Surat Dalam Botol
![]() |
Edgar Allan Poe |
Sekarang, sebelum
menginjak pada subjek kita yang sesungguhnya, izinkan saya memohon perhatian
pembaca untuk sedikit mengambil intisari sepucuk surat yang lumayan luar biasa
ini. Surat yang tampaknya dimasukkan ke dalam sebuah botol dan diapungkan di Mare
Tenebrarum—lautan
yang dipaparkan jelas oleh ahli geografi Nubia, Ptolomeus Hephestus, tapi
jarang disambangi di zaman modern ini kecuali oleh para transendentalis dan
para penyelam samudera ide-ide ajaib lainnya. Penanggalan surat itu, saya harus
akui, jauh lebih mencengangkan ketimbang isinya, karena agaknya ia ditulis
tahun dua ribu delapan ratus empat puluh delapan. Mengenai isinya, cuplikan
yang akan saya tulis ulang berikut ini, saya rasa, akan menjelaskan sendiri.
“Tahukah, Kawan,” ujar si penulis kepada,
tak diragukan lagi, rekan sezamannya, “Apa kamu tahu kalau baru delapan atau sembilan ratus
tahun silam para ahli metafisika untuk pertama kalinya bersepakat membebaskan
manusia dari anggapan tunggal bahwa hanya ada dua jalan yang bisa ditempuh
menuju Kebenaran? Percayalah! Yang jelas, agaknya dahulu, dahulu sekali, dalam
kegelapan waktu, hiduplah seorang filsuf Turki bernama Aries dengan nama
keluarga Tottle,” [Mungkin maksud si
penulis adalah Aristoteles; nama-nama terbaik dikacaukan semau-maunya dalam dua
atau tiga ribu tahun.] “Kemasyhuran
orang besar ini terutama bergantung pada pembuktian demonstratifnya bahwa
bersin adalah ketentuan alam, dengan bersin para pemikir yang kelewat serius
sanggup mengeluarkan ide melimpah ruah lewat hidung; meski begitu dia sangat
terkenal sebagai pendiri, atau sekurang-kurangnya sebagai penganjur utama, dari
apa yang diistilahkan sebagai filsafat deduktif atau apriori. Dia mulai dengan
apa yang diyakininya sebagai aksioma, atau kebenaran yang terbukti dengan sendirinya.
Rupanya fakta yang sekarang sangat dipahami bahwa tidak ada itu kebenaran yang
terbukti dengan sendirinya sama sekali tidak masuk dalam spekulasinya. Untuk
kepentingannya cukuplah kebenaran-kebenaran yang dipersoalkan sudah jelas
dengan sendirinya. Dari aksioma dia bertolak, logis benar, menuju hasil.
Muridnya yang paling tersohor adalah Tuclid, seorang ahli geometri [maksudnya Euklid], dan
Kant, seorang Belanda, moyang spesies Transendentalisme yang, hanya
dengan mengganti C dengan K, kini menyandang nama yang sungguh bergaya.
“Nah, Aries Tottle melangit
namanya, hingga datanglah orang bernama Hog (Babi), dengan nama keluarga “Ettrick shepherd”, pengkhotbah sistem yang sama sekali
berbeda, yang dia sebut aposteriori atau induktif. Seluruh skemanya menunjuk
pada indera. Dia bertolak dari pengamatan, analisis, dan klasifikasi fakta—instantiae Naturae
begitu mereka menyebutnya dengan agak genit—dan menyusun semuanya ke
dalam hukum-hukum umum. Singkatnya, kalau mode Aries bersandar pada noumena, mode Hog bertumpu
pada fenomena. Begitu besarnya puja-puji yang ditangguk sistem Hog ini
sampai-sampai sewaktu pertama kali dilansir Aries langsung jatuh pamornya. Tapi
akhirnya si Aries mendapat pijakan kembali, dan diperbolehkan berbagi kerajaan
filsafat dengan saingannya yang lebih modern itu; kaum terpelajar mencukupkan
diri dengan menutup pintu bagi semua pesaing yang lain, entah itu dari masa
lalu, masa kini atau masa nanti, menyudahi segala kontroversi tentang topik itu
dengan menetapkan hukum Median, sehingga jalan Aristotelian dan Baconian
merupakan, dan harus menjadi, satu-satunya jalan menuju pengetahuan. “Baconian”, kamu pasti tahu, Kawan,” tandas si penulis surat
pada titik ini, “adalah
sebuah adjektiva yang diciptakan sebagai padanan bagi Hogian, dan ternyata
terdengar lebih aksi dan lebih merdu merayu.
