Pidato Nobel Pablo Neruda
Menuju Kota Agung
Pablo Neruda
Peraih Nobel, 13 Desember 1971
Pidato yang hendak saya sampaikan berupa sebuah pengembaraan panjang, sebuah
perjalanan yang saya tempuh menyusuri tempat-tempat terpencil dan jauh dari
keramaian. Tetapi bukan karena itu jika ada sedikit kemiripan dengan lanskap
dan kesunyian Skandinavia. Saya menunjuk pada cara garis batas negeri saya
ditarik hingga ujung paling selatan. Begitu jauhnya kami bangsa Chili sehingga perbatasan
kami nyaris menyentuh Kutub Selatan. Ini mengingatkan pada keadaan geografis
Swedia, yang kepalanya menjamah kawasan utara bersalju planet ini.
Menyusuri bentangan luas negeri tumpah darah saya,
menyusuri peristiwa-peristiwa yang sudah terlupakan, orang mesti melintasi, dan
begitulah saya terpaksa melintas, Pegunungan Andes demi menemukan perbatasan
negeri saya dengan Argentina. Rimba raya membuat kawasan tak terjamah itu
menyerupai sebuah terowongan di mana kami menempuh perjalanan rahasia dan
terlarang dan hanya menyediakan sedikit sekali tanda bagi gerak maju kami. Tak
ada jejak tak ada setapak. Saya dan keempat pengiring saya, di atas punggung
kuda, terus maju menempuh jalan penuh siksaan itu, menyusup-nyusup di celah
pepohonan raksasa, menghindari sungai yang tak mungkin diseberangi, tebing
karang raksasa, dan hamparan salju nan muram; meraba-raba mencari wilayah di
mana kebebasan saya berada. Mereka yang menyertai saya paham betul bagaimana
menerobos maju membelah rimbunnya dedaunan belantara, namun demi amannya mereka
menandai rute dengan goresan parang di pohon-pohon, meninggalkan jejak di sana
sini yang nantinya bisa mereka ikuti sesudah meninggalkan saya sendirian dengan
nasib saya.
Masing-masing kami beringsut maju menembus kesunyian yang
tak bertepi, pepohonan hijau dan putih dan bisu, akar bahar raksasa dan lapisan
tanah mengendap selama berabad-abad. Batang-batang setengah roboh bisa
tiba-tiba muncul sebagai hambatan baru bagi gerak maju kami. Kami tercampak di
sebuah dunia yang rahasia dan mempesona, yang sekaligus juga merupakan hamparan
dingin, salju, dan rintangan yang kian mengancam. Semua melebur jadi satu:
kesunyian, marabahaya, kebisuan, dan kegentingan misi saya.
Kadang-kadang kami menyusuri setapak yang begitu
samar-samar, mungkin dulu dibuat oleh para penyelundup atau penjahat kelas teri
yang mencoba kabur, dan kami tak tahu berapa banyak dari mereka yang menemui
ajal direnggut oleh tangan beku musim dingin, oleh ganasnya badai salju yang
sekonyong-konyong mengamuk di Pegunungan Andes, yang menelan dan mengubur para
musafir di bawah putih salju setinggi tujuh lapis.
Pada kedua sisi setapak saya bisa melihat, di tengah
kemurungan alam bebas, sesuatu yang menelikung aktivitas manusia. Di situ
menumpuk dahan-dahan yang telah teronggok selama sekian musim dingin, sesaji
yang diberikan oleh beratus-ratus orang yang mengarungi tempat itu, gundukan
kubur asal-asalan sebagai kenangan terhadap mereka yang jatuh sehingga siapa
pun yang lewat di situ pasti teringat pada orang-orang yang tak mampu bertahan
dan terbujur diselimuti salju selama-lamanya. Para pengiring saya juga membabat
dengan parang mereka dahan-dahan yang menyapu kepala kami dan menjulur dari
pohon-pohon oak raksasa yang daun-daun terakhirnya berserakan disapu badai
musim dingin. Dan saya juga meninggalkan penghormatan pada tiap-tiap gundukan,
sebuah tanda kunjungan dari kayu, sepotong dahan dari hutan untuk menandai
tiap-tiap peristirahatan para pengelana tak dikenal itu.
