Lydia, tempat lahir uang
Kata
tertua yang terekam dalam kesusastraan Eropa adalah kata Yunani kuno untuk
menyebut amuk dalam Iliad Homerus. Dalam bahasa Inggris, kita biasa
menerjemahkan baris pertamanya dengan “Sing,
O Muse, of the rage of great Achilles” (Nyanyikan, hai Muse, amuk Achilles
yang agung), tetapi teks aslinya bermula dengan kata yang berarti “amuk”,
“murka” atau “amarah”, dan bahwa emosi menjadi hal pokok dalam kisah Homerus
tentang Perang Troya, sepuluh tahun pertikaian di mana orang-orang Yunani
mengorbankan, membunuh, menyiksa, memperkosa, membikin cacat, dan memperbudak
satu sama lain. Orang-orang yang dibakar amuk itu hidup dalam apa yang oleh
para sarjana modern disebut zaman heroik, atau Homerik, di tepian
imperium-imperium besar kuno zaman itu. Dunia mereka akan tetap berada dalam
kegelapan kabut sejarah sekiranya bukan karena dua epik besar Yunani, Iliad
dan Odyssey karya Homerus, yang merupakan sebuah pengantar bagi catatan
peradaban yang disuratkan untuk terungkap. Orang-orang Yunani yang dilukiskan
dalam karya Homerus adalah manusia tempur, bukan manusia niaga. Para pahlawan
itu memburu kehidupan perang, menggempur tetangga dan mempertahankan kehormatan
keluarga mereka. Dalam detail yang begitu hidup Homerus memaparkan persenjataan
jagoan-jagoannya, baju perang yang mereka kenakan, desain pelindung dada
mereka, dan setiap peralatan yang mereka gunakan dalam perang. Selain
mendeskripsikan keindahan kapal-kapal mereka, dia juga mengisahkan dengan muram
di mana tombak menusuk kepala prajurit, di mana tembusnya, dan berapa lama ibu
dan istri prajurit menangis sewaktu pemakamannya.
Uang tidak mendapat tempat dalam puisi epik Homerus, sama tidak ada tempat
bagi uang dalam kehidupan para pahlawannya. Dalam kata-kata Voltaire,
“Agamemnon mungkin punya kekayaan, tapi jelas tidak punya uang.” Perdagangan
tidak tampil dalam puisi Homerus di mana orang memburu kehormatan, bukan
kekayaan; mereka memaksakan kehendak atas pihak lain dengan bayaran apa saja.
Mereka tidak berunding, berkompromi, atau bersilat lidah soal nilai harta benda
duniawi. Pihak yang paling kuat menuntut agar harta benda diberikan kepada
mereka sebagai upeti untuk digunakan dalam operasi militer mereka; mereka tidak
sudi tawar-menawar dengan para pemilik toko.
Istana-istana berbenteng kokoh, seperti milik Agamemnon di Mycenea dan
Priam di Troya, menjadi pusat kehidupan komunal orang Yunani pada era Homerik,
dan pasar tidak dianggap sebagai tempat penting. Masing-masing kota berusaha
memproduksi sebanyak mungkin barang kebutuhan sendiri sehingga jika terpaksa
berdagang dengan kota lain hal itu bisa dilakukan sesedikit mungkin. Di waktu
senggang, para jagoan Homerik pergi berburu, berpesta pora, dan memainkan
perang ritual.
Homerus tidak mengisyartakan adanya pemikiran atau refleksi diri di antara
para pahlawannya. Gagasan dan dorongan mereka muncul dari hasrat mengurat
mengakar untuk mendongkrak kehormatan pribadi atau berupa ilham yang dibisikkan
ke telinga mereka oleh para dewa. Para pahlawan Homer adalah manusia gairah
bukan manusia moderat yang sedemikian diagungkan dalam karya-karya klasik
Yunani. Frase gnothi seauton (kenali dirimu sendiri), yang kelak menjadi
motto orang-orang Yunani klasik Abad Keemasan Athena, tentu saja tidak berarti
apa-apa bagi Achilles, Odysseus, Paris, Hector, Agamemnon, Priam, dan
pahlawan-pahlawan Homerik lainnya. Mereka manusia aksi, bukan refleksi.
Bagaimana bisa kita membayangkan Odyssseus pulang dari sepuluh tahun
pengembaraannya untuk mendirikan sanggar kerja gerabah, mengawasi perkebunan,
atau membuka toko anggur? Seperti para pahlawan Homerik lainnya, Odysseus
melompat-lompat bersama makhluk-makhluk dewata, melawan monster-monster
mengerikan, mabuk berat, merayu para wanita (bangsa manusia maupun dewi), dan
hidup di tengah-tengah para pahlawan lain dalam permainan abadi mempertahankan
dan menambah kehormatan. Perdagangan tidak berarti banyak bagi Odysseus dan
para kameradnya sebab mereka hidup dalam sebuah dunia yang belum mengenal uang.
Walaupun mereka tidak tahu menahu soal uang, sesungguhnya uang lahir di
tempat yang amat dekat dengan tembok kota Troya. Di tempat beradanya kerajaan
tidak terkenal Lydia itulah manusia pertama kali membuat koin, dan di situ pula
revolusi besar pertama berawal. Revolusi itu disuratkan memiliki dampak jauh
lebih besar bagi dunia kita ketimbang pengaruh semua pahlawan Yunani kuno
dijadikan satu.
Beberapa milenium berlalu, silih berganti berbagai kerajaan muncul,
berkembang, dan layu di sepanjang pantai Ionia dan pulau-pulau sekitarnya.
Masing-masing meninggalkan sesuatu yang di kemudian hari diadopsi oleh
kebudayaan para tetangga dan penerus mereka. Dari sekian banyak peradaban besar
yang berkembang dan surut di Anatolia kuno, Lydia tidak termasuk dalam deretan
bangsa yang punya peradaban tersohor. Bangsa Lydia menggunakan sebuah bahasa
Eropa dan hidup di Anatolia sesudah kira-kira tahun 2000 SM. Mereka membentuk
sebuah kerajaan mungil di bawah pemerintahan dinasti Mermnadae yang bermula
pada abad ketujuh SM, tetapi pada puncak kejayaannya sekalipun kerajaan Lydia
tidak lebih dari sebuah negara-kota yang mengembang dari Sardis. Raja-raja
Lydia tidak diagungkan dalam mitos atau lagu-lagu sebagai prajurit, penakluk,
pembangun besar, sebagai pencinta pun tidak.
Nama-nama dinasti dan para raja kita ketahui berkat tablet Hittite dan
buku-buku sejarawan Yunani Herodotus, tetapi cuma satu nama Lydia kuno yang
banyak dikenal saat ini—Croesus. “Sekaya Croesus” adalah ungkapan dalam bahasa
Inggris, Turki modern dan bahasa-bahasa lain di seluruh dunia.
Dipetik dari Jack Weatherford, The History of
Money, Crown Publishers Inc, New York, 1997, diterjemahkan oleh Noor Cholis dengan judul Sejarah Uang, PT Bentang Pustaka, Yogyakarta (2005)
sumber
gambar: https://en.wikipedia.org/wiki/Lydia
Comments
Post a Comment