“Aku tandaskan,” sambung surat itu, “bahwa persoalan ini
kusampaikan secara adil. Dan kamu bisa dengan mudah memahami betapa absurdnya
segala pembatasan yang lalu lalang di muka mereka, pada masa itu, untuk
memperlambat laju ilmu pengetahuan sejati, yang sedang membuat kemajuan paling
pentingnya, sebagaimana akan diperlihatkan semua sejarah, dengan apa yang
tampak sebagai lompatan intuitif. Ide-ide kuno itu membatasi penyelidikan
hingga cuma bisa merangkak, dan aku tidak perlu memberi tahumu bahwa merangkak,
dari sekian jenis gerak, adalah jenis yang paling utama. Tetapi karena siput
mengandalkan kakinya, haruskah kita memangkas sayap rajawali? Selama
berabad-abad besar sekali godaan untuk menerima, terutama menyangkut Hog, bahwa
palang pemberhentian sudah terpancang bagi semua pemikiran. Ungkapan yang pas.
Tak seorang pun bernyali menyampaikan kebenaran yang dia peroleh sendiri. Tidak
jadi soal apakah kebenarannya terbukti atau tidak, sebab para filsuf dogmatis
zaman itu hanya memandang jalan
yang melaluinya kebenaran sudah dianggap tercapai. Tujuan, bagi mereka, adalah
suatu titik tanpa momen apa pun: “Cara!” mereka
berteriak-teriak, “mari
kita lihat caranya!” Dan
jika, setelah menekuri cara, ternyata hasilnya tidak termasuk dalam kategori
Hog, tidak pula dalam kategori Aries (si biri-biri itu), maka para bijaksanawan
tersebut tidak beranjak lebih jauh. Menyebut si pemikir sebagai dungu dan
menggelarinya “teoritikus”, sejak itu mereka tak
pernah ada urusan dengan dia atau kebenaran-kebenarannya.
“Nah, kawanku yang baik,” lanjut si penulis surat, “tidak bisa diharapkan
bahwa, dengan sistem merangkak yang dianut secara eksklusif, manusia akan
sampai pada kebenaran maksimum, bahkan dalam abad yang panjang berderet-deret
sekalipun, sebab penindasan imajinasi adalah kejahatan yang tidak bisa
ditandingi oleh kepastian absolut proses siput sekalipun. Apalagi kepastian
proses itu sangat jauh dari absolut. Kesalahan leluhur kita sama persis dengan
kedunguan orang sok tahu yang merasa pasti bisa melihat benda lebih jelas kalau
benda itu makin dekat ke matanya. Sudah begitu mereka dibutakan oleh hal-hal
yang sukar dipahami, asyik dengan detail bubuk tembakau Scotch. Maka fakta yang
digembar-gemborkan para pendukung Hog sama sekali bukan selalu fakta—mestinya ini tidak terlalu
penting kalau bukan karena asumsi bahwa mereka selalu begitu. Cacat paling
parah Baconianisme—sumber
kesalahannya yang paling patut disesalkan—terletak pada kecenderungan untuk menyerahkan kekuasaan
dan pertimbangan hanya bagi mereka yang paham, kawanan ikan Minnow kecil-kecil
di sekeliling raja Triton, para ilmuwan mikroskopis, penggali dan penjaja
fakta-fakta remeh, sebagian besar ilmu fisik, fakta-fakta yang mereka jual
eceran dengan harga sama di jalan raya, nilainya bergantung, diandaikan begitu,
semata-mata pada fakta tentang fakta mereka belaka, tanpa menyebut-nyebut bisa
diterapkan atau tidaknya dalam perkembangan fakta-fakta puncak dan sah, yang
disebut Dalil.