Kami harus menyeberangi sebuah sungai. Di atas ketinggian
Pegunungan Andes sana ada aliran sungai kecil yang menjatuhkan diri dengan
semburan dan tenaga menggila, menciptakan air terjun yang mengaduk-aduk tanah
dan bebatuan yang mereka muntahkan dengan dahsyat. Namun kali ini kami
menghadapi air tenang, hamparan luas bagai cermin yang dapat diseberangi. Kuda-kuda
kami mencebur, kehilangan pijakan, dan mulai berenang mencapai seberang. Kuda
saya hampir terbenam, saya timbul tenggelam tanpa dukungan, kaki saya
meronta-ronta sejadi-jadinya sementara kuda saya berjuang agar kepalanya tetap
menyembul di permukaan air. Akhirnya kami sampai di seberang, kawan-kawan saya,
orang-orang dusun yang setia mengiringi perjalanan saya, bertanya dengan senyum
dikulum:
“Anda takut?”
“Sangat. Kupikir ajalku sudah tiba,” kata saya.
“Kami di belakang Anda menyiapkan laso kami,” mereka
menukas.
“Tepat di situ,” salah seorang menambahkan, “ayah saya
jatuh dan terbawa arus. Itu takkan terjadi pada Anda.”
Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di terowongan
alamiah yang tercipta barangkali karena dibor oleh sungai besar yang kini sudah
mati atau karena semacam gempa bumi saat dataran tinggi ini terbentuk. Kami
masuk ke dalamnya, batu-batu granitnya seolah dipahat. Baru beberapa langkah
kuda-kuda kami sudah tersaruk-saruk mencari pijakan di permukaan bebatuan yang
tak rata dan kaki mereka terpeleset, bunga api memercik dari sepatu besi
mereka—beberapa kali saya nyaris terlempar dan terkapar di bebatuan cadas. Moncong
dan kaki kuda saya berdarah, tapi kami pantang menyerah dan terus menyusuri
jalan panjang dan sukar namun menakjubkan itu.
Ada sesuatu yang menunggu kami di tengah hutan perawan
liar ini. Mendadak, seakan-akan dalam mimpi yang aneh, kami disambut padang
rumput kecil cantik yang tumbuh subur di antara batu-batu cadas: udara segar
bersih, rumput hijau, bunga-bunga liar, sungai kecil berkelok dan langit biru
di atas. Cahaya melimpah tanpa dihalangi dedaunan.
Di tempat itu kami seakan-akan berhenti di sebuah
lingkaran magis, layaknya tamu di suatu tempat keramat, dan dalam upacara di
mana sekarang ini saya terlibat masih menebar aroma sesuatu yang keramat. Para
penggembala sapi yang mengiringi saya turun dari kuda mereka. Di tengah-tengah
tempat itu terdapat tengkorak kepala lembu jantan yang dipajang layaknya dalam
sebuah ritus. Tanpa berkata-kata, satu demi satu para lelaki itu menaruh uang
logam dan makanan di rongga mata tengkorak. Saya mengikuti mereka memberikan
persembahan yang ditujukan buat para pengelana yang tersesat, buat setiap
pengungsi yang akan menemukan roti dan bantuan di rongga mata lembu mati itu.
Namun upacara yang tak pernah saya lupakan itu tidak
berhenti di situ. Teman-teman saya melepas topi mereka dan mulai menarikan
tarian ganjil, melompat-lompat di atas satu kaki di sekeliling tengkorak
tersebut, bergerak berputar mengikuti jejak kaki yang ditinggalkan orang-orang
yang lewat sebelum kami. Sedikit demi sedikit saya mengerti. Di sana, di
samping perilaku ganjil para pengiring saya itu, terdapat semacam ikatan di
antara orang-orang yang tidak saling kenal, sebuah perhatian, sebuah seruan,
dan sebuah jawaban di tempat sunyi yang paling jauh dan paling terpencil di dunia
ini.
