Weber, Ilmuwan Pekerja Keras


     Setelah perkawinannya dengan Marianne, Weber menjalani kehidupan sukses seorang ilmuwan muda di Berlin. Menggantikan tempat Jakob Goldschmidt, dosen ekonomi tersohor yang jatuh sakit, Weber hadir di gedung kuliah dan seminar sembilan belas jam sepekannya. Dia juga berperan serta dalam ujian negara untuk pengacara dan, di samping itu, membebankan kerja berat bagi dirinya sendiri. Dia aktif memberikan konsultasi bagi badan-badan pemerintah, dan melakukan studi khusus bagi kelompok-kelompok pembaruan swasta, satu tentang bursa saham dan satunya lagi tentang properti di Jerman Bagian Timur.
     Pada musim gugur 1894, dia menerima jabatan profesor penuh dalam bidang ekonomi di Universitas Freiburg. Di sana dia bertemu Hugo Münsterberg, Pastor Naumann, dan Wilhelm Rickert. Bebannya sungguh berat, bekerja hingga malam sangat larut. Jika Marianne mendesaknya agar beristirahat, dia pasti berteriak, “Kalau tidak bekerja sampai jam satu aku tidak bisa menjadi profesor.”
     Tahun 1895, pasangan Weber melawat ke Skotlandia dan pantai barat Irlandia. Sekembali ke Freiburg, Weber menyampaikan pidato pengukuhan di Universitas. Pidato itu berjudul “Negara Nasional dan Kebijakan Ekonomi” dan merupakan pengakuan keyakinan pada Realpolitik imperialis dan Dewan Hohenzolern. Pidato yang memicu kegaduhan. “Brutalitas pandangan saya, “tulisnya, “membangkitkan horor. Yang paling senang adalah orang Katolik, sebab saya melayangkan tendangan telak pada ‘Kultur Etis’.”
     Weber menerima jabatan ketua di Heidelberg pada 1896, menggantikan Knies yang terkemuka dan pensiun, juga salah satu pemuka “mazhab historis.” Dengan demikian Weber menjadi kolega para bekas gurunya, Fischer, Bekker, dan lain-lain, yang masih mewarnai kehidupan intelektual dan sosial Heidelberg. Lingkaran teman-temannya antara lain adalah Georg Jellinek, Paul Hensel, Karl Neumann, sejarawan seni, dan Ernst Troeltsch, ahli agama, yang adalah salah seorang sahabat karib dan mitra intelek Weber, dan untuk suatu waktu pernah menumpang di rumah Weber.