“Dibanding orang-orang itu,” surat itu terus mengalir,
“dibanding
orang-orang itu yang serta-merta diangkat oleh filsafat Hogian ke sebuah
kedudukan yang sebetulnya tidak cocok untuk mereka, dipindahkan dari dapur ke
ruang tamu sains, dari gudang makanan ilmu pengetahuan ke mimbarnya; dibanding
orang-orang itu, tak pernah ada di muka Bumi ini gerombolan fanatik dan
tiran yang lebih tidak toleran dan lebih tak tertanggungkan. Kredo mereka, teks
mereka, dan khotbah mereka itu-itu saja—kata tunggal ‘fakta’. Tetapi, bagi kebanyakan dari mereka, makna satu kata
itu pun tidak diketahui. Bagi siapa saja yang berani coba-coba mengusik
fakta-fakta mereka dengan maksud mengatur dan menggunakan, murid-murid Hog sama
sekali tak kenal ampun. Segala upaya untuk melakukan generalisasi langsung
dihadang dakwaan ‘teoretis’, ‘teori’, ‘teoretikus’; semua pikiran,
pendeknya, sangat dibenci sebagai penghinaan personal bagi mereka.
Mengembangkan ilmu alam dengan mengesampingkan metafisika, matematika, dan
logika, kebanyakan para filsuf cetakan Bacon ini—dengan ide
setengah-setengah, berat sebelah, kakinya pincang—lebih tidak ketulungan
mengenaskannya, lebih menyedihkan dungunya (berkenaan dengan semua objek
pengetahuan yang mudah dipahami) daripada orang dusun paling tidak terpelajar
yang memperlihatkan bahwa dia tahu setidak-tidaknya bagaimana mengakui bahwa
dia tidak tahu apa-apa.
“Para leluhur kita itu pun
tak lebih berhak bicara tentang kepastian sewaktu menapaki, dengan keyakinan
membuta, jalan apriori aksioma, atau jalan si Biri-biri. Di mana pun,
jarang-jarang jalan itu selurus tanduk seekor biri-biri. Kebenarannya sederhana
saja, yaitu kaum Aristotelian membangun istana mereka di atas fondasi yang jauh
lebih tidak meyakinkan ketimbang udara, sebab yang namanya aksioma tidak pernah
ada atau sama sekali tidak mungkin ada. Mereka pasti sangat buta hingga tidak
melihat, atau sekurang-kurangnya mencurigai, bahwa, bahkan pada zaman mereka,
banyak dari ‘aksioma-aksioma’ yang lama dipuja itu
sudah ditinggalkan: ‘ex
nihilo nihil fit’,
umpamanya, dan ‘sesuatu
tidak bisa bertindak di mana ia tidak ada’ dan ‘tidak mungkin ada antipode’, serta ‘kegelapan tak bisa bermula
dari cahaya’.
Proposisi-proposisi itu dan banyak lagi yang serupa lainnya yang tadinya
diterima tanpa keraguan sebagai aksioma, atau kebenaran tak terbantahkan, sudah
dianggap, bahkan pada zaman yang kubicarakan itu, sama sekali tidak bisa
dipertahankan. Jadi alangkah absurdnya orang-orang itu nekat bersandar pada
basis yang dianggap tak berubah, padahal perubahannya sudah tampak begitu
seringnya!
“Memang, bahkan dengan bukti yang mereka usahakan dan
merugikan mereka sendiri, mudah sekali mendakwa para perasional apriori
ketidakrasionalan paling berat ini, gampang sekali menunjukkan kesia-siaan dan
susah dimengertinya aksioma-aksioma mereka pada umumnya. Di depanku tergelatak,” perlu disegarkan kembali
bahwa kita masih menyimak surat, “Di depanku tergeletak sebuah buku cetakan sekitar seribu
tahun silam. Pundit meyakinkanku bahwa inilah karya kuno paling cemerlang
tentang topik ini, “Logika”. Pengarangnya, yang
begitu dihormati pada masanya, adalah orang bernama Miller, atau Mill, dan buku
itu mencatat bahwa dirinya, informasi ini agaknya lumayan penting, menunggang
seekor kuda penggiling bernama Jeremy Bentham. Tapi sebaiknya kita tengok
sekilas isi buku itu saja.
