Surat Dalam Botol

Eureka, Kosmologi Edgar Allan Poe
Edgar Allan Poe

      Sekarang, sebelum menginjak pada subjek kita yang sesungguhnya, izinkan saya memohon perhatian pembaca untuk sedikit mengambil intisari sepucuk surat yang lumayan luar biasa ini. Surat yang tampaknya dimasukkan ke dalam sebuah botol dan diapungkan di Mare Tenebrarumlautan yang dipaparkan jelas oleh ahli geografi Nubia, Ptolomeus Hephestus, tapi jarang disambangi di zaman modern ini kecuali oleh para transendentalis dan para penyelam samudera ide-ide ajaib lainnya. Penanggalan surat itu, saya harus akui, jauh lebih mencengangkan ketimbang isinya, karena agaknya ia ditulis tahun dua ribu delapan ratus empat puluh delapan. Mengenai isinya, cuplikan yang akan saya tulis ulang berikut ini, saya rasa, akan menjelaskan sendiri.
      Tahukah, Kawan, ujar si penulis kepada, tak diragukan lagi, rekan sezamannya, Apa kamu tahu kalau baru delapan atau sembilan ratus tahun silam para ahli metafisika untuk pertama kalinya bersepakat membebaskan manusia dari anggapan tunggal bahwa hanya ada dua jalan yang bisa ditempuh menuju Kebenaran? Percayalah! Yang jelas, agaknya dahulu, dahulu sekali, dalam kegelapan waktu, hiduplah seorang filsuf Turki bernama Aries dengan nama keluarga Tottle, [Mungkin maksud si penulis adalah Aristoteles; nama-nama terbaik dikacaukan semau-maunya dalam dua atau tiga ribu tahun.] Kemasyhuran orang besar ini terutama bergantung pada pembuktian demonstratifnya bahwa bersin adalah ketentuan alam, dengan bersin para pemikir yang kelewat serius sanggup mengeluarkan ide melimpah ruah lewat hidung; meski begitu dia sangat terkenal sebagai pendiri, atau sekurang-kurangnya sebagai penganjur utama, dari apa yang diistilahkan sebagai filsafat deduktif atau apriori. Dia mulai dengan apa yang diyakininya sebagai aksioma, atau kebenaran yang terbukti dengan sendirinya. Rupanya fakta yang sekarang sangat dipahami bahwa tidak ada itu kebenaran yang terbukti dengan sendirinya sama sekali tidak masuk dalam spekulasinya. Untuk kepentingannya cukuplah kebenaran-kebenaran yang dipersoalkan sudah jelas dengan sendirinya. Dari aksioma dia bertolak, logis benar, menuju hasil. Muridnya yang paling tersohor adalah Tuclid, seorang ahli geometri [maksudnya Euklid], dan Kant, seorang Belanda, moyang spesies Transendentalisme yang, hanya dengan mengganti C dengan K, kini menyandang nama yang sungguh bergaya.
      Nah, Aries Tottle melangit namanya, hingga datanglah orang bernama Hog (Babi), dengan nama keluarga Ettrick shepherd,  pengkhotbah sistem yang sama sekali berbeda, yang dia sebut aposteriori atau induktif. Seluruh skemanya menunjuk pada indera. Dia bertolak dari pengamatan, analisis, dan klasifikasi faktainstantiae Naturae begitu mereka menyebutnya dengan agak genitdan menyusun semuanya ke dalam hukum-hukum umum. Singkatnya, kalau mode Aries bersandar pada noumena, mode Hog bertumpu pada fenomena. Begitu besarnya puja-puji yang ditangguk sistem Hog ini sampai-sampai sewaktu pertama kali dilansir Aries langsung jatuh pamornya. Tapi akhirnya si Aries mendapat pijakan kembali, dan diperbolehkan berbagi kerajaan filsafat dengan saingannya yang lebih modern itu; kaum terpelajar mencukupkan diri dengan menutup pintu bagi semua pesaing yang lain, entah itu dari masa lalu, masa kini atau masa nanti, menyudahi segala kontroversi tentang topik itu dengan menetapkan hukum Median, sehingga jalan Aristotelian dan Baconian merupakan, dan harus menjadi, satu-satunya jalan menuju pengetahuan. Baconian, kamu pasti tahu, Kawan, tandas si penulis surat pada titik ini, adalah sebuah adjektiva yang diciptakan sebagai padanan bagi Hogian, dan ternyata terdengar lebih aksi dan lebih merdu merayu.
