Penerjemah dan Penjual Soto


Saya bukan sastrawan. Tentu saja. Bukan pula penerjemah yang mengkhususkan diri pada karya-karya sastra. Tiga cuplikan saya sebelumnya di blog ini tentang Penyair Pemenang Hadiah Nobel Pablo Neruda juga tidak bisa diartikan bahwa saya paham betul soal penyair hebat itu. Bagaimanapun juga, terjemahan Novel Il Postino karya Antonio Skármeta itu adalah karya yang memberikan hiburan sangat berarti bagi saya. Saya menerjemahkannya ketika mengalamai masa-masa tersulit dalam hidup. Masa-masa yang sangat kritis nyaris secara eksistensial. Seorang teman sempat berseloroh, “Tambah satu persoalan lagi saja, sebaiknya kamu gantung diri.”
Ulasan dan komentar terhadap Il Postino sungguh ibarat langit dan bumi dibanding kritik sangat keras yang saya terima untuk terjemahan L’Immortalité, karya Milan Kundera, beberapa waktu sebelumnya. Kecaman terhadap terjemahan saya itu, perlu saya tegaskan, tidak termasuk hal-hal yang meruntuhkan semangat hidup saya waktu itu. Menambah persoalan, ya. Tetapi persoalan-persoalan saya sebelum itu jauh lebih menciutkan nyali dari kritik di majalah terkemuka lagi otoritatif di negeri ini. Mengenang masa itu saya cuma membatin, “Itu terjemahan karya Kundera yang “Book of Laughter and Forgetting” dan “One Hundred Years of Solitude” Gabriel García Márquez aman-aman sentosa saja hanya karena penerjemahnya tidak kenal dengan lingkaran dewa-dewa sastra Indonesia.” Yang jelas, terbitnya Il Postino bersamaan waktunya dengan timbulnya kesadaran saya bahwa ungkapan “kesulitan datang bersama kemudahan” itu pasti benarnya.
Sepuluh tahun berlalu. Saya tidak hanya menerjemahkan tentunya. Apa saja pekerjaan yang bisa dikerjakan saya ambil, mulai dari menjadi peneliti modal browsing internet, peneliti lapangan, melawan jemu mentranskrip hasil wawancara, menulis buku, menjadi penulis hantu, lalu menjadi peneliti energi, hingga bekerja di lingkungan Istana, dan kembali lagi menjadi freelancer menulis, menyunting, dan menerjemahkan saat ini. Ternyata porsi terbesar penghasilan saya adalah dari penerjemahan. Walaupun hasilnya secara finansial susah dibilang besar.
Seperti umumnya, menjadi penerjemah jelas bukan cita-cita saya. Tetapi penerjemahan adalah pekerjaan berupah (walaupun cuma dua bungkus Bentoel Biru) yang pertama saya terima. Saat itu saya masih kelas 3 Madrasah Aliyah Negeri Surakarta. Menantu ibu kos saya yang kuliah di UNS meminta saya menerjemahkan tugas kuliahnya. Ampun, saya terseok-seok menerjemahkan tulisan tentang teknik sipil dengan modal Kamus Inggris–Indonesia W. J. S Purwodarminto. Andai waktu itu komputer sudah sepopuler sekarang, mungkin file-nya masih saya simpan.
Meski saya tidak pernah belajar bahasa Inggris secara khusus (kursus atau kuliah ekstensi, misalnya), penerjemahan menghampiri saya semasa kuliah dalam bentuk permintaan menerjemahkan artikel tentang bisnis cucu Presiden Soeharto (mungkin dari Majalah Times) untuk Majalah Mahasiswa Fisipol UGM “Sintesa”. Saya memang lebih sering beredar di Fisipol daripada fakultas saya sendiri, Hukum. Mungkin benar perkataan bahwa sistem pendidikan kita tidak mencerdaskan, acak-acakan, justru membodohkan, dan sebagainya. Tetapi benar juga perkataan Rabindranath Tagore bahwa sekolah menawarkan lebih dari pendidikan: pertemanan. Teman-teman Fisipol saya beberapa kali meminta saya menerjemahkan cuplikan buku atau artikel untuk tugas kuliah. Dengan bayaran ucapan terima kasih maupun per halaman seribu rupiah saja.