“Ah! Kemampuan atau
ketidakmampuan memahami,” kata
Pak Mill dengan sangat tepatnya, “sama sekali tidak bisa diterima sebagai suatu kriteria
kebenaran aksiomatis.” Nah,
bahwa ini adalah kebenaran yang terang benderang tak seorang waras pun akan
menyangkalnya. Tidak mengakui
proposisi itu sama saja dengan melayangkan tuduhan adanya variabilitas dalam
kebenaran itu sendiri, yang labelnya saja adalah sinonim dari keteguhan. Jika
kemampuan memahami dipakai sebagai kriteria kebenaran, maka kebenaran bagi David
Hume sangat kecil kemungkinannya merupakan kebenaran bagi Joe, dan
sembilan puluh sembilan perseratus dari apa yang tak terbantahkan di Langit
pastilah merupakan kekeliruan nyata di Bumi. Maka dari itu proposisi Pak Mill
bisa dibenarkan. Aku tidak akan menyebutnya sebagai sebuah aksioma, dan itu
semata-mata karena aku sedang menunjukkan bahwa tidak ada itu yang namanya
aksioma. Tetapi dengan ketegasan yang tidak bisa diributkan bahkan oleh Pak
Mill sendiri, aku siap menyatakan bahwa jika memang aksioma itu ada,
maka proposisi yang tengah kita bicarakan ini sangat layak untuk dianggap
sebagai sebuah aksioma—bahwa
sudah tidak ada lagi aksioma
absolut. Jadi kalau ada proposisi terkemudian yang bertentangan dengan yang dinyatakan
sebelumnya itu maka ia pasti mengandung kesalahan dalam dirinya—karena: tidak ada aksioma—atau, jika bisa diterima
sebagai aksiomatis, ia pasti menetralisir dirinya sendiri atau proposisi
sebelumnya.
“Baiklah sekarang, dengan
logika dari pengusungnya sendiri, mari kita uji salah satu aksioma yang
diajukan. Kita beri Pak Mill aturan main paling adil. Kita tidak akan
menghadapkan persoalan ini pada isu-isu biasa. Untuk penyelidikan ini kita
tidak akan memilih aksioma lazim—bukan aksioma dari apa yang, tidak absurd sama sekali
karena hanya disiratkan, dia istilahkan sebagai kelas sekundernya—seolah-olah sebuah
kebenaran positif menurut definisi secara positif kurang lebihnya juga
merupakan sebuah kebenaran. Kita akan memilih, aku tegaskan, sebuah aksioma tak
terbantahkan yang sangat layak dipertanyakan seperti aksioma Euklid. Kita tidak
akan membicarakan, umpamanya saja, proposisi-proposisi seperti ‘dua garis tidak bisa
melingkupi sebuah ruang’, atau ‘keseluruhan lebih besar
dari bagian mana pun dari keseluruhan itu’. Kita beri ahli logika itu segala keleluasaan yang
diperlukan. Langsung saja kita ambil proposisi yang dia anggap sebagai puncak
dari yang tak dapat disangkal, sebagai intisari ketidakterbantahan aksiomatis.
Ini dia: ‘Berbagai
kontradiksi tidak bisa sama-sama
benar, artinya, tidak bisa hadir secara bersamaan pada hakikatnya’.
“Di sini Pak Mill
berketetapan, sebagai contoh, dan aku berikan contoh yang paling mudah
dimengerti, bahwa sebuah pohon haruslah sebuah pohon atau bukan sebuah pohon. Semuanya
itu sangat masuk akal dengan sendirinya, dan akan menjawab dengan amat bagusnya
sebagai sebuah aksioma, hingga kita bandingkan ia dengan sebuah aksioma yang
dikemukakan pada beberapa halaman sebelumnya; dengan lain kata—kata-kata yang tadi sudah
kugunakan—hingga
kita mengujinya dengan logika pengusungnya sendiri. ‘Sebuah pohon,’ tegas Pak Mill, ‘haruslah sebuah pohon atau
bukan sebuah pohon.’ Hebat! Sekarang aku mau
bertanya kepadanya, mengapa?
Untuk pertanyaan kecil ini hanya ada satu tanggapan. Kutantang siapa saja yang
bernyawa kalau bisa menemukan tanggapan lainnya. Satu-satunya jawaban adalah: “Sebab mustahil kita memahami
bahwa sebuah pohon bisa menjadi sebuah pohon atau bukan sebuah pohon.”