      Aku tandaskan, sambung surat itu, bahwa persoalan ini kusampaikan secara adil. Dan kamu bisa dengan mudah memahami betapa absurdnya segala pembatasan yang lalu lalang di muka mereka, pada masa itu, untuk memperlambat laju ilmu pengetahuan sejati, yang sedang membuat kemajuan paling pentingnya, sebagaimana akan diperlihatkan semua sejarah, dengan apa yang tampak sebagai lompatan intuitif. Ide-ide kuno itu membatasi penyelidikan hingga cuma bisa merangkak, dan aku tidak perlu memberi tahumu bahwa merangkak, dari sekian jenis gerak, adalah jenis yang paling utama. Tetapi karena siput mengandalkan kakinya, haruskah kita memangkas sayap rajawali? Selama berabad-abad besar sekali godaan untuk menerima, terutama menyangkut Hog, bahwa palang pemberhentian sudah terpancang bagi semua pemikiran. Ungkapan yang pas. Tak seorang pun bernyali menyampaikan kebenaran yang dia peroleh sendiri. Tidak jadi soal apakah kebenarannya terbukti atau tidak, sebab para filsuf dogmatis zaman itu hanya memandang jalan yang melaluinya kebenaran sudah dianggap tercapai. Tujuan, bagi mereka, adalah suatu titik tanpa momen apa pun: Cara! mereka berteriak-teriak, mari kita lihat caranya! Dan jika, setelah menekuri cara, ternyata hasilnya tidak termasuk dalam kategori Hog, tidak pula dalam kategori Aries (si biri-biri itu), maka para bijaksanawan tersebut tidak beranjak lebih jauh. Menyebut si pemikir sebagai dungu dan menggelarinya teoritikus, sejak itu mereka tak pernah ada urusan dengan dia atau kebenaran-kebenarannya.
      Nah, kawanku yang baik, lanjut si penulis surat, tidak bisa diharapkan bahwa, dengan sistem merangkak yang dianut secara eksklusif, manusia akan sampai pada kebenaran maksimum, bahkan dalam abad yang panjang berderet-deret sekalipun, sebab penindasan imajinasi adalah kejahatan yang tidak bisa ditandingi oleh kepastian absolut proses siput sekalipun. Apalagi kepastian proses itu sangat jauh dari absolut. Kesalahan leluhur kita sama persis dengan kedunguan orang sok tahu yang merasa pasti bisa melihat benda lebih jelas kalau benda itu makin dekat ke matanya. Sudah begitu mereka dibutakan oleh hal-hal yang sukar dipahami, asyik dengan detail bubuk tembakau Scotch. Maka fakta yang digembar-gemborkan para pendukung Hog sama sekali bukan selalu faktamestinya ini tidak terlalu penting kalau bukan karena asumsi bahwa mereka selalu begitu. Cacat paling parah Baconianismesumber kesalahannya yang paling patut disesalkanterletak pada kecenderungan untuk menyerahkan kekuasaan dan pertimbangan hanya bagi mereka yang paham, kawanan ikan Minnow kecil-kecil di sekeliling raja Triton, para ilmuwan mikroskopis, penggali dan penjaja fakta-fakta remeh, sebagian besar ilmu fisik, fakta-fakta yang mereka jual eceran dengan harga sama di jalan raya, nilainya bergantung, diandaikan begitu, semata-mata pada fakta tentang fakta mereka belaka, tanpa menyebut-nyebut bisa diterapkan atau tidaknya dalam perkembangan fakta-fakta puncak dan sah, yang disebut Dalil.