Terus berjalan, sebelum mencapai perbatasan yang akan
memisahkan saya dari negeri saya untuk beberapa tahun, di malam hari kami
menemukan celah terakhir pegunungan. Tiba-tiba kami melihat nyala api sebagai
pertanda pasti akan kehadiran manusia, dan ketika kami makin mendekat kami
mendapati bangunan setengah hancur, pondok-pondok yang sudah ditinggalkan. Kami
memasuki salah satu pondok dan melihat nyala api dari balok-balok yang terbakar
di tengah ruang, belahan kayu dari pohon-pohon besar, yang menyala siang malam
dan menciptakan asap yang membumbung lewat celah pada atap dan melayang seperti
selendang biru tua di kegelapan malam. Kami mendapati gunungan keju, yang
dibuat oleh para penghuni dataran tinggi ini. Di dekat perapian duduk
orang-orang yang menggerombol seperti karung. Dalam keheningan kami bisa
mendengar nada petikan gitar dan syair lagu yang lahir dari bara api dan
kegelapan, dan suara manusia pertama yang kami temui dalam perjalanan kami. Lagu
itu mendengangkan cinta dan kota-kota yang jauh, sebuah ratapan dan kerinduan
pada musim semi entah di mana, rasa rindu pada hidup yang membentang tanpa
batas. Orang-orang itu tidak tahu siapa kami, tidak tahu-menahu tentang
pelarian kami; atau mungkin sesungguhnya mereka tahu siapa kami? Yang jelas di
perapian itu kami bernyanyi dan makan, lalu di tengah kegelapan kami memasuki
semacam bilik-bilik primitif. Bilik-bilik yang dialiri arus hangat air vulkanik
untuk kami mandi, satu kehangatan yang bersumber pada rangkaian pegunungan yang
menyambut kami dalam keramahannya.
Sukacita kami mencebur, dan kami pun habis-habisan
membersihkan diri, melepas penat setelah perjalanan panjang di punggung kuda.
Menginjak fajar, kami memulai lagi perjalanan dengan tubuh segar, rasanya
terlahir kembali dan dibaptis, menyusuri beberapa mil ke depan yang akan
menjauhkan saya dari tanah air saya. Kami menunggang kuda sambil bernyanyi,
diliputi suasana baru, dipenuhi kekuatan yang menggiring kami pada jalan raya
terlapang di dunia yang sudah menunggu saya. Satu hal saya ingat betul, ialah
ketika kami hendak memberikan pada para penghuni gunung itu beberapa keping
uang logam sebagai tanda terima kasih untuk nyanyian mereka, untuk makanan, air
hangat, penginapan, dan tempat tidur yang telah diberikan—untuk surga tak terduga
yang kami jumpai di tengah perjalanan—dan pemberian kami ditolak mentah-mentah.
Mereka melayani kami, itu saja. Tak ada apa pun yang berlebihan bagi mereka.
Dan dalam sikap “tak ada apa pun” yang membisu itu, tersembunyi sesuatu yang
kami mafhum, mungkin sebuah pengakuan, mungkin semacam mimpi-mimpi bersama.
Hadirin sekalian yang terhormat,
Tak pernah saya mempelajari satu pun resep menulis puisi
dan karena itu saya akan berusaha keras tidak memberi saran apa-apa tentang
bentuk atau gaya yang dianggap bisa memberikan setetes wawasan yang
dinanti-nanti para penyair baru. Bila dalam pidato ini, dan di tempat ini—yang
berbeda jauh dari tempat saya waktu itu—saya mengisahkan sesuatu tentang
peristiwa di masa lalu, mengenang kembali sebuah kejadian yang tak terlupakan,
itu karena dalam perjalanan hidup saya entah di mana saya senantiasa
mendapatkan dukungan yang diperlukan: sebuah formula yang menanti saya. Bukan
untuk dibekukan dalam kata-kata, tapi justru untuk menjelaskan kepada saya
tentang diri saya sendiri.
