Contentious Politics (2)


terjemahan Contentious Politics Sidney Tarrow

BAB 1
Membuat Klaim
Ketika seorang mahasiswa teologi muda bernama Thomas Clarkson meraih Hadiah Latin dengan esai tentang perbudakan di Cambridge  pada tahun 1785, dia maupun para pendengarnya tidak membayangkan efek esai itu terhadap perbudakan di Imperium Inggris. Tetapi ketika duduk di tepi jalan dalam perjalanannya ke London untuk memulai karier sebagai seorang pendeta Protestan, Clarkson merenungkan bahwa jika horor yang dia ungkap tentang perbudakan benar adanya, “sudah waktunya seorang menyaksikan malapetaka ini berakhir” (Hochschild 2005:89).
Seseorang itu ternyata adalah Clarkson. Bersama sekelompok kecil aktivis antiperbudakan, dia menjadi organisator gerakan sosial modern pertama dunia. Dia menulis ribuan surat, mengorganisasi dukungan petisi, dan membantu meluncurkan gerakan transnasional yang sukses pertama di dunia. Gerakan itu akhirnya mengakhiri kekerasan keji perdagangan budak dan menyebabkan penghapusan perbudakan di seluruh Atlantik. Gerakan itu memungkinkan para pembaharu Inggris mengklaim keunggulan moral atas Amerika Serikat yang baru merdeka tetapi memiliki budak. Gerakan antiperbudakan melewati banyak fase, mengalami kemunduran sepanjang tahun-tahun represif perang Napoleon, dan diperlukan perang saudara yang brutal untuk mengakhiri perbudakan di Amerika Serikat. Tetapi gerakan ini menggabungkan gerakan penginjilan, emansipasi politik Katolik, dan reformasi parlementer untuk menciptakan pola gerakan sosial modern Inggris pada abad kedelapan belas—dan kesembilan belas.
Gerakan yang diawali Clarkson dan kawan-kawan terlihat terlalu santun, bahkan konservatif bagi kita saat ini. Tetapi mereka membuat klaim persis seperti yang masih dilakukan gerakan sosial sekarang. Mereka mendorong pembentukan komite-komite, memasang iklan di surat kabar, menganjurkan penandatanganan petisi, mengumpulkan bukti, dan mengajukannya ke Majelis Rendah. Walaupun kata boycott baru dikenal dalam abad berikutnya, mereka mengorganisasi apa yang sebetulnya merupakan pemboikotan gula yang diproduksi budak. Para aktivis antiperbudakan juga mengejutkan hati nurani bangsa dengan memamerkan alat-alat penyiksaan yang dipakai para pemilik budak. Dalam prosesanya, mereka menjalin persekutuan dengan tokoh-tokoh antiperbudakan di parlemen dan kalangan sastra seperti William Wilberforce dan Samuel Taylor Coleridge. Mereka bahkan mengirim Clarkson untuk membantu kekuatan-kekuatan antiperbudakan di Prancis selama periode singkat ketika orang-orang Republikan Prancis sedang menafsirkan Hak-Hak Manusia untuk menyertakan orang-orang kulit berwarna (Drescher 1991).
Diperlukan hampir dua puluh tahun bagi kampanye antiperbudakan Inggris untuk mengakhiri perdagangan budak Atlantik dan tiga dekade lagi bagi berakhirnya perbudakan di negeri-negeri jajahan Inggris. Tetapi tidak sampai setahun setelah Clarkson dan komite mengawali kampanye mereka, “Orang-orang Briton menentang perbudakan di perkumpulan-perkumpulan debat London, di kedai-kedai minum pedesaan, dan di meja-meja makan malam di seluruh negeri” (Hochschild 2005:213). Di Amerika Serikat yang baru merdeka, para penentang perdagangan budak akhirnya berhasil meyakinkan Kongres untuk menyatakan bahwa perdagangan tersebut ilegal, dan diperlukan sebuah perang saudara untuk mengakhiri perbudakan di Selatan. Clarkson, sekutu-sekutunya, musuh-musuhnya, dan otoritas publik di kedua sisi Atlantik membangun sebuah gerakan sosial.
Kita bisa sampaikan banyak kisah berbeda tentang antiperbudakan. Kita bisa memperlakukannya sebagai kisah moral yang menunjukkan tekad macam apa yang bisa mencapai keberhasilan menghadapi berbagai hambatan sulit. Kita bisa memandangnya sebagai penerapan nilai-nilai pencerahan, sebagai sebuah ungkapan fanatisme keagamaan, atau sebagai upaya kaum kapitalis Inggris mempromosikan buruh bebas dan perdagangan bebas. Kita bisa melihatnya sebagai contoh awal sebuah gerakan sosial transnasional, sebuah fenomena yang menjadi penting di abad globalisasi ini (lihat bab 9). Berbagai pengamat kampanye antiperbudakan Eropa dan Amerika sudah menyampaikan semua kisah tersebut, dan kisah-kisah lainnya. Di sini kita pandang fenomena tersebut sebagai contoh dramatis politik perseteruan, contoh tentang orang-orang yang saling bertarung memperjuangkan program politik mana yang akan berlaku. Untuk episode dramatis lain politik perseteruan, kita percepat kalender 228 tahun menuju Kiev, ibu kota Ukraina.

