Menjembatani Dua Dunia (7)
Kadang-kadang saya lupa pada tekad saya untuk tidak
terlibat dalam perbantahan yang tidak perlu. Beberapa tahun silam saya menjadi
tamu sebuah perjamuan makan diplomatik di Trinidad. Perempuan muda yang duduk
di sebelah saya sedang berbicara dengan pendeta Kristen, orang Inggris, yang
duduk di hadapannya. Saya hanya mengikuti setengah pembicaraan mereka ketika
mendengar perempuan itu mengatakan bahwa dia tidak yakin kalau dirinya percaya
pada progres manusia. Pendeta itu menjawabnya dengan begitu kasar dan
penghinaan sedemikian rupa hingga saya tidak mampu menahan godaan untuk
mengatakan, “Dia benar, sangat benar—tidak ada itu yang namanya progres!” Si
pendeta berpaling kepada saya, wajahnya dipenuhi amarah, dan berkata, “Kalau
saya berpikiran begitu saya akan bunuh diri malam ini juga!” Karena bunuh diri
adalah dosa besar bagi orang Kristen maupun umat Islam, untuk pertama kalinya
saya menyadari sejauh mana keyakinan pada progres, pada “masa depan yang lebih
baik” dan, sebagai konsekuensinya, pada kemungkinan adanya surga di bumi telah
menggantikan iman pada Tuhan dan hari akhir. Dalam tulisan-tulisan pastor
pemberontak Teilhard de Chardin agama Kristen sendiri sudah direduksi menjadi
agama progres. Cabutlah orang Barat modern dari iman ini dan dia akan tersesat
di belantara tanpa rambu-rambu.
Pada saat The
Richest Vein diterbitkan saya meninggalkan Inggris menuju Jamaika, di mana
saya punya teman sekolah yang akan, saya tahu itu, mencarikan suatu pekerjaan
untuk saya. Di sampul buku itu saya digambarkan sebagai seorang “pemikir
matang”. Adjektiva “matang” sungguh tidak terkatakan tidak tepatnya, sebagai
seseorang, saya baru saja menginjak masa dewasa, dan Jamaika adalah tempat
ideal untuk memuaskan fantasi anak muda. Hanya mereka yang punya pengalaman
dengan kehidupan Hindia Barat pada tahun-tahun tepat setelah perang yang bisa
memahami keriangan dan godaan yang ditawarkannya pada mencari “pengalaman” dan
petualangan seksual. Seperti Myers, saya tidak punya prinsip-prinsip moral yang
bisa mengekang saya. Saya merasa tidak enak ketika mulai menerima surat-surat
dari orang-orang yang membaca buku saya dan membayangkan saya seorang yang
sudah tua—“dengan jenggot putih panjang”, seperti salah seorang dari
mereka—sarat kebijaksanaan dan belas kasih. Andai saja bisa, saya ingin memberi
tahu yang sebenarnya kepada mereka secepat mungkin dan melepaskan tanggung
jawab yang mereka bebankan kepada saya. Suatu hari seorang pastor Katolik tiba
di Jamaika untuk menetap bersama teman-temannya, dia, katanya kepada
teman-temannya itu, baru saja membaca sebuah “buku menarik” yang ditulis
seseorang bernama Gai Eaton. Dia gembira sekali mendengar bahwa si penulis
sebetulnya tinggal di Jamaika dan menanyakan apakah dia bisa menemui saya. Teman-temannya
mengajak ke sebuah pesta di mana saya mungkin bisa dijumpai. Dia diperkenalkan
dan, mendapati di hadapannya seorang pemuda kikuk, menatap saya lekat-lekat
lama sekali. Lalu dia menggeleng-gelengkan kepala keheranan dan berkata pelan,
“Mustahil Anda yang menulis buku
itu!”
Comments
Post a Comment