Selama perjalanan panjang tersebut, saya menemukan
komponen-komponen penting untuk menyusun puisi. Di situ saya menerima sumbangan
dari tanah dan jiwa. Dan saya yakin bahwa puisi adalah sebuah tindakan,
sekelebat atau khidmat, di mana kesunyian dan solidaritas, aksi dan emosi,
kedekatan pada diri sendiri, pada umat manusia, dan pada manifestasi
tersembunyi alam masuk ke dalamnya sebagai rekan yang sederajat. Di samping itu
saya juga berpikir bahwa semua ini—manusia dan bayangannya, manusia dan
tindak-tanduknya, manusia dan puisinya—bisa diterima oleh semangat berkomunitas
yang kian mengembang, oleh suatu usaha yang akan selamanya menyatukan realitas
dan mimpi dalam diri kita karena memang dengan cara itulah puisi menyatukan dan
merajut semuanya. Jadi, saya katakan bahwa saya tidak tahu, setelah
bertahun-tahun, apakah pelajaran yang saya petik ketika menyeberangi sungai
yang menyurutkan nyali, ketika menari mengitari tengkorak sapi, ketika merendam
tubuh dalam air pembersih di ketinggian puncak—saya tidak tahu apakah
pelajaran-pelajaran itu mengalir melalui saya untuk ditanamkan ke orang-orang
lain atau apakah semua itu adalah sebuah pesan yang dikirim oleh orang lain
untuk saya sebagai sebuah permintaan atau tuntutan. Untuk semua syair yang saya
alami hari ini, seluruh pengalaman yang nantinya saya tuang dalam bait-bait
sajak, saya sungguh tidak mengerti apakah saya mengalami sesuatu atau
menciptakan sesuatu, saya tidak tahu apakah ia sebuah kebenaran atau sebuah
puisi, apakah ia sesuatu yang melintas atau tetap tinggal.
Dari semua ini, kawan-kawan, muncullah sebuah pemahaman
bahwa penyair harus belajar lewat orang lain. Tidak ada kesunyian yang tak
teratasi. Semua setapak mengarah pada tujuan yang sama: menyampaikan pada orang
lain siapa kita sejatinya. Dan kita mesti melewati kesunyian dan kesulitan,
kesendirian dan keheningan untuk mencapai tempat menyenangkan di mana kita bisa
menarikan tarian aneh dan mendendangkan nyanyian pedih kita—namun dalam tarian
atau nyanyian ini terlunaskan ritus paling tua dari suara hati kita, dalam
kesadaran kita sebagai manusia dan dalam kesadaran kita untuk meyakini suatu
suratan bersama.
Yang jelas, kalaupun ada beberapa atau banyak orang
menganggap saya sektarian, enggan duduk bersama di meja persahabatan dan
tanggung jawab, saya tak hendak membela diri, sebab saya yakin bahwa dakwaan
maupun pembelaan tidak termasuk tugas seorang penyair. Kala semua sudah
dikatakan, tidak ada penyair mana pun yang mampu mengatur puisi. Bila seorang
penyair mau bersusah payah mendakwa rekan-rekannya atau jika sejumlah penyair
lainnya menyia-nyiakan hidup dengan membela diri dari tuduhan yang masuk akal
ataupun yang tidak, saya yakin bahwa hanya kecongkakan semata yang bisa begitu
menyesatkan kita. Bagi saya musuh-musuh
puisi bukanlah siapa yang menjalani puisi atau yang menjaganya, musuh puisi
adalah tidak utuhnya pemahaman dalam diri penyair. Karena alasan ini maka
sesungguhnya tak ada musuh besar bagi seorang penyair selain ketidakmampuannya
sendiri untuk membuat agar dirinya dipahami oleh orang-orang sezamannya yang
paling terlupakan dan paling terhisap, dan dalil ini berlaku di semua zaman dan
semua negeri.