“Inilah, kuulangi lagi,
satu-satunya jawaban Pak Mill. Dia tidak berpretensi hendak mengemukakan yang
lain, dan memang, dengan paparannya itu, jawabannya jelas bukan jawaban sama
sekali, sebab bukankah dia sudah menuntut kita untuk mengakui, sebagai
sebuah aksioma, bahwa kemampuan atau ketidakmampuan memahami sama sekali tidak bisa digunakan
sebagai kriteria kebenaran aksiomatis? Maka semua, mutlak semua, argumentasinya
melayari laut tanpa kemudi. Jangan kita memaksakan adanya suatu pengecualian
dari ketentuan umum dalam kasus di mana ‘kemustahilan memahami’ sedemikian besarnya sama
seperti ketika kita diminta memahami sebuah pohon sekaligus adalah sebuah
pohon dan bukan sebuah pohon. Jangan pula berupaya, kutandaskan,
mendesakkan ‘sotticism’* ini, sebab, pertama,
tidak ada derajat
‘kemustahilan’, sehingga tidak ada satu
pun konsepsi mustahil bisa lebih mustahil
lagi ketimbang konsepsi mustahil lainnya; yang kedua, Pak Mill sendiri,
tentunya setelah melakukan kajian cermat secara menyeluruh, dengan sangat
gamblang dan dengan cara paling rasional mengesampingkan segala kemungkinan
bagi perkecualian dengan penekanan proposisinya itu, bahwa, sama sekali
tidak mungkin, kemampuan atau ketidakmampuan memahami dipakai sebagai
kriteria kebenaran aksiomatis; yang ketiga, bahkan jika perkecualian bisa
diterima, tetap saja masih harus diperlihatkan bagaimana suatu perkecualian
bisa diterima di sini. Bahwa sebuah pohon bisa sekaligus menjadi sebuah pohon
dan bukan sebuah pohon adalah ide yang diyakini para malaikat, atau setan, dan
tentu saja juga dianut orang gila penghuni Bedlam** atau transendentalis warga
bumi.
“Aku tidak mau ribut dengan
orang-orang zaman purba ini,” si
penulis surat melanjutkan, “menyangkut
kedunguan telanjang logika mereka—yang, jujur saja, tak berdasar, tak berarti, juga
fantastis—sehubungan
dengan sikap muluk dan gila-gilaan mereka dalam mengesampingkan semua jalan
menuju Kebenaran selain dua jalan sempit dan berliku-liku itu, yang satu jalan
merayap dan satunya lagi merangkak, dan demi itu, dalam kegigihan membatu bodoh
mereka, mereka berani membatasi jiwa—jiwa yang tidak mencintai apa pun selain melayang di
wilayah intuisi tak terbatas yang benar-benar tak ada urusan dengan ‘jalan’.
“Oh ya, Kawan, apa ini
bukan bukti perbudakan mental yang ditimpakan pada kawanan fanatik itu oleh
para Babi dan Biri-biri mereka, sampai-sampai, sekalipun dijelali bualan abadi
para cendekiawan mereka tentang jalan menuju Kebenaran, tak seorang pun dari
mereka masuk ke dalam, secara kebetulan pun tidak, apa yang kini kita pahami
dengan begitu gamblang sebagai jalan yang paling lebar, paling lurus, dan
paling mudah ditemukan dari segala jalan—jalan besar, jalan raya megah konsistensi? Apa tidak
mengherankan mereka gagal mendeduksikan dari karya-karya Tuhan pertimbangan
sangat penting bahwa sebuah konsistensi sempurna tak bisa lain adalah kebenaran
absolut? Betapa gamblang, betapa cepatnya kemajuan kita semenjak pengumuman
terakhir proposisi itu! Berkat jasanya, penyelidikan diambil alih dari tangan
tikus mondok, dan diberikan sebagai kewajiban, lebih daripada sekadar sebuah
tugas, kepada sekalian orang-orang terpelajar dengan imajinasi menyala-nyala.
Orang-orang yang datang belakangan ini—para Kepler, Laplace-Laplace kita—‘berspekulasi’, ‘berteori’; inilah kata kuncinya.
Tidakkah bisa kaubayangkan teriakan penuh cemooh yang mereka terima dari para
pendahulu kita sekiranya mereka bisa melihat melalui bahuku saat aku menulis?
Para Kepler, kuulangi lagi, berspekulasi, berteori, dan teori-teori mereka
dibenarkan-direduksi-disaring-dibersihkan sedikit demi sedikit, dari sekam
inkonsistensi, hingga lama kelamaan muncullah sebuah konsistensi tanpa cela,
sebuah konsistensi yang seorang paling apatis pun mengakui, sebab itulah sebuah
konsistensi, sebuah kebenaran absout dan tak terbantahkan.