      Dibanding orang-orang itu, surat itu terus mengalir, dibanding orang-orang itu yang serta-merta diangkat oleh filsafat Hogian ke sebuah kedudukan yang sebetulnya tidak cocok untuk mereka, dipindahkan dari dapur ke ruang tamu sains, dari gudang makanan ilmu pengetahuan ke mimbarnya; dibanding orang-orang itu, tak pernah ada di muka Bumi ini gerombolan fanatik dan tiran yang lebih tidak toleran dan lebih tak tertanggungkan. Kredo mereka, teks mereka, dan khotbah mereka itu-itu sajakata tunggal fakta. Tetapi, bagi kebanyakan dari mereka, makna satu kata itu pun tidak diketahui. Bagi siapa saja yang berani coba-coba mengusik fakta-fakta mereka dengan maksud mengatur dan menggunakan, murid-murid Hog sama sekali tak kenal ampun. Segala upaya untuk melakukan generalisasi langsung dihadang dakwaan teoretis, teori, teoretikus; semua pikiran, pendeknya, sangat dibenci sebagai penghinaan personal bagi mereka. Mengembangkan ilmu alam dengan mengesampingkan metafisika, matematika, dan logika, kebanyakan para filsuf cetakan Bacon inidengan ide setengah-setengah, berat sebelah, kakinya pincanglebih tidak ketulungan mengenaskannya, lebih menyedihkan dungunya (berkenaan dengan semua objek pengetahuan yang mudah dipahami) daripada orang dusun paling tidak terpelajar yang memperlihatkan bahwa dia tahu setidak-tidaknya bagaimana mengakui bahwa dia tidak tahu apa-apa.
      Para leluhur kita itu pun tak lebih berhak bicara tentang kepastian sewaktu menapaki, dengan keyakinan membuta, jalan apriori aksioma, atau jalan si Biri-biri. Di mana pun, jarang-jarang jalan itu selurus tanduk seekor biri-biri. Kebenarannya sederhana saja, yaitu kaum Aristotelian membangun istana mereka di atas fondasi yang jauh lebih tidak meyakinkan ketimbang udara, sebab yang namanya aksioma tidak pernah ada atau sama sekali tidak mungkin ada. Mereka pasti sangat buta hingga tidak melihat, atau sekurang-kurangnya mencurigai, bahwa, bahkan pada zaman mereka, banyak dari aksioma-aksioma yang lama dipuja itu sudah ditinggalkan: ex nihilo nihil fit, umpamanya, dan sesuatu tidak bisa bertindak di mana ia tidak ada dan tidak mungkin ada antipode, serta kegelapan tak bisa bermula dari cahaya. Proposisi-proposisi itu dan banyak lagi yang serupa lainnya yang tadinya diterima tanpa keraguan sebagai aksioma, atau kebenaran tak terbantahkan, sudah dianggap, bahkan pada zaman yang kubicarakan itu, sama sekali tidak bisa dipertahankan. Jadi alangkah absurdnya orang-orang itu nekat bersandar pada basis yang dianggap tak berubah, padahal perubahannya sudah tampak begitu seringnya!
       Memang, bahkan dengan bukti yang mereka usahakan dan merugikan mereka sendiri, mudah sekali mendakwa para perasional apriori ketidakrasionalan paling berat ini, gampang sekali menunjukkan kesia-siaan dan susah dimengertinya aksioma-aksioma mereka pada umumnya. Di depanku tergelatak, perlu disegarkan kembali bahwa kita masih menyimak surat, Di depanku tergeletak sebuah buku cetakan sekitar seribu tahun silam. Pundit meyakinkanku bahwa inilah karya kuno paling cemerlang tentang topik ini, Logika. Pengarangnya, yang begitu dihormati pada masanya, adalah orang bernama Miller, atau Mill, dan buku itu mencatat bahwa dirinya, informasi ini agaknya lumayan penting, menunggang seekor kuda penggiling bernama Jeremy Bentham. Tapi sebaiknya kita tengok sekilas isi buku itu saja.