Seorang penyair bukanlah “dewa kecil”. Bukan, ia sama
sekali bukan “dewa kecil”. Sama sekali ia tidak dipilih oleh takdir yang mistis
sebagai lebih utama ketimbang mereka yang menekuni keahlian dan profesi lain.
Di kepala saya selalu saya pupuk pikiran bahwa penyair adalah orang yang
sehari-hari menyiapkan roti bagi kita: tukang roti terdekat yang tidak
membayangkan diri sebagai dewa. Ia melakoni pekerjaan mulia dan tanpa
pamrih—mengaduk adonan, memasukkannya dalam oven memanggangnya dalam
warna-warni keemasan, dan menyajikan roti setiap hari bagi kita sebagai tugas
terhadap sesama manusia. Dan, jika penyair mampu mencapai pemahaman sepele ini,
maka kesadaran ini pun akan ditransformasikan menjadi elemen dalam dalam suatu
aktivitas yang luar biasa, dalam struktur entah sederhana entah rumit yang
menjadi kerangka bangunan komunitas. Ia akan menjadi elemen bagi perubahan
kondisi yang melingkupi umat manusia, bagi penyajian hasil karya manusia: roti,
kebenaran, anggur, dan impian. Jika seorang penyair hendak melibatkan diri
dalam perjuangan yang terus-menerus demi menggapai tangan semua orang dan
berniat membentangkan kerja, usaha, dan rasa kasihnya untuk merangkul kerja
sehari-hari mereka, maka dia harus ambil bagian. Seorang penyair harus ambil
bagian dalam keringat, dalam roti, dalam anggur, dan dalam seluruh impian
manusia. Cuma dalam jalan mutlak menjadi manusia biasa inilah kita memberi
puisi keluasan tak berperi, yang sedikit demi sedikit mengelupas di setiap
zaman, tak ubahnya kita yang kian memudar.
Berbagai kekeliruan yang menghadapkan saya pada kebenaran
relatif, dan kebenaran-kebenaran yang berulang kali menyeret saya kembali pada
kesalahan, tidak memungkinkan saya menemukan jalan yang menuntun dan cara untuk
mempelajari apa yang dinamakan proses kreatif, untuk mencapai ketinggian sastra
yang sedemikian sukar digapai. Dan saya tidak pernah berkeberatan mengenai hal
ini. Tapi satu hal saya pahami betul—bahwa kita sendirilah yang memunculkan
semangat melalui penciptaan mitos pribadi kita. Dari bahan-bahan yang kita
pergunakan, atau yang ingin kita pergunakan, muncullah rintangan selanjutnya
bagi perkembangan diri kita dan perkembangan masa depan. Tak bisa tidak kita
selalu dihadapkan pada realitas dan realisme, akhirnya secara tidak langsung
mesti menyadari segala hal di sekitar kita dan juga jalannya perubahan. Lalu kita mengetahui, ketika tampaknya sudah
terlambat, bahwa kita sendirilah yang telah menegakkan penghalang sedemikian besar
hingga kita justru membunuh apa-apa yang hidup dan bukan membantu kehidupan
untuk tumbuh dan berkembang. Kita memaksakan diri memikul realisme yang
nantinya terbukti lebih merupakan beban ketimbang batu bata penyusun bangunan,
tanpa pernah mendirikan bangunan yang kita anggap sebagai bagian tak
terpisahkan dari tugas kita. Dan, sebaliknya, jika kita berhasil menciptakan
permberhalaan atas sesuatu yang eksklusif dan rahasia, jika kita
mengesampingkan realitas berikut kemerosotan realistisnya, maka
sekonyong-konyong akan kita dapati diri kita terkepung oleh sebuah negeri
kemustahilan, rawa-rawa penuh dedaunan, lumpur, dan mendung, di mana kaki kita
terbenam dan kita dihimpit oleh kemusykilan berkomunikasi.