“Kawan, sering aku berpikir
alangkah memusingkannya bagi para ahli dogma seribu tahun lalu itu jika harus
menentukan, dengan jalan mana dari dua jalan yang mereka unggul-unggulkan itu
para ahli sandi memecahkan sandi yang amat sangat rumit. Atau dengan jalan yang
mana Champollion membimbing umat manusia pada kebenaran tak terbilang itu yang,
selama berabad-abad, terkubur di tengah-tengah gundukan hiroglif fonetik Mesir.
Lebih khusus lagi, apa tidak mendatangkan kesukaran bagi para fanatik itu jika
harus menentukan yang mana dari dua jalan mereka mencapai yang paling penting
dan jernih dari segala kebenaran mereka—kebenaran, fakta, tentang gravitasi? Newton
mendeduksikannya dari Kepler. Kepler mengaku bahwa dia menduga-duga
hukum-hukum itu—hukum-hukum
yang penyelidikan atasnya mengungkapkan bagi para astronom terbesar Inggris
prinsip itu, dasar dari segala prinsip fisika (yang ada), yang tatkala kita
memasukinya sama dengan mendatangi kerajaan berkabut metafisika. Benar! Kepler menduga-duga
hukum-hukum vital tersebut, artinya Kepler membayangkan saja. Andai dia diminta menunjukkan rute deduktif
maupun induktif yang dia tempuh untuk mencapai hukum-hukum itu, boleh jadi
jawabannya adalah, ‘Aku tak
tahu menahu soal rute, tetapi aku tahu betul mesin alam semesta ini. Hap!
Kutangkap ia dengan jiwaku, kugapai hanya dengan intuisi.’ Celakalah wahai orang tua
yang malang! Tak adakah seorang empu metafisika yang memberitahunya bahwa apa
yang dia sebut ‘intuisi’ tak lain hanyalah
kesimpulan yang didapat dari deduksi atau induksi, yang prosesnya sedemikian kaburnya
hingga luput dari kesadarannya, tak terjangkau nalarnya, menertawakan kapasitas
ekspresinya? Betapa menyedihkannya tak seorang ‘filsuf moral’ pun menjelaskan semua itu
kepadanya! Alangkah bahagia dia di ranjang kematiannya sekiranya dia dahulu, bukannya
secara intuitif dan itu sangatlah tidak pantas, dia benar-benar telah berlaku
pantas dan sah—artinya
menurut gaya para Babi atau setidak-tidaknya Biri-biri—menuju balairung agung di
mana bersemayam diliputi kilau cahaya (dibiarkan saja, dan hingga kini tak
terjamah tangan manusia, tak terlihat mata manusia) rahasia semesta nan kekal
abadi dan tiada terkira nilainya!
“Ya, pada dasarnya Kepler
adalah seorang teoretikus. Tapi gelar ini, yang sekarang jadi amat sangat
keramat, pada zaman kuno adalah sebutan penghinaan paling buruk. Baru
sekarang-sekarang saja orang menghargai orang tua suci itu, menaruh simpati
pada rapsodi profetis dan puitis kata-katanya yang terus-menerus dikenang.
Sedangkan aku,” lanjut penulis surat tak
dikenal itu, “aku
berpendar dengan api keramat bahkan hanya dengan sekadar memikirkannya, rasanya
aku takkan jadi bosan dengan pengulangan kata-kata itu. Sebagai penutup
suratku, biarkan aku memuaskan diri dengan menuliskan kalimat itu sekali lagi: “Aku tidak peduli apakah
karyaku akan dibaca sekarang atau kelak oleh anak cucu. Aku bersedia menunggu
seabad ketika Tuhan sendiri mesti menunggu enam ribu tahun untuk mendapatkan
seorang peneliti. Aku berjaya. Kucuri rahasia emas bangsa Mesir. Akan kupuaskan
gelegak keramatku.”
Berakhir di sini cuplikan
saya dari penulis surat yang sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan, jika
bukan kurang ajar, itu. Bodoh sekali rasanya mengomentari, dari segi apa pun,
angan-angan kosong, untuk tidak menyebutnya revolusioner, penulis itu—siapa pun dia—angan-angan yang
bertabrakan hebat dengan pandangan-pandangan matang dan mapan zaman ini. Jadi
mari kita melangkah ke tesis serius kita, semesta.
** Sebutan populer untuk rumah sakit St. Mary
of Bethlehem di London.
Penggalan terjemahan Eureka karya Edgar Allan Poe
Comments
Post a Comment