Menjembatani Dua Dunia (6)
Islam and the Destiny of Man, Gai Eaton |
Cepat
sekali waktu saya di Cambridge berlalu dan saya dikirim ke Akademi
Militer Kerajaan, Sandhurst. Lima bulan kemudian muncul sebagai
perwira muda yang siap membunuh atau terbunuh. Untuk mempelajari
lebih banyak tentang seni perang saya pun ditugaskan “melekat”
pada sebuah resimen di bagian utara Skotlandia. Di sana saya
dibiarkan berbuat sesuka hati dan saya menghabiskan waktu dengan
membaca atau berjalan-jalan di batu-batu karang granit di atas
ganasnya laur utara. Tempat itu penuh badai, tetapi saya merasakan
kedamaian yang belum pernah saya dapati sebelumnya. Semakin banyak
saya membaca Vedanta dan juga ajaran-ajaran Taoisme Cina kuno,
semakin yakin saya jadinya bahwa akhirnya saya memahami sifat segala
sesuatu dan menangkap, meski itu hanya dalam pemikiran dan imajinasi,
Realitas pamungkas di mana hal-hal lain tak lebih dari sekadar mimpi.
Meski begitu, saya belum siap menyebut Realitas itu “Tuhan”,
apalagi Allah.
Sekeluar
dari dinas militer saya mulai menulis, merasakan desakan untuk
mengungkapkan pemikiran saya sebagai cara mengurutkannya. Saya
menulis tentang Vedanta, Taoisme, Zen dan agama Budhha, juga tentang
beberapa penulis Barat (termasuk Leo Myers) yang dipengaruhi oleh
doktrin-doktrin tersebut. Berkat suatu kebetulan saya bertemu dengan
penyair T. S. Eliot, yang pada saat itu mengepalai sebuah perusahaan
penerbitan, esai-esai itu diterbitkan dengan judul The
Richest Vein,
dipetik dari sebuah kutipan Thoreau: “Naluriku berkata bahwa
kepalaku adalah organ untuk menggali, jika makhluk-makhluk lain
menggunakan moncong atau kaki depan, maka dengan kepala aku menggali
jalanku menembus perbukitan ini. Kurasa di sekitar situlah urat bijih
paling kaya berada ...” Tetapi saat itu saya sudah punya pemandu
baru menembus perbukitan. Saya menemukan René Guénon, seorang
Perancis yang menjalani sebagian terbesar hidupnya di Kairo sebagai
Syaikh Abdul Wahed.
Guénon
merongrong dan kemudian, dengan ketegasan intelektual tak kenal
kompromi, membongkar seluruh asumsi yang diterima begitu saja oleh
orang modern, dengan kata lain orang Barat atau yang terbaratkan.
Banyak orang lain yang mengritik arah yang ditempuh peradaban Eropa
sejak apa yang disebut ‘Renaisans’, tetapi tidak ada yang berani
seradikal dia atau mengusung kembali dengan begitu kuat
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang oleh budaya Barat disingkirkan
karena dianggap sebagai pucuk sampah sejarah. Temanya adalah ‘tradisi
primordial’ atau Sofia
perennis,
yang diungkapkan—begitu menurutnya—dalam mitologi kuno maupun
doktrin metafisika pada akar agama-agama besar. Bahasa Tradisi ini
adalah bahasa simbolisme, dan dia tak ada duanya dalam penafsiran
simbolisme ini. Lebih dari itu, dia menjungkirbalikkan gagasan
tentang kemajuan manusia, menggantikannya dengan keyakinan yang
nyaris universal sebelum abad modern, bahwa kemanusiaan merosot
keunggulan spiritualnya seiring waktu berlalu dan bahwa kini kita
berada dalam Abad Kegelapan yang mendahului Akhir, sebuah abad di
mana seluruh kemungkinan ditampik oleh budaya-budaya sebelumnya yang
dimuntahkan ke dunia, kuantitas menggantikan kualitas dan dekadensi
mendekati batas akhirnya. Orang yang membaca tulisannya dan
memahaminya tidak ada yang tidak berubah.
Seperti
banyak orang lain yang pandangannya berubah karena membaca Guénon,
saya pun menjadi orang asing di dunia abad kedua puluh. Dia dibimbing
oleh logika keyakinannya untuk menerima Islam, Wahyu pamungkas dan,
begitulah kenyataannya, rangkuman dari segala yang datang sebelumnya.
Saya belum siap untuk itu, tetapi saya segera belajar untuk
menyembunyikan pendapat saya atau setidak-tidaknya menyelubunginya.
Tak ada orang yang bisa hidup bahagia dalam ketidaksepahaman
terus-menerus dengan rekan-rekan laki-laki dan perempuannya,
sungguhpun demikian dia juga tidak bisa beradu argumen dengan mereka
karena dia tidak menganut asumsi-asumsi dasar tak terucapkan mereka.
Argumen dan diskusi mensyaratkan semacam pijakan bersama di antara
pihak-pihak yang terlibat. Ketika pijakan bersama tidak ada,
kebingungan dan kesalahahaman tak terhindarkan, kalau bukan
kemarahan. Keyakinan yang menjadi dasar budaya kontemporer dipeluk
tak kalah kuatnya dari iman keberagamaan yang tidak bisa diganggu
gugat, sebagaimana digambarkan dalam konflik atas novel Salman
Rushdie, The
Satanic Verses.
(Bersambung)
Artikelnya menarik.. :)
ReplyDeleteSeharusnya saya membacanya dari pertama..
Iya, terima kasih perhatiannya. Saya anggap ini penyemangat agar saya lebih rajin posting :D
Delete