Sejauh menyangkut kami, para penulis di kawasan mahaluas
Amerika, tiada henti kami menyimak seruan untuk mengisi kekosongan luar biasa
ini dengan menjadi darah dan daging. Kami menyadari kewajiban sebagai
orang-orang yang harus mengisi—dan pada saat bersamaan kami dihadang tugas tak
terelakkan untuk menggarap komunikasi kritis dalam sebuah dunia yang melompong
dan penuh ketidakadilan, hukuman, dan penderitaan—dan kami juga merasakan
tanggung jawab untuk membangkitkan mimpi-mimpi lama yang lelap di patung-patung
batu pada reruntuhan monumen kuno, di kebisuan yang membentang di dataran bumi,
dalam kelebatan hutan perawan, di sungai yang gemuruh bagai halilintar. Kami
mesti mengisi tempat-tempat paling terpencil di benua bisu ini dengan kata-kata
dan kami mabuk oleh tugas untuk mencipta fabel dan memberi nama ini. Barangkali
inilah yang paling menentukan dalam kasus sederhana saya, dan jika dengan
demikian maka gaya melebih-lebihkan, membersar-besarkan, dan retorika saya
semata-mata hanyalah peristiwa paling sepele dalam kerja sehari-hari seorang Amerika.
Masing-masing sajak saya memilih kedudukannya sebagai sebuah objek yang
gamblang, tiap syair harus menyatakan diri sebagai suatu instrumen kerja yang
bermanfaat, dan setiap lagu berupaya menjalankan fungsi sebagai satu pertanda
di angkasa bagi sebuah pertemuan antara jalan-jalan yang bersilangan, atau
sebagai sebongkah batu atau sepotong kayu di mana seseorang, siapa saja, yang
mengikutinya akan dapat mengukir tanda-tanda baru.
Dengan menyentuh konsekuensi-konsekuensi ekstrem tugas
kepenyairan tersebut, entah benar entah keliru, saya menetapkan bahwa sosok
saya dalam masyarakat dan di hadapan kehidupan adalah sosok yang dengan cara
sederhana memilih berpihak. Saya putuskan demikian ketika saya menyaksikan
begitu banyak kemalangan yang bermartabat, kejayaan yang sunyi, dan kekalahan
yang agung. Di tengah perjuangan Amerika saya mendapati bahwa tugas kemanusiaan
saya tak lain adalah bergabung dengan kekuatan besar massa rakyat yang
terorganisir, bergabung dengan kehidupan dan jiwa yang akrab dengan derita dan
harapan. Sebab hanya dari arus besar rakyat inilah perubahan yang diperlukan
muncul, demi sekalian pengarang dan demi bangsa. Dan seandainya sikap saya ini
melahirkan penolakan yang sengit atau keberatan yang bersahabat, yang jelas
saya tidak bisa menemukan cara lain bagi seorang pengarang di negeri-negeri
kami yang teramat luas dan kejam. Itulah cara paling sederhana jika kita
menghendaki kegelapan menjadi taman bunga, jika kita ingin membagi perhatian
kepada berjuta-juta rakyat yang tidak pernah belajar membaca apa yang kita
tulis atau bahkan tidak belajar membaca apa pun sama sekali, yang tidak bisa
menulis apalagi menulis kepada kita. Keberpihakan membuat saya merasa di rumah
sendiri di kawasan terhormat ini dan tanpa itu mustahil bagi kita untuk menjadi
manusia utuh.
