Marxisme dan Problem-Problem Linguistik



Terjemahan Buku Stalin Marxisme dan Problem Linguistik

Disebutkan rujukan pada fakta bahwa pada suatu masa di Inggris para bangsawan feodal berbicara “selama berabad-abad” dalam bahasa Prancis, sementara rakyat Inggris menuturkan bahasa Inggris, dan ini dianggap sebagai argumen yang mendukung “karakter kelas” bahasa dan menentang mutlak perlunya sebuah bahasa yang umum bagi seluruh rakyat. Tetapi ini bukan argumen, ini cuma anekdot. Pertama, tidak semua bangsawan feodal menggunakan bahasa Prancis pada masa itu, tetapi hanya strata atas kecil bangsawan feodal yang dekat dengan istana dan penguasa ibu kota daerah. Kedua, yang mereka gunakan itu bukan semacam “bahasa kelas”, itu bahasa Prancis biasa yang umum dipakai seluruh rakyat Prancis. Ketiga, kita tahu bahwa seiring waktu bahasa Prancis modis ini hilang tanpa jejak, menyerahkan tempat kepada bahasa Inggris yang umum bagi seluruh rakyat. Apakah kawan-kawan itu beranggapan bahwa para bangsawan feodal Inggris itu “selama berabad-abad” berhubungan dengan rakyat Inggris melalui juru bahasa, bahwa mereka tidak menggunakan bahasa Inggris, bahwa tidak ada bahasa yang umum bagi seluruh bangsa Inggris pada saat itu, dan bahwa bahasa Prancis di Inggris pada saat itu lebih dari sekadar bahasa masyarakat kalangan atas, yang hanya dipakai di lingkaran terbatas aristokrasi atas Inggris? Bagaimana bisa orang menyangkal keberadaan dan mutlak perlunya sebuah bahasa yang umum bagi seluruh rakyat berdasarkan “argumen-argumen” lelucon semacam itu?
Pernah ada masanya kaum aristokrat Rusia di istana tsar dan di kalangan masyarakat atas juga menggemari mode berbahasa Prancis. Mereka membanggakan diri dengan fakta bahwa ketika berbicara dalam bahasa Rusia mereka sering berpindah ke bahasa Prancis, bahwa mereka hanya bisa berbicara bahasa Rusia dengan aksen Prancis. Apakah ini berarti tidak ada sebuah bahasa Rusia yang umum bagi seluruh rakyat saat itu di Rusia, bahwa sebuah bahasa yang umum bagi seluruh rakyat adalah fiksi, dan “bahasa-bahasa kelas” adalah realitas?
Kawan-kawan kita melakukan setidak-tidaknya dua kesalahan dalam hal ini.
Kesalahan pertama adalah mereka merancukan bahasa dengan suprastruktur. Mereka beranggapan bahwa karena suprastruktur memiliki sebuah karakter kelas, bahasa juga harus menjadi sebuah bahasa kelas, dan bukan sebuah bahasa yang umum bagi seluruh rakyat. Tetapi sudah saya katakan bahwa bahasa dan suprastruktur adalah dua konsep berbeda, dan seorang Marxis tidak boleh merancukan keduanya.
Kesalahan kedua yang dilakukan kawan-kawan itu adalah mereka memahami pertentangan kepentingan-kepentingan borjuasi dan proletariat, pertarungan kelas yang sengit di antara keduanya, sebagai disintegrasi masyarakat, sebagai putusnya semua ikatan antara kelas-kelas yang bermusuhan satu sama lain itu. Mereka yakin bahwa, karena masyarakat terpecah belah dan tidak ada lagi satu masyarakat tunggal, tetapi hanya ada kelas-kelas, sebuah bahasa tunggal masyarakat, sebuah bahasa nasional, tidak diperlukan. Jika masyarakat terpecah belah dan tidak ada lagi sebuah bahasa umum bagi seluruh rakyat, sebuah bahasa nasional, apa yang tersisa? Yang tersisa adalah kelas-kelas dan berbagai “bahasa kelas”. Dengan sendirinya setiap “bahasa kelas” akan mempunyai tata bahasa “kelas” tersendiri –tata bahasa “proletar” atau tata bahasa “borjuis”. Betul, tidak ada tata bahasa semacam itu di mana pun. Tetapi hal tidak menjadi masalah bagi kawan-kawan itu: mereka yakin bahwa tata bahasa semacam itu akan muncul pada waktunya nanti.
Suatu ketika pernah ada orang-orang “Marxis” di negara kita yang berkeras menyatakan bahwa rel kereta api yang ditinggalkan untuk kita setelah Revolusi Oktober adalah rel kereta api borjuis, sehingga sungguh tak pantas kita kaum Marxis menggunakannya, bahwa rel itu harus dibongkar dan rel kereta api “proletar” yang baru harus dibangun. Untuk itulah mereka diberi julukan “manusia gua”.
Sudah barang tentu pandangan anarkis-primitif tentang masyarakat, kelas, bahasa semacam itu tidak memiliki kesamaan apa pun dengan Marxisme. Tetapi pasti kesamaan itu ada dan terus berkuasa di benak kawan-kawan bingung kita itu.
Tentu saja keliru mengatakan bahwa, karena keberadaan sebuah pertentangan kelas yang sengit, masyarakat terpecah ke dalam berbagai kelas yang tidak terkait secara ekonomi satu sama lain dalam satu masyarakat. Justru sebaliknya, selama ada kapitalisme, borjuis dan proletar akan terikat bersama oleh tali ekonomi yang sama sebagai bagian dari satu masyarakat kapitalis tunggal. Kaum borjuis tidak bisa hidup dan memperkaya diri kecuali mereka menguasai buruh upahan; kaum proletar tidak bisa bertahan hidup kecuali mereka mempekerjakan diri bagi para kapitalis. Jika semua ikatan ekonomi antara mereka terhenti, berarti terhenti pula seluruh produksi, dan terhentinya seluruh produksi berarti keruntuhan masyarakat, keruntukan kelas-kelas itu sendiri. Tentu saja tidak ada kelas yang mau memicu penghancuran diri sendiri. Akibatnya, betapa pun tajam suatu pertentangan kelas, hal itu tidak bisa menimbulkan terpecahnya masyarakat. Hanya ketidaktahuan tentang Marxisme dan kegagalan total memahami sifat bahasa yang menyodorkan kepada sebagian kawan-kawan kita dongeng tentang disintegrasi masyarakat, tentang bahasa “kelas”, dan tata bahasa “kelas”.