***

     Ayah Max Weber meninggal pada tahun 1897, tak lama setelah perdebatan menegangkan di mana Max dengan sengit membela ibunya terhadap apa yang dia anggap sebagai kekangan otokratis. Nantinya Max Weber merasa bahwa permusuhan dengan ayahnya itu adalah tindakan keliru yang takkan pernah bisa diperbaiki. Sepanjang musim panas berikutnya, suami istri Weber pergi ke Spanyol dan sepulang dari perjalanan itu Weber terserang demam dan sakit secara psikis. Dia tampak membaik ketika tahun akademik dimulai, tetapi menjelang akhir semester musim gugur dia roboh karena ketegangan dan penyesalan mendalam, kelelahan dan kecemasan. Untuk menyembuhkan kondisi yang pada dasarnya bersifat psikiatris itu dokter meresepkan air dingin, perjalanan, dan olah raga. Tetapi Weber terus mengalami ketegangan batin yang tak kenal tidur.
      Sepanjang sisa hidupnya sebentar-sebentar dia terserang depresi berat, diselingi kekambuhan maniak kerja intelektual luar biasa intensif dan perjalanan. Bahkan, cara hidupnya sejak saat itu tampak berkisar antara sakit neurotis, perjalanan, dan kerja. Dia tetap utuh berkat topangan selera humor yang dalam dan praktek luar biasa tanpa kenal takut maksim Sokratik.
      Bersemangat melakukan yang terbaik dari situasinya yang buruk dan menenteramkan istrinya, Weber menulis:
      “Penyakit semacam ini ada kompensasinya. Ia membukakan kembali bagiku sisi manusiawi kehidupan, yang dahulu Mama ingin lihat ada padaku. Dan hingga batas tertentu memang sebelumnya asing bagiku. Bisa kukatakan, sepakat dengan John Gabriel Borkman, bahwa ‘tangan beku membuatku bebas’. Pada tahun-tahun silam kecenderungan tak sehatku menampakkan diri dalam wujud cengekaraman panik atas kerja ilmiah, yang bagiku tampak bagaikan jimat … Menengok ke belakang, hal itu sangat gamblang. Aku tahu mana sakit mana sehat, aku tak akan sama lagi. Desakan untuk merasa dilumat himpitan kerja lenyap sudah. Yang paling kuinginkan sekarang adalah menjalani hidupku secara manusiawi dan melihat kekasihku sebahagia mungkin sebagaimana bisa kulakukan untuk membuatnya bahagia. Aku tak yakin akan mencapai kurang dari yang sudah-sudah dalam jentera batinku, tentu saja, sesuai dengan kondisiku, yang peningkatan permanennya membutuhkan lebih banyak waktu dan istirahat.”
      Berulang kali dia mencoba melanjutkan mengajar. Dalam salah satu upaya semacam itu lengan dan punggungnya menderita kelumpuhan sementara, tetapi dia memaksakan diri untuk menyelesaikan semester itu. Dia benar-benar merasa kelelahan; kepalanya letih; setiap upaya mental, terutama bicara, terasa sebagai gangguan bagi seluruh dirinya. Meskipun sesekali disergap amarah dan ketidaksabaran, dia menganggap kondisinya itu bagian dari suratan. Dia menolak segala “nasihat baik”. Sejak remaja, segala sesuatu dalam dirinya dipersiapkan untuk berpikir. Dan kini setiap perburuan intelektual menjadi racun baginya. Dia tidak mengembangkan satu pun kemampuan artistik, dan segala rupa kerja fisik sangat tidak disukainya. Istrinya berusaha membujuknya agar menekuni suatu keterampilan atau hobi, tapi dia cuma tertawa. Berjam-jam dia duduk dan memandang hampa, sibuk dengan kuku jarinya, katanya keisengan semacam itu membuatnya merasa nyaman. Ketika berusaha membuka catatan kuliah, kata-kata lalu-lalang tak karuan di depan matanya. Suatu hari, ketika berjalan-jalan di hutan, ia kehilangan kontrol sensoriknya dan terang-terangan menangis. Seekor kucing yang mengeong-ngeong membuatnya naik darah tak terkendali. Gejala-gejala demikian muncul sepanjang tahun 1898 dan 1899. Pihak berwenang universitas memberinya cuti dengan gaji. Bertahun-tahun kemudian, dalam sebuah surat kepada temannya, Karl Vossler, Weber menulis: “‘Penderitaan mengajarkan doa.’ … Selalu? Menurut pengalaman pribadiku, ingin rasanya aku membantah pernyataan itu. Tentu saja, aku sependapat denganmu bahwa pernyataan itu sangat sering muncul, terlalu sering bagi martabat manusia.”
      Pada satu musim gugur suami istri Weber melawat ke Venesia untuk “sebuah liburan”. Sekembali ke Heidelberg lagi-lagi Weber mencoba meneruskan beberapa pekerjaannya, tetapi segera saja jatuh sakit, lebih parah dari yang sudah-sudah.  Pada hari Natal dia mengajukan pengunduran diri dari jabatannya, tetapi universitas memberinya izin cuti panjang dengan gaji tetap dibayar. Dia tidak bisa membaca atau menulis, bicara, berjalan, atau tidur tanpa rasa sakit; seluruh mental dan sebagian fungsi fisiknya menolak bekerja.
