Menjembatani Dua Dunia (4)
Islam and the Destiny of Man |
Salah
satu penyebab hilangnya iman di dunia modern adalah pluralitas
agama-agama yang tampaknya saling bertentangan. Sejauh orang Eropa
meyakini superioritas ras mereka, tak ada alasan bagi mereka untuk
meragukan agama Kristen sebagai satu-satunya Iman sejati. Gagasan
bahwa merekalah mahkota “proses evolusi” melapangkan jalan bagi
asumsi bahwa semua agama lain tak lebih dari sekadar upaya-upaya naif
menjawab pertanyaan-pertanyaan perenial. Ketika keyakinan diri
rasialis ini merosot, barulah keraguan-keraguan merayap masuk.
Bagaimana bisa Tuhan yang baik membiarkan mayoritas besar umat
manusia hidup dan mati demi agama-agama palsu? Apa masih mungkin
orang Kristen meyakini bahwa dirinya sendirilah yang diselamatkan?
Pihak-pihak lain—umat Islam, misalnya—menyatakan keyakinan yang
sama, jadi bagaimana bisa orang begitu yakin siapa benar dan siapa
salah? Bagi banyak orang, termasuk saya sebelum saya bertemu dengan
buku Perry, kesimpulannya jelas: karena tidak mungkin setiap orang
benar, setiap orang pasti salah. Agama adalah ilusi, produk pikiran
picik. Mungkin banyak orang yang mendapati “kebenaran ilmiah”
bisa menggantikan “mitos-mitos” agama. Saya tidak bisa, karena
sains dibangun di atas asumsi-asumsi berkenaan dengan bebas dari
kesalahannya rasio dan realitas rasa-pengalaman yang tak pernah
dibuktikan.
Ketika
membaca buku Perry, saya tidak tahu-menahu tentang Qur’an.
Perkenalan saya dengan Qur’an terjadi jauh belakangan, dan yang
saya dengar tentang Islam dicemari oleh prasangka-prasangka yang
terakumulasi selama seribu tahun konfrontasi. Andai saya tahu, saya
pasti sudah maju selangkah mendekati rival terbesar agama Kristen.
Qur’an menjamin tak seorang pun di bumi ini dibiarkan tanpa
bimbingan dan doktrin tentang kebenaran, disampaikan melalui utusan
Tuhan yang selalu berbicara kepada umat sesuai “bahasa” mereka,
artinya sesuai situasi khusus mereka dan kebutuhan mereka. Fakta
bahwa pesan semacam itu mengalami distorsi seiring waktu berlalu
adalah sesuatu yang jelas dengan sendirinya, dan tak akan ada yang
terkejut ketika kebenaran disimpangkan ketika diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya, tetapi akan sangat mengherankan jika
tidak ada jejak tersisa seiring abad berganti. Kini bagi saya tampak
sepenuhnya sejalan dengan Islam untuk meyakini bahwa jejak-jejak itu,
dibungkus dalam mitos dan simbol (“bahasa” orang-orang
terdahulu), diturunkan langsung dari Kebenaran yang diwahyukan dan
membenarkan Risalah terakhir.
Meninggalkan
‘filsafat’, saya mulai membaca buku-buku tentang mistisisme, yang
jauh lebih sesuai dengan selera saya dan selera kebanyakan generasi
saya. Alasannya jelas. Jika Anda tidak mau menerima apa pun
berdasarkan kata orang dan sama sekali tidak bisa percaya kepada
Tuhan semata-mata karena disuruh begitu, maka pengalaman pribadi dan
wawasan spiritual adalah faktor-faktor yang menentukan. Jika ada
orang yang tidak hanya menerima gagasan bahwa Tuhan itu ada tetapi
entah bagaimana mengetahui Dia atau setidak-tidaknya merasakan
kehadiran-Nya sama yakinnya dengan menyadari keberadaan tetangganya,
maka argumen bagi agama menjadi jauh lebih persuasif dan pihak yang
meragukan wajib untuk setidak-tidaknya mempertanyakan apak
orang-orang semacam itu mungkin bukan saksi Kebenaran yang dipahami
secara langsung. Ketika, selain hal tersebut, kita mulai mengerti
kesesuaian mendalam di balik tabir bahasa dan menemukan kesesuaian
ini diteguhkan dalam mitologi universal, maka apa yang pada mulanya
persuasif menjadi meyakinkan.
Comments
Post a Comment