      “Ah! Kemampuan atau ketidakmampuan memahami, kata Pak Mill dengan sangat tepatnya, sama sekali tidak bisa diterima sebagai suatu kriteria kebenaran aksiomatis. Nah, bahwa ini adalah kebenaran yang terang benderang tak seorang waras pun akan menyangkalnya. Tidak mengakui proposisi itu sama saja dengan melayangkan tuduhan adanya variabilitas dalam kebenaran itu sendiri, yang labelnya saja adalah sinonim dari keteguhan. Jika kemampuan memahami dipakai sebagai kriteria kebenaran, maka kebenaran bagi David Hume sangat kecil kemungkinannya merupakan kebenaran bagi Joe, dan sembilan puluh sembilan perseratus dari apa yang tak terbantahkan di Langit pastilah merupakan kekeliruan nyata di Bumi. Maka dari itu proposisi Pak Mill bisa dibenarkan. Aku tidak akan menyebutnya sebagai sebuah aksioma, dan itu semata-mata karena aku sedang menunjukkan bahwa tidak ada itu yang namanya aksioma. Tetapi dengan ketegasan yang tidak bisa diributkan bahkan oleh Pak Mill sendiri, aku siap menyatakan bahwa jika memang aksioma itu ada, maka proposisi yang tengah kita bicarakan ini sangat layak untuk dianggap sebagai sebuah aksiomabahwa sudah tidak ada lagi aksioma absolut. Jadi kalau ada proposisi terkemudian yang bertentangan dengan yang dinyatakan sebelumnya itu maka ia pasti mengandung kesalahan dalam dirinyakarena: tidak ada aksiomaatau, jika bisa diterima sebagai aksiomatis, ia pasti menetralisir dirinya sendiri atau proposisi sebelumnya.
      “Baiklah sekarang, dengan logika dari pengusungnya sendiri, mari kita uji salah satu aksioma yang diajukan. Kita beri Pak Mill aturan main paling adil. Kita tidak akan menghadapkan persoalan ini pada isu-isu biasa. Untuk penyelidikan ini kita tidak akan memilih aksioma lazimbukan aksioma dari apa yang, tidak absurd sama sekali karena hanya disiratkan, dia istilahkan sebagai kelas sekundernyaseolah-olah sebuah kebenaran positif menurut definisi secara positif kurang lebihnya juga merupakan sebuah kebenaran. Kita akan memilih, aku tegaskan, sebuah aksioma tak terbantahkan yang sangat layak dipertanyakan seperti aksioma Euklid. Kita tidak akan membicarakan, umpamanya saja, proposisi-proposisi seperti dua garis tidak bisa melingkupi sebuah ruang, atau keseluruhan lebih besar dari bagian mana pun dari keseluruhan itu. Kita beri ahli logika itu segala keleluasaan yang diperlukan. Langsung saja kita ambil proposisi yang dia anggap sebagai puncak dari yang tak dapat disangkal, sebagai intisari ketidakterbantahan aksiomatis. Ini dia: Berbagai kontradiksi tidak bisa sama-sama benar, artinya, tidak bisa hadir secara bersamaan pada hakikatnya.
      “Di sini Pak Mill berketetapan, sebagai contoh, dan aku berikan contoh yang paling mudah dimengerti, bahwa sebuah pohon haruslah sebuah pohon atau bukan sebuah pohon. Semuanya itu sangat masuk akal dengan sendirinya, dan akan menjawab dengan amat bagusnya sebagai sebuah aksioma, hingga kita bandingkan ia dengan sebuah aksioma yang dikemukakan pada beberapa halaman sebelumnya; dengan lain katakata-kata yang tadi sudah kugunakanhingga kita mengujinya dengan logika pengusungnya sendiri. Sebuah pohon, tegas Pak Mill, haruslah sebuah pohon atau bukan sebuah pohon. Hebat! Sekarang aku mau bertanya kepadanya, mengapa? Untuk pertanyaan kecil ini hanya ada satu tanggapan. Kutantang siapa saja yang bernyawa kalau bisa menemukan tanggapan lainnya. Satu-satunya jawaban adalah: Sebab mustahil kita memahami bahwa sebuah pohon bisa menjadi sebuah pohon atau bukan sebuah pohon.