Teman juga (Ari Ujianto, kini Direktur Yayasan Desantara) yang mencarikan order terjemahan buku pertama saya dari Pustaka Pelajar, Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, tesis Dr. Muhadi Sugiono. Kemudian, teman yang kini tetap menjadi karib saya, A.S. Laksana, mengenalkan saya dengan karya-karya sastra untuk diterjemahkan dalam sebuah lembaga yang diberi nama akubaca pada tahun 2000. Dengan segala pasang surut dan pahit getir profesi yang mensyaratkan keberanian menyendiri berlama-lama dan ketelatenan ini, sampai sekarang saya tetap menerjemahkan. Walaupun, seperti sudah disampaikan di atas, diselingi berbagai aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan penerjemahan.
Sebetulnya, penerjemah adalah profesi yang menjanjikan secara finansial, kalau spesialisasi yang diambil adalah bisnis, misalnya penerjemah dokumen perusahaan (umumnya menghendaki peranti Translation Memory yang mahal itu). Adapun menerjemahkan buku sungguh mungil imbalannya. Gambarannya begini, saya pernah menerjemahkan 9 halaman teks asli untuk sebuah lembaga swasta dengan ongkos total Rp 750.000. Sangat jauh dibandingkan harga dari penerbit yang sulit menembus angka Rp 30.000 per halaman jadi. Bahkan, saya pernah bertanya bayaran per lembar di sebuah penerbitan yang dahulu, awal-awal saya menerjemahkan, membayar Rp 6.000 per halaman jadi. Sambil mengucapkan terima kasih ketika menutup telepon saya “takjub” dengan tawaran Rp 8.000 per halaman. Bidang sastra sama saja nasibnya, kalau bukan lebih buruk. Ucapan Edith Grossman ini cukup menjelaskan, “Tampaknya saya adalah satu dari sedikit orang di Amerika Serikat yang sepenuhnya bekerja sebagai penerjemah. Tak banyak uang bisa didapat dari penerjemahan. Jadi, Anda harus menyatakan kaul kemiskinan terlebih dahulu.” Itu di Amerika Serikat, yang kata Bu Grossman dunia penerjemahan membaik keadaannya. Sekali lagi, di sana.
Bukan karena ingin mengabdi demi kecemerlangan dunia pernerjemahan (atau motif-motif mulia heroik serupa itu) yang memaku saya di dunia penerjemahan buku. Juga bukan karena saya tidak bisa bekerja di bidang lain. Saya kira suatu obrolan pada saat yang tepat bisa berpengaruh pada jalan hidup seseorang. Ketika kami sedang mengobrol, Hamid Basyaib (waktu itu Direktur PT Alvabet) mengatakan bahwa penerjemah mestinya berlaku layaknya penjual soto. Hujan atau panas terik, laris atau tidak laku, tetap berjualan. Saya pun teringat sebuah warung Soto Lamongan tidak enak di Jalan Kaliurang, yang selalu membuat saya menggerutu karena rasanya yang tidak keruan. Namun, saya ke situ lagi juga kalau warung-warung lain sudah tutup, atau uang di kantong menipis. Bertahun-tahun kemudian, kegigihan para penjual Soto Lamongan memang layak menjadi teladan. Kini di sepanjang ruas jalan raya Pantai Utara Jawa bertebaran warung-warung Soto Lamongan.
      Mungkin itu penjelasannya. Memang tidak seheroik ini, misalnya, “Saya tetap menerjemahkan karena kecintaan pada profesi yang menjembatani pemahaman ini itu dan seterusnya.” Tetapi, mungkin ada penjelasan lain yang agak romantis nostalgis: Saya selalu menyukai cara Wawa (pemilik toko roti terkenal di Ngawi kota) menghormati usaha awalnya. Dia selalu menyediakan tahu seember untuk dijual, entah laku entah tidak, setiap harinya. Padahal dari hasil penjualan roti dan makanan ringan yang amat laris itu, apalah arti tahu seember? Bagaimanapun juga, penerjemah buku adalah profesi sunyi. Sunyi senyap. Ketika suatu malam sebuah akun twitter mengungkapkan, “Salam hormat bagi para penerjemah yang memilih jalan sunyi ...”, semakin terasa betapa senyap hidup menerjemahkan. Dengan gembira, saya segera me-retweet-nya. Lalu tidur. Keesokan paginya saya menerjemahkan lagi, sementara para penjual soto mungkin sedang menyiapkan bahan jualan mereka malam harinya nanti.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)