Menjembatani Dua Dunia (3)


Terjemahan, Islam, Kristen, Eropa, filsafat, Russel
Islam and the Destiny od Man, Charles Le Gai Eaton
Di mana saya harus mencari pengetahuan? Saat masih 15 tahun saya sudah tahu ada sesuatu yang disebut “filsafat” dan kata itu berarti “cinta kebijaksanaan”. Kebijaksanaan adalah yang saya cari, sehingga pemuasan kebutuhan saya pasti bersembunyi di balik buku berat-berat yang ditulis oleh para bijak bestari. Dengan gairah berkobar-kobar, layaknya seorang penjelajah melihat negeri tak dikenal, saya menjelajahi pemikiran Descartes, Kant, Hume, Spinoza, Schopenhauer dan Bertrand Russel, atau membaca karya-karya yang menjelaskan ajaran-ajaran mereka. Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menyadari ada yang salah. Ibaratnya saya makan pasir padahal niat saya mencari gizi dari bidang ini. Orang-orang itu tidak tahu apa-apa. Mereka cuma berspekulasi, memintal gagasan dari isi kepala mengenaskan mereka, dan siapa saja bisa berspekulasi (termasuk bocah yang masih sekolah). Bagaimana bisa anak 15 atau 16 tahun berani-beraninya menganggap tak berguna seluruh filsafat sekuler Barat? Orang tidak perlu matang lebih dahulu untuk membedakan antara apa yang disebut Qur’an dzan (‘pendapat’) dan Pengetahuan sejati. Pada saat yang sama penegasan terus-menerus ibu saya bahwa jangan sampai saya menerima apa yang dipikirkan atau dikatakan orang lain begitu saja membuat saya bersandar pada penilaian saya sendiri. Kebudayaan Barat memperlakukan para ‘filsuf’ itu sebagai orang besar, dan para mahasiswa menelaah karya-karya mereka dengan takzim. Tetapi apalah itu bagi saya?
Beberapa saat kemudian, ketika saya duduk di kelas terakhir sekolah menengah, seorang guru yang menaruh perhatian khusus pada saya menyampaikan ucapan aneh yang tidak saya pahami seketika. “Kamu adalah,” katanya, “satu-satunya skeptik sejati di jagat raya ini yang pernah kutemui.” Dia tidak menyebut agama secara khusus. Maksudnya, saya tampak meragukan apa pun yang diterima begitu saja oleh orang lain. Saya ingin tahu mengapa mesti diterima bahwa kekuatan-kekuatan rasional kita, beradaptasi dengan bagusnya untuk mencari makan, tempat tinggal dan pasangan, mempunyai kegunaan di luar wilayah duniawi. Saya dibikin pening dengan gagasan bahwa firman “Janganlah engkau membunuh” berlaku bagi mereka yang bukan Yahudi maupun Kristen, dan tak kurang herannya saya dengan mengapa, di dunia yang penuh perempuan cantik ini, ketentuan tentang poligami harus dianggap berlaku universal. Saya bahkan meragukan eksistensi saya sendiri. Lama sesudah itu saya mendengar cerita tentang orang bijak Cina, Chuangtzu, yang, setelah suatu malam bermimpi dirinya adalah seekor kupu-kupu, bangun memikirkan apakah sesungguhnya dia Chuangtzu manusia yang bermimpi bahwa dirinya adalah kupu-kupu, atau kupu-kupu yang bermimpi bahwa dirinya Chuangtzu. Saya mengerti dilemanya.
Bagaimanapun juga, ketika guru saya menyampaikan komentar itu, saya sudah menemukan kunci menuju apa yang boleh jadi merupakan pengetahuan yang lebih pasti. Secara kebetulan—walaupun sebetulnya tidak ada itu yang namanya “kebetulan”—saya menjumpai sebuah buku berjudul “The Primordial Ocean” oleh seseorang bernama Professor Perry, ahli Mesir kuno. Profesor ini yakin betul bahwa orang-orang Mesir kuno bepergian ke seluruh penjuru dunia dengan perahu papirus untuk menyebarkan agama dan mitologi mereka ke mana-mana. Untuk membuktikan keyakinannya, dia menghabiskan waktu bertahun-tahun mempelajari berbagai mitologi kuno, juga mitos dan simbol orang-orang “primitif” di zaman kita ini. Yang dia ungkap adalah kesesuain kepercayaan yang menakjubkan, betapapun berbeda gambaran yang diungkapkan suatu kepercayaan. Meski tidak membuktikan teorinya tentang perahu papirus, tetapi dia membuktikan, saya rasa, sesuatu yang sangat berbeda. Tampaknya, di balik jalinan bentuk dan gambar dalam permadani, terdapat kebenaran-kebenaran tertentu tentang sifat realitas, penciptaan dunia dan umat manusia, dan makna pengalaman hidup; kebenaran-kebenaran yang merupakan sebagian besar dari darah dan tulang kita.


Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)