     Awal 1899 dia masuk rumah sakit jiwa kecil dan tinggal di sana sendirian selama beberapa minggu. Sepupu belia Weber yang psikopat juga dimasukkan ke rumah sakit itu, dan sepanjang musim dingin, menuruti anjuran medis, istri Weber mengajak kedua pria itu mengunjungi Ajaccio di pulau Korsika. Pada musim semi mereka mengunjungi Roma, reruntuhan yang ada di sana membangkitkan kembali minat sejarah Weber. Dia merasa tertekan dengan kehadiran pemuda psikopat itu, yang kemudian dikirim pulang. Beberapa tahun kemudian, pemuda itu bunuh diri. Surat belasungkawa Weber bagi orang tua anak itu membuka wawasan kita tentang sikap berlepas dirinya terhadap pandangan konvensional tentang bunuh diri.
      “Dia adalah laki-laki (Weber menulis tentang sepupunya itu) yang, meski terbelenggu tubuh sakit tak terobati, mampu mengembangkan, mungkin karena keadaannya itu, sebuah kepekaan rasa, sebuah kejernihan tentang dirinya sendiri, dan sebuah sikap batin yang dalam tersembunyi, membanggakan, dan mulia seperti ditemukan dalam segelintir orang sehat. Untuk mengetahui dan menilai hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh mereka yang benar-benar mengenalnya dari dekat dan belajar untuk mencintainya sebagaimana kita lakukan, dan yang, pada saat yang sama, secara pribadi mengetahui penyakit apa itu … Masa depannya adalah apa yang ada sekarang ini, dia melakukan hal yang benar untuk bertolak ke negeri tak dikenal dan berangkat mendahului kalian, yang kalau tidak demikian kalian akan meninggalkannya di dunia ini, berjalan menyongsong nasib gelap, tanpa bimbingan, dan dalam kesepian.”
     Dengan penilaian terhadap bunuh diri sebagai sebuah afirmasi terakhir dan tegas terhadap kebebasan manusia semacam itu, Weber berpihak pada kaum Stoik modern seperti Montaigne, Hume, dan Nietzsche. Dan, pada saat yang sama, berpendapat bahwa agama-agama penyelamatan tidak menyepakati “kematian suka rela,” bahwa para filsuf saja yang mengeramatkannya.
     Di bawah pengaruh keindahan pemandangan Italia dan tempat-tempat bersejarahnya yang luar biasa, perlahan-lahan Weber pulih. Pasangan Weber juga tinggal beberapa saat di Swiss, di mana ibunya, yang sudah berusia 57 tahun, dan saudaranya, Alfred, mengunjungi mereka. Tak lama setelah kunjungan ibunya itu, Max bisa mulai lagi membaca, sebuah buku tentang sejarah seni. Ia berkomentar: “Siapa yang tahu berapa lama aku bisa bertahan dengan ini? Sama sekali bukan literatur bidangku.” Setelah tiga tahun sebentar-sebentar disergap sakit keras, pada 1902 Weber merasa sanggup kembali ke Heidelberg dan mulai lagi menjalani jadwal ringan. Perlahan-lahan dia mulai membaca jurnal-jurnal profesional dan buku-buku semacam Filsafat Uang  Georg Simmel. Lalu, seakan-akan untuk membalas tahun-tahun paceklik intelektualnya, dia menenggelamkan diri dalam literatur universal yang luar biasa banyak di mana sejarah, ekonomi, dan politik berjajar dengan sejarah ekonomi orde monastik.
     Tetapi yang terjadi adalah berulangnya kemunduran. Weber tetap tidak bisa sepenuhnya menangani pekerjaan mengajarnya. Dia minta mundur dari jabatan sebagai profesor dan diubah menjadi profesor tituler. Permintaan ini mula-mula ditolak, tetapi atas desakannya, dia dijadikan sebagai dosen. Dia minta hak untuk menguji para kandidat doktor, tetapi tidak dikabulkan. Setelah empat setengah tahun tidak menghasilkan apa-apa akhirnya dia mampu menulis sebuah resensi buku. Sebuah fase baru menulis akhirnya berawal, pada mulanya mengangkat persoalan metode dalam ilmu-ilmu sosial.
     Weber tersiksa oleh beban psikis karena menerima uang dari universitas tanpa melakukan tugas yang layak. Baginya hanya orang yang bekerja yang bisa disebut orang sepenuhnya, dan dia mamaksakan diri bekerja. Tetapi hanya satu musim panas setelah itu dia kembali ke Italia seorang diri. Selama tahun 1903, dia bepergian keluar dari Jerman tak kurang dari enam kali; dia menetap di Italia, Belanda, dan Belgia. Keadaan kegelisahannya, kekecewaan pada ketidakcakapannya sendiri, berbagai friksi dengan fakultas Heidelberg, dan keadaan politik negara kadang-kadang membuatnya ingin hengkang dari Jerman selamanya. Tetapi pada tahun itu juga, 1903, dia berusaha bergabung dengan Sombart dalam penyuntingan Archiv für Sozialwissenschaft und Sozialpolitik, yang boleh jadi adalah jurnal ilmu sosial terkemuka di Jerman hingga diberangus kaum Nazi. Kegiatan penyuntingan tersebut memberi Weber kesempatan untuk kembali menjalin kontak dengan lingkaran luas para ilmuwan dan politisi dan memperluas fokus karyanya. Pada tahun 1904, produktivitasnya kembali dalam keadaan gencar-gencarnya dan menanjak tajam. Ia menerbitkan esai-esai tentang problem sosial dan ekonomi golongan Junker, objektivitas dalam ilmu sosial, dan bagian pertama Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.

 Selanjutnya Weber di Amerika
Dari Introduction: The Man and His Work, From Max Weber: Essays in Sociology https://archive.org/stream/frommaxweberessa00webe/frommaxweberessa00webe_djvu.txt

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)