      “Inilah, kuulangi lagi, satu-satunya jawaban Pak Mill. Dia tidak berpretensi hendak mengemukakan yang lain, dan memang, dengan paparannya itu, jawabannya jelas bukan jawaban sama sekali, sebab bukankah dia sudah menuntut kita untuk mengakui, sebagai sebuah aksioma, bahwa kemampuan atau ketidakmampuan memahami sama sekali tidak bisa digunakan sebagai kriteria kebenaran aksiomatis? Maka semua, mutlak semua, argumentasinya melayari laut tanpa kemudi. Jangan kita memaksakan adanya suatu pengecualian dari ketentuan umum dalam kasus di mana kemustahilan memahami sedemikian besarnya sama seperti ketika kita diminta memahami sebuah pohon sekaligus adalah sebuah pohon dan bukan sebuah pohon. Jangan pula berupaya, kutandaskan, mendesakkan sotticism* ini, sebab, pertama, tidak ada derajat kemustahilan, sehingga tidak ada satu pun konsepsi mustahil bisa lebih mustahil lagi ketimbang konsepsi mustahil lainnya; yang kedua, Pak Mill sendiri, tentunya setelah melakukan kajian cermat secara menyeluruh, dengan sangat gamblang dan dengan cara paling rasional mengesampingkan segala kemungkinan bagi perkecualian dengan penekanan proposisinya itu, bahwa, sama sekali tidak mungkin, kemampuan atau ketidakmampuan memahami dipakai sebagai kriteria kebenaran aksiomatis; yang ketiga, bahkan jika perkecualian bisa diterima, tetap saja masih harus diperlihatkan bagaimana suatu perkecualian bisa diterima di sini. Bahwa sebuah pohon bisa sekaligus menjadi sebuah pohon dan bukan sebuah pohon adalah ide yang diyakini para malaikat, atau setan, dan tentu saja juga dianut orang gila penghuni Bedlam** atau transendentalis warga bumi.       
      “Aku tidak mau ribut dengan orang-orang zaman purba ini, si penulis surat melanjutkan, menyangkut kedunguan telanjang logika merekayang, jujur saja, tak berdasar, tak berarti, juga fantastissehubungan dengan sikap muluk dan gila-gilaan mereka dalam mengesampingkan semua jalan menuju Kebenaran selain dua jalan sempit dan berliku-liku itu, yang satu jalan merayap dan satunya lagi merangkak, dan demi itu, dalam kegigihan membatu bodoh mereka, mereka berani membatasi jiwajiwa yang tidak mencintai apa pun selain melayang di wilayah intuisi tak terbatas yang benar-benar tak ada urusan dengan jalan.
      “Oh ya, Kawan, apa ini bukan bukti perbudakan mental yang ditimpakan pada kawanan fanatik itu oleh para Babi dan Biri-biri mereka, sampai-sampai, sekalipun dijelali bualan abadi para cendekiawan mereka tentang jalan menuju Kebenaran, tak seorang pun dari mereka masuk ke dalam, secara kebetulan pun tidak, apa yang kini kita pahami dengan begitu gamblang sebagai jalan yang paling lebar, paling lurus, dan paling mudah ditemukan dari segala jalanjalan besar, jalan raya megah konsistensi? Apa tidak mengherankan mereka gagal mendeduksikan dari karya-karya Tuhan pertimbangan sangat penting bahwa sebuah konsistensi sempurna tak bisa lain adalah kebenaran absolut? Betapa gamblang, betapa cepatnya kemajuan kita semenjak pengumuman terakhir proposisi itu! Berkat jasanya, penyelidikan diambil alih dari tangan tikus mondok, dan diberikan sebagai kewajiban, lebih daripada sekadar sebuah tugas, kepada sekalian orang-orang terpelajar dengan imajinasi menyala-nyala. Orang-orang yang datang belakangan inipara Kepler, Laplace-Laplace kita—‘berspekulasi, berteori; inilah kata kuncinya. Tidakkah bisa kaubayangkan teriakan penuh cemooh yang mereka terima dari para pendahulu kita sekiranya mereka bisa melihat melalui bahuku saat aku menulis? Para Kepler, kuulangi lagi, berspekulasi, berteori, dan teori-teori mereka dibenarkan-direduksi-disaring-dibersihkan sedikit demi sedikit, dari sekam inkonsistensi, hingga lama kelamaan muncullah sebuah konsistensi tanpa cela, sebuah konsistensi yang seorang paling apatis pun mengakui, sebab itulah sebuah konsistensi, sebuah kebenaran absout dan tak terbantahkan.
