Bagaimana Orang Kulit Putih Datang

Dari Air Laut Besar di timur hingga Air Laut Besar di barat, hiduplah
Anak-anak Matahari, begitulah mereka menyebut diri sendiri.
Bahagia dan bebas laksana sinar matahari dan udara, mereka berlarian di
hutan-hutan luas milik mereka, atau menyusuri sungai ke hulu dan ke hilir
dengan kano mereka.
Suatu saat mereka bermimpi, jauh sebelum Columbus bermimpi tentang Dunia
Barat.
Dalam mimpinya orang Indian melihat seekor Burung Putih besar dari timur.
Sayapnya merentang lebar ke utara dan selatan. Dengan kekuatan besar dan
kecepatan tinggi, ia melesat ke arah matahari terbenam.
Diliputi ketakutan dan keheranan orang Indian itu menatap Burung Putih
besar tersebut muncul dan menghilang. Dia tahu apa maknanya, dan dia bersedih
hati.
Lalu Orang Kulit Putih pun datanglah. Dari Air Laut Besar di timur dia
datang dengan kano bersayap putih besarnya. Dengan satu tangan menunjuk pada
Roh Agung dan satunya diulurkan pada Orang Kulit Merah dia datang. Dia minta
sedikit tempat duduk. Tempat duduk seukuran kulit bison sudah cukup besar
baginya, begitu katanya.
Dengan menyebut nama Roh Agung, Anak-anak Kulit Merah menyambut orang Kulit
Putih itu dan menyebutnya “saudara”. Mereka memberinya tempat duduk yang dia
minta. Mereka juga memberinya kulit bison yang lebar, dan menunjukkan di mana
dia bisa membentangkannya di dekat api unggun mereka.
Orang Kulit Putih itu mengambil kulit bison yang diberikan. Dia berterima
kasih kepada saudara Kulit Merahnya dengan menyebut nama Roh Agung. Lalu dia
mulai memotong-motong kulit tersebut menjadi banyak, banyak sekali, potongan.
Ketika kulit bison sudah dipotong-potong tipis-tipis, dia menyambung
potongan-potongan tersebut. Mereka membuat tali panjang yang mencapai setapak
panjang.
Terheran-heran orang-orang Indian memandangi orang Kulit Puith itu mengukur
tempat duduk sepanjang dan selebar tali yang direntangkan membentuk lingkaran.
“Tempat duduk kecil”, seukuran kulit bison, itu menjadi sebidang tanah.
Tak lama kemudian orang Kulit Putih itu minta tempat duduk lagi. Kali ini
tempat duduknya meliputi tipi-tipi dan api unggun orang Indian. Dia bertanya
apakah orang-orang Indian bersedia pindah sejauh beberapa jarak tembak anak
panah. Mereka bersedia.
Lalu orang Kulit Putih itu menginginkan tempat duduk lagi. Tiap kali
permintaan itu berupa kulit lebih besar untuk tempatnya duduk. Kali ini kulit
itu merentang begitu jauh hingga meliputi sebagian padang berburu dan mencari
ikan Indian.
Lagi-lagi orang Indian harus pindah. Lagi-lagi orang Kulit Putih mengikuti.
Setiap kali hal semacam itu terjadi semakin luas saja tempat duduknya, sampai
orang Indian hanya punya tempat seukuran kulit bison yang hanya cukup untuk
duduk.
Begitulah orang Kulit Putih datang. Seperti Butung Putih besar yang menyapu
dari Air Laut Besar di timur ke Air Laut Besar di barat, orang Kulit Putih
datang; dan dia mengusir orang Indian dari tempat matahari terbit ke tempat
terbenamnya.
[ ... ]
“Dahulu tanah ini milik leluhur kami. Iroquois adalah bangsa besar dahulu.
Api unggun musyawarah tetua suku mereka
menyala dari Sungai Hudson di timur hingga Danau Erie di barat, dari tempat
mata hari terbit hingga terbenamnya.
Kini tak banyak yang tersisa untuk kami selain dongeng leluhur kami.
Dongeng yang tak lama lagi juga akan lenyap dan dilupakan ...,” ujar salah
seorang kepala suku mewakili rekan-rekannya yang tergabung dalam Liga Iroquois.
Cuplikan kisah lainnya bisa dilihat di sini
Cuplikan kisah lainnya bisa dilihat di sini
Dimuat dalam buku:
Judul :
Dongeng Anak Indian Iroquois
Penulis :
Mabel Powers (Yeh sen noh wehs)
Penerjemah :
Noor Cholis
Penerbit : Adiwacana, Yogyakarta,
2014.
Comments
Post a Comment