Kami mewarisi kehidupan rakyat yang merana ini, yang
menyeret-nyeret beban kutukan selama berabad-abad, rakyat yang paling
mempesona, paling murni, yang dengan bebatuan dan logam mereka ciptakan menara
menakjubkan dan berlian yang memukau kilaunya—rakyat yang mendadak-sontak dirampok
dan dibungkam di zaman gelap kolonialisme yang masih membekas hingga kini.
Bintang penuntun sejati bagi kami adalah perjuangan dan
harapan. Tapi tidak pernah ada yang namanya perjuangan tunggal, tak ada pula
harapan tunggal. Dalam setiap diri manusia terkandung masa lalu yang jauh,
kepasifan, kesalahan, penderitaan, kepentingan hari ini yang mendesak, dan
langkah sejarah. Apa jadinya saya jika, misalnya, dengan satu dan lain cara
saya ikut menyumbang bagi pelestarian masa lalu feodal Benua Amerika? Lalu
bagaimana saya bisa mengangkat muka di bawah guyuran kehormatan yang
dianugerahkan Swedia kepada saya, jika saya tidak bisa merasakan semacam
kebanggaan sebagai orang yang terlibat, meski tidak banyak, dalam perubahan
yang kini melanda negara saya? Rasanya memang harus membuka peta Amerika,
menempatkan diri di hadapan keanekaragamannya yang menakjubkan, di hadapan
kemurahan kosmis tempat-tempat luas yang mengitari kami, guna memahami mengapa
banyak penulis enggan berbagi malu dan masa lalu yang penuh penjarahan, sebuah
masa ketika semua milik bangsa Amerika dirampas oleh dewa-dewa kegelapan.
Saya memilih jalan sukar untuk membagi tanggung jawab
dan—daripada mengulang-ulang pemujaan individual sebagai matahari dan pusat
sistem—saya lebih suka menawarkan jasa dengan segala kerendahan hati pada
pasukan tentara yang terhormat, yang barangkali sering melakukan kesalahan
tetapi terus maju dan bertarung setiap hari melawan anakronisme kepala batu dan
ketidaksabaran mereka yang beroposisi. Sebab saya meyakini tugas saya selaku
penyair melibatkan persahabatan tidak hanya dengan mawar dan simetri, yang
mengagungkan cinta dan kerinduan abadi, tetapi juga dengan kesibukan manusia
yang tiada henti, yang saya sertakan dalam puisi saya.
Tepat seratus tahun hari ini, seorang penyair murung dan
cemerlang yang paling putus asa dari segala jiwa hilang asa, menulis nubuat
ini: “A l’aurore, armés d’une ardente
patience, nous enterons aux splendides Villes.” Saat fajar, bersenjatakan
kesabaran yang berkobar, kita akan memasuki kota agung.”
Saya percaya pada ramalan Rimbaud, sang ahli nujum. Saya
datang dari daerah gelap, dari tanah yang terpisah dari negeri lain oleh kontur
tajam geografisnya. Sayalah orang paling tak dikenal dan puisi-puisi saya
bercorak kedaerahan, pedih dan kuyub tersiram hujan. Tapi saya selalu percaya
pada manusia. Tak pernah saya kehilangan harapan. Mungkin karena itulah saya
berhasil melangkah sejauh ini dengan puisi saya dan juga panji-panji saya.
Akhirnya, saya ingin menyampaikan pada mereka yang
beritikad baik, pada para pekerja, para penyair, bahwa seluruh masa depan sudah
diungkap dalam bait Rimbaud berikut: hanya dengan kesabaran membara kita akan menaklukkan kota agung, yang akan
memberi cahaya, keadilan, dan martabat bagi segenap umat manusia.
Dengan demikian puisi tidak akan dilantunkan dalam
kesia-siaan.
Dipetik dari Il Postino, akubaca, Jakarta 2003.
Sketsa Pablo Neruda, diambil dari http://beretandboina.blogspot.com/2011/02/pablo-neruda-1.html
Comments
Post a Comment