Disebutkan lebih jauh rujukan pada Lenin, dan ditunjukkan bahwa Lenin mengakui keberadaan dua kebudayaan di bawah kapitalisme – borjuis dan proletar – dan bahwa slogan kebudayaan nasional di bawah kapitalisme adalah sebuah slogan nasionalis. Tetapi apa hubungannya ini dengan “karakter kelas” bahasa? Ketika kawan-kawan itu merujuk pada apa yang dikatakan Lenin tentang dua kebudayaan di bawah kapitalisme, hal itu jelas dilakukan dengan ide untuk meyakinkan pembaca bahwa keberadaan dua kebudayaan, borjuis dan proletar, berarti pasti ada dua bahasa dalam masyarakat, karena bahasa terkait dengan kebudayaan – dan, konsekuensinya, bahwa Lenin menyangkal perlunya sebuah bahasa nasional tunggal dan, konsekuensinya, bahwa Lenin meyakini adanya bahasa kelas. Kesalahan yang dilakukan kawan-kawan itu di sini adalah mereka mengidentifikasi dan merancukan bahasa dengan kebudayaan. Padahal kebudayaan dan bahasa adalah dua hal yang berbeda. Kebudayaan bisa borjuis bisa juga sosialis, tetapi bahasa, sebagai alat komunikasi, selalu merupakan sebuah bahasa yang umum bagi seluruh rakyat dan bisa melayani kebudayaan borjuis maupun sosialis. Bukankah merupakan suatu fakta bahwa bahasa Rusia, Ukraina, Uzbek kini melayani kebudayaan sosialis bangsa-bangsa yang bersangkutan persis ketika malayani kebudayaan borjuis sebelum Revolusi Oktober? Akibatnya, kawan-kawan itu salah besar ketika mereka menyatakan bahwa keberadaan dua kebudayaan menimbulkan terbentuknya dua bahasa berbeda dan penegasian terhadap perlunya sebuah bahasa tunggal.
Ketika Lenin berbicara tentang dua kebudayaan, dia bertolak tepat dari tesis bahwa keberadaan dua kebudayaan tidak bisa menimbulkan penegasian sebuah bahasa tunggal dan pembentukan dua bahasa, bahwa pasti ada satu bahasa tunggal. Ketika para Bundist1 menuduh Lenin menyangkal perlunya sebuah bahasa nasional dan memandang kebudayaan sebagai “non-nasional”, Lenin, sebagaimana kita ketahui, memprotes keras dan menyatakan bahwa dia berjuang menentang kebudayaan borjuis, dan bukan menentang bahasa-bahasa nasional, yang mutlak diperlukannya dia pandang tidak terbantahkan. Aneh betul ada sebagian kawan-kawan kita yang mengikuti jejak kaki para Bundist.
Mengenai sebuah bahasa tunggal, yang keperluannya diduga disangkal oleh Lenin, ada baiknya mencermati kata-kata Lenin berikut:
“Bahasa adalah sarana yang paling penting komunikasi antar-manusia. Kesatuan bahasa dan perkembangan tak terbendungnya merupakan salah satu syarat paling penting bagi hubungan komersial yang benar-benar bebas dan ekstensif yang cocok dengan kapitatalisme modern, bagi sebuah pengelompokan bebas dan luas populasi dalam semua kelas-kelas terpisahnya.”2
Itu artinya kawan-kawan kita yang sangat terhormat itu menggambarkan secara keliru pandangan-pandangan Lenin.
Terakhir, disebutkan rujukan pada Stalin. Bagian pernyataan Stalin yang dikutip mengatakan bahwa “borjuasi dan partai-partai nasionalisnya dahulu dan dalam periode ini pun masih merupakan kekuatan pengarah bangsa-begitu itu.”3 Ini sepenuhnya benar. Borjuasi dan partai nasionalisnya benar-benar mengarahkan kebudayaan borjuis, persis proletariat dan partai internasionalisnya mengarahkan kebudayaan proletar. Tetapi apa hubungannya ini dengan “karakter kelas” bahasa? Apakah kawan-kawan itu tidak tahu bahwa bahasa nasional adalah sebuah bentuk kebudayaan nasional, bahwa sebuah bahasa nasional bisa melayani kebudayaan borjuis dan sosialis? Apakah kawan-kawan kita tidak tahu bahwa rumusan terkenal Marxis yang ada dalam kebudayaan Rusia, Ukraina, Belorussia dan kebudayaan-kebudayaan lain bersifat sosialis dalam isi dan nasional dalam bentuk, yakni dalam bahasa? Apakah mereka sepakat dengan rumusan Marxis ini?
Kesalahan yang dilakukan kawan-kawan kita di sini adalah mereka tidak melihat perbedaan antara kebudayaan dan bahasa, dan tidak memahami bahwa kebudayaan berubah dengan datangnya setiap periode baru dalam perkembangan masyarakat, sedangkan bahasa pada dasarnya tetap sama dalam beberapa periode, melayani dengan sama kebudayaan baru dan yang lama.
Dengan demikian:
a) Bahasa, sebagai alat komunikasi, selalu merupakan bahasa tunggal suatu masyarakat, umum bagi seluruh anggotanya;
b) Keberadaan dialek dan jargon tidak menegasikan melainkan justru meneguhkan keberadaan sebuah bahasa yang umum bagi seluruh rakyat tertentu, dialek dan jargon adalah cabang yang tunduk pada bahasa;
c) “Karakter kelas” rumusan bahasa itu tidak benar dan non-Marxis.

