tempat memindahkan acuan silang
teknis yang ada di teks asli ke catatan kaki.
Dengan demikian kami melanggar aturan kedua dan ketiga Tytler demi memenuhi
aturan pertama. Tujuan konstan kami adalah membuka akses bagi khalayak pembaca
Inggris pada terjemahan akurat tentang apa yang dikatakan Weber.
[...]Hans H. Gerth
C. Wright Mills
* Vorschule
der Aesthetik, hal. 382, Sämmtliche Werke, Vol. 18 (Berlin, 1841).
Baca juga tentang Max Weber Remaja di sini
Comments
Post a Comment