KEJATUHAN UKRIANA
Pada November 2013, sebuah gerakan protes pecah menentang keputusan Presiden Viktor Yanukovych untuk membatalkan perjanjian yang sudah lama direncanakn antara negerinya yang dililit kesulitan ekonomi dan Uni Eropa (EU). Yanukovych diyakinkan—menurut lawan-lawannya “dibeli”—oleh Presiden Rusia Vladimir Putin untuk mundur dari Eropa dengan iming-iming pinjaman $15 miliar jika negaranya bergabung dengan sebuah kelompok perdagangan yang dipimpin Rusia. Para pemimpin Eropa merespons dengan mengatakan jika Yunokovych menerima tawaran Rusia, maka tertutup semua peluang bagi hubungan Ukraina dengan EU. Orang-orang Ukraina barat—termasuk sebagian besar warga ibu kota negara, Kiev—berang dengan langkah Yanukovych. Para pengunjuk rasa di Kiev segera menduduki “Maidan”—alun-alun pusat kota—menyulut “Revolusi Oranye” 2002 di negara itu (Beisinger 2011). Tuntutan pertama mereka adalah hubungan Ukraina dengan Eropa, lalu pemberantasan korupsi, dan akhirnya pengunduran diri presiden.
Protes-protes itu umumnya berjalan damai, tetapi dengan cepat “berubah menjadi kekerasan”—yakni, polisi antihuru-hara rezim menindak mereka, menewaskan delapan puluh empat pemrotes dan menangkap ratusan lainnya. Kemarahan pada reaksi berlebihan rezim menyebar ke seluruh negeri dan Eropa, dan pendudukan Maidan mulai mengikuti pola bangunan-bangunan barikade, serbuan polisi, pendudukan gedung-gedung pemerintah, pidato-pidato politisi oposisi, dan peringatan pemerintah akan infiltrasi fasis. Apa yang dimulai sebagai gerakan protes yang umumnya damai dengan cepat mengalami militerisasi dengan kelompok-kelompok “ratusan” anak muda mengenakan helm dan masker gas dan membawa tameng bikinan sendiri menghadapi polisi yang semakin tidak efektif, tetapi tak kurang brutalnya.
Ketika konfrontasi memanas, aktor-aktor internasional bergerak mendekati satu kubu dan kubu lainnya. Di Barat, utusan-utusan Prancis, Jerman dan Polandia berusaha menciptakan kompromi yang akan menyelamatkan muka Yanukovych tetapi memberikan kepada para pemrotes hubungan dengan EU yang mereka inginkan; di Timur, Presiden Rusia Putin menawarkan uang muka bagi utang yang dijanjikannya dan mendesak Yanukovych untuk terus bersikap tegas terhadap para pemrotes. Pihak Rusia kemudian menyetujui setengah hati usulan kompromis Eropa, tetapi tiba-tiba, sama cepatnya dengan dia membatalkan kesepakatan awal hubungan dengan EU, Yanukovych raib, lalu muncul di Federasi Rusia, menyatakan sudah digulingkan oleh sebuah kudeta. (Belakangan diketahui bahwa dia ditinggalkan oleh satuan-satuan tentara dan pasukan polisi khusus tempatnya bergantung bagi kelangsungan hidupnya).
Sementara para aktivis yang menduduki Maidan bersorak-sorak bergembira, para politisi oposisi membentuk pemerintahan sementara tanpa pemilihan, dan menuduh Yanukovych melakukan pembunuhan massal, mengancam menyeretnya ke Mahkamah Pidana Internasional. Di Washington, Presiden Obama dan Menteri Luar Negeri Kerry menyambut kemunculan pemerintah sementara tersebut, sementara di Brussel, Komisioner Luar Negeri EU Catherine Ashton berbicara hati-hati tentang suntikan besar dana tunai untuk mendongkrak perekonomian negeri itu. Tetap pembicaraan tentang demokrasi internal dan talangan eksternal segera tenggelam ditelan apa yang terjadi di semenanjung Krimea Ukraina antara 28 Februari dan 2 Maret.
Pada hari-hari itu “manusa hijau kecil” berseragam mulai bermunculan di titik-titik kunci Krimea, sebuah wilayah yang menjadi bagian Rusia sejak zaman Catherine Yang Agung tetapi diserahkan kepada Ukraina oleh Ketua Partai Komunis Nikita Khrushchev pada tahun 1954 saat daerah itu masih menjadi bagian dari Uni Soviet. Semenanjung itu banyak dihuni oleh orang-orang berbahasa Rusia dan pernah menjadi pangkalan armada Laut Hitam Rusia. Pelan-pelan, pada mulanya, dan kemudian meningkat dengan cepat, angkatan bersenjata Rusia mengepung fasilitas militer Ukraina di kawasan itu, mengambil alih Parlemen dan penyeberangan feri Kerch antara Krimea dan Rusia. Identitas mereka menjadi jelas ketika Sergey Aksyonov, Perdana Menteri Krimea yang baru ditunjuk, menyerukan intervensi Rusia untuk melindungi warga kawasan itu dari serangan bersenjata. Kendaraan-kendaraan lapis baja Rusia segera meluncur menyeberangi perbatasan begitu Duma Rusia menyatakan merupakan tugas negara untuk melindungi warga berbahasa Rusia dari serangan yang disebut-sebut berasal dari “kaum fasis, nasionalis, dan anti-Semit” yang dikendalikan dari Kiev. Intervensi militer berskala penuh, dibarerngi oleh demonstrasi internal pro-Rusia, berlangsung. Dan, dalam sebuah plebisit pada tanggal 16 Maret, mayoritas besar warga Krimea memberikan suara mendukung penggabungan Krimea dengan Rusia.
Sebelumnya: Contentious Politics (1)
Catatan: Diterjemahkan dari Charles Tilly & Sidney Tarrow, Contentious Politics, Oxfor University Press, h. 3 -6.

Comments

Popular posts from this blog

Para Pembunuh

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Kekekalan (L'Immortalite), Milan Kundera