Catatan:
1. Bund, Serikat Buruh Umum Yahudi Lithuania, Polandia dan Rusia, adalah sebuah organisasi oportunis borjuis kecil Yahudi yang didirikan dalam sebuah kongres yang diselenggarakan di Vilna pada Oktober 1897, yang terutama beroperasi di kalangan perajin Yahudi. Dalam Kongres Pertama Partai Buruh Sosial-Demokratik Rusia pada tahun 1898, Bund bergabung dengan R.S.D.L.P sebagai “organisasi otonom independen yang hanya berkepentingan dengan problem-problem khusus proletariat Yahudi.” Namun, begitu bergabung dengan Partai ia menyebarkan nasionalisme dan separatisme dalam gerakan kelas pekerja Rusia. Pendirian nasionalis-borjuis Bundis dibantah keras oleh Iskra, surat kabar yang didirikan oleh Lenin.
2. V. I. Lenin, “Hak Bangsa-bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri”, Karya-karya Terpilih dalam Dua Jilid, edisi bahasa Inggris, Moskwa, 1952, Jilid I Bagian 2, h. 318-19.
3. J. V. Stalin, “Persoalan Nasional dan Leninisme”, Karya, edisi bahasa Inggris, Moskwa, 1954, Jilid II, h. 353.
Diterjemahkan dari:
J. V. Stalin, Marxism and Problems of Linguistics, Foreign Language Press, Peking, 1972. 

Comments

Popular posts from this blog

Para Pembunuh

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Kekekalan (L'Immortalite), Milan Kundera