      “Kawan, sering aku berpikir alangkah memusingkannya bagi para ahli dogma seribu tahun lalu itu jika harus menentukan, dengan jalan mana dari dua jalan yang mereka unggul-unggulkan itu para ahli sandi memecahkan sandi yang amat sangat rumit. Atau dengan jalan yang mana Champollion membimbing umat manusia pada kebenaran tak terbilang itu yang, selama berabad-abad, terkubur di tengah-tengah gundukan hiroglif fonetik Mesir. Lebih khusus lagi, apa tidak mendatangkan kesukaran bagi para fanatik itu jika harus menentukan yang mana dari dua jalan mereka mencapai yang paling penting dan jernih dari segala kebenaran merekakebenaran, fakta, tentang gravitasi? Newton mendeduksikannya dari Kepler. Kepler mengaku bahwa dia menduga-duga hukum-hukum ituhukum-hukum yang penyelidikan atasnya mengungkapkan bagi para astronom terbesar Inggris prinsip itu, dasar dari segala prinsip fisika (yang ada), yang tatkala kita memasukinya sama dengan mendatangi kerajaan berkabut metafisika. Benar! Kepler menduga-duga hukum-hukum vital tersebut, artinya Kepler membayangkan saja.  Andai dia diminta menunjukkan rute deduktif maupun induktif yang dia tempuh untuk mencapai hukum-hukum itu, boleh jadi jawabannya adalah, Aku tak tahu menahu soal rute, tetapi aku tahu betul mesin alam semesta ini. Hap! Kutangkap ia dengan jiwaku, kugapai hanya dengan intuisi. Celakalah wahai orang tua yang malang! Tak adakah seorang empu metafisika yang memberitahunya bahwa apa yang dia sebut intuisi tak lain hanyalah kesimpulan yang didapat dari deduksi atau induksi, yang prosesnya sedemikian kaburnya hingga luput dari kesadarannya, tak terjangkau nalarnya, menertawakan kapasitas ekspresinya? Betapa menyedihkannya tak seorang filsuf moral pun menjelaskan semua itu kepadanya! Alangkah bahagia dia di ranjang kematiannya sekiranya dia dahulu, bukannya secara intuitif dan itu sangatlah tidak pantas, dia benar-benar telah berlaku pantas dan sahartinya menurut gaya para Babi atau setidak-tidaknya Biri-birimenuju balairung agung di mana bersemayam diliputi kilau cahaya (dibiarkan saja, dan hingga kini tak terjamah tangan manusia, tak terlihat mata manusia) rahasia semesta nan kekal abadi dan tiada terkira nilainya!
      “Ya, pada dasarnya Kepler adalah seorang teoretikus. Tapi gelar ini, yang sekarang jadi amat sangat keramat, pada zaman kuno adalah sebutan penghinaan paling buruk. Baru sekarang-sekarang saja orang menghargai orang tua suci itu, menaruh simpati pada rapsodi profetis dan puitis kata-katanya yang terus-menerus dikenang. Sedangkan aku, lanjut penulis surat tak dikenal itu, aku berpendar dengan api keramat bahkan hanya dengan sekadar memikirkannya, rasanya aku takkan jadi bosan dengan pengulangan kata-kata itu. Sebagai penutup suratku, biarkan aku memuaskan diri dengan menuliskan kalimat itu sekali lagi: Aku tidak peduli apakah karyaku akan dibaca sekarang atau kelak oleh anak cucu. Aku bersedia menunggu seabad ketika Tuhan sendiri mesti menunggu enam ribu tahun untuk mendapatkan seorang peneliti. Aku berjaya. Kucuri rahasia emas bangsa Mesir. Akan kupuaskan gelegak keramatku.
      Berakhir di sini cuplikan saya dari penulis surat yang sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan, jika bukan kurang ajar, itu. Bodoh sekali rasanya mengomentari, dari segi apa pun, angan-angan kosong, untuk tidak menyebutnya revolusioner, penulis itusiapa pun diaangan-angan yang bertabrakan hebat dengan pandangan-pandangan matang dan mapan zaman ini. Jadi mari kita melangkah ke tesis serius kita, semesta.

* Sotticism: berasal dari kata Perancis dan Inggris sottise: absurditas. Sumber http://www.eapoe.org/papers/psblctrs/pl19741s.htm

** Sebutan populer untuk rumah sakit St. Mary of Bethlehem di London.

Penggalan terjemahan Eureka karya Edgar Allan Poe

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)