Tukang Pos Neruda


     Dengan senyum di bibir bak Burt Lancaster dia berkata kepada petugas, “Saya datang karena iklan Anda.”
     “Kau punya sepeda?” tanya petugas itu ogah-ogahan.
     “Ya,” hati dan mulutnya menjawab berbarengan.
     “Bagus,” kata pria itu seraya mengusap kacamatanya. “Kami butuh seorang tukang pos untuk Isla Negra.”
     “Kebetulan sekali, saya tinggal dekat situ, di teluk.”
     “O, itu berita baik. Berita buruknya adalah bahwa kamu hanya mengantar surat untuk satu orang.”
     “Cuma satu?”
     “Betul. Orang-orang lain di daerah itu semua buta huruf. Mereka bahkan tidak bisa membaca uang kertas yang mereka punya.”
     “Siapa orang yang harus kuantar suratnya itu?”
     “Pablo Neruda.”
     Mario Jiménez menelan sepersekian liter air ludahnya. “Bukankah itu sungguh fantastis.”
     “Fantastis katamu? Ia menerima berton-ton surat setiap harinya. Naik sepeda dengan tas penuh surat di punggung seperti mengangkut gajah di bahumu. Orang yang melayani jalur itu sebelum kamu jadi bongkok seperti unta ketika pensiun.”
     “Usiaku baru tujuh belas tahun.”
     “Kau sehat?”
     “Kau meragukannya? Lihatlah, saya sekuat kuda. Tak pernah meneteskan ingus.”
     Pegawai itu menurunkan kacamata di batang hidung dan menatapnya tajam dari atas bingkai. “Gajinya tak memadai. Tukang pos lain menutup kekurangan dengan tip yang mereka terima. Tapi dengan cuma satu klien, itu hanya cukup buatmu pergi ke bioskop seminggu sekali.”
     “Aku mau pekerjaan itu.”
     “Oke. Namaku Cosme.”
     “Cosme.”
     “Kau mesti memanggilku Seňor Cosme.”
     “Tentu, Seňor Cosme.”
     “Aku bosmu.”
     “Oke, Bos.”
     Lelaki itu mengangkat pulpen birunya, meniup-niup ujungnya untuk membuatnya hangat, dan tanpa melihat ia bertanya, “Nama?”
     “Mario Jiménez,” Mario Jiménez menjawab santun.
     Segera setelah memberikan sepotong informasi vital tersebut, ia berjalan ke arah jendela, merobek iklan itu, dan menyimpannya di saku belakang.

***
Kantor pos San Antonio yang manis dan sederhana berhasil mewujudkan perubahan yang bahkan Lautan Pasifik, dengan kesabarannya yang terkesan abadi, tidak pernah mampu melakukannya: Mario Jiménez tidak cuma bangun sambil bersiul dan merasakan lubang hidungnya jernih saat fajar hari merekah, ia juga menunaikan panggilan profesinya sedemikian tepat hingga Cosme mempercayakan padanya kunci kantor sampai, suatu hari, si tua itu bisa mewujudkan fantasi yang telah lama ia impikan: tidur sampai tiba waktu tidur siang, menikmati tidur siang yang panjang sampai tiba waktu tidur malam, dan tidur nyenyak semalaman hingga ia bangun keesokan pagi dengan semangat kerja meluap-luap seperti yang dipancarkan Mario sehari-hari, sesuatu yang tidak pernah Cosme punyai.
     Ketika turun gaji pertamanya—terlambat satu setengah bulan seperti lazimnya di Chile—Mario Jiménez, sang tukang pos, membeli barang-barang sebagai berikut: sebotol anggur Special Vintage Cousiňo Macul untuk ayahnya; secarik tiket West Side Story yang dibintangi Natalie Wood; sebuah sisir baja Made in Germany dari pedagang kaki lima di pasar San Antonio yang menarik perhatiannya dengan reklame berbunyi: “Jerman kalah perang akan tetapi memenangkan perdamaian – sisir stainless-steel buatan Solingen”; dan edisi Losada buku Elemental Odes karya klien sekaligus tetangganya, Pablo Neruda.
     Ia memutuskan bahwa di saat yang tepat, ketika suasana hati sang penyair sedang bagus, akan ia serahkan buku tersebut pada kliennya berbarengan dengan surat-suratnya dengan harapan memperoleh tanda tangan yang nanti bisa ia bualkan kepada para wanita molek dalam bayangannya, yang suatu saat kelak akan ia jumpai di San Antonio, mungkin malah di Santiago, yang rencananya akan ia kunjungi setelah menerima slip gaji kedua. Kendati sudah berada di ambang perwujudan rencananya berkali-kali, namun ia selalu dihadang sikap membeku sang penyair tatkala menerima surat, yang dengan cepat memberinya tip (kadang kala lebih besar dari biasanya), dan yang roman mukanya selalu nampak sebagai orang yang betul-betul hanya memikirkan dunia dalamnya sendiri. Begitulah, berbulan-bulan lamanya Mario tak mampu mengusir perasaan bahwa setiap kali ia membunyikan bel pintu sesungguhnya ia sedang menghancurkan ilham sang penyair, tepat ketika yang bersangkutan hendak mengawali gubahan sajak terbarunya yang cerlang-cemerlang.

[...]

     Pemuda Mario Jiménez dibesarkan di lingkungan nelayan, tetapi sedikit pun tak pernah ia menyangka kalau kail untuk menangkap sang penyair ada pada kiriman surat pagi itu. Surat-surat itu baru saja diserahkannya dan si penyair mengambil sepucuk surat dari tumpukan dan membukanya tepat di muka pemuda tanggung tersebut. Perilaku yang belum pernah diperlihatkan ini, yang begitu berbeda dari kebiasaan tenang dan diam-diam sang penyair, menyalakan kembali harapan si tukang pos yang sudah nyaris padam akan sebuah dialog dan—mengapa tidak mengakuinya saja—mungkin bahkan persahabatan.
     “Mengapa anda membuka surat di depan orang lain?”
     “Karena ini dari Swedia.”
     “Apa yang begitu istimewa dari Swedia selain perempuan Swedia?”
     Pada titik ini, Pablo Neruda mengerjapkan kelopak mata yang biasanya tidak bergerak.
     “Hadiah Nobel Sastra, Anakku.”
     “Mereka hendak memberikannya kepada anda?”
     “Jika iya, aku takkan menolak.”
     “Berapa banyak uangnya?”
     Sang penyair, yang kini sampai pada bagian terpenting surat, berkata dengan enteng, “Seratus lima puluh ribu, dua ratus lima puluh dolar.”
     Mario tak kuasa menyembunyikan tawa ketika ia berpikir untuk menambahkan, “lima puluh sen,” akan tetapi kekurangajarannya dicegah oleh insting yang lebih bagus, dan dengan suara paling tenang yang bisa ia keluarkan, ia berujar, “Lalu?”
     “Lalu, apa?”
     “Mereka akan memberikan pada anda?”
     “Bisa saja, tapi tahun ini tampaknya ada beberapa yang punya peluang lebih bagus.”
     “Bagaimana bisa?”
     “Karena mereka menulis karya besar.”
     “Dan bagaimana tentang surat-surat yang lain.”
     “Nanti aku baca,” sang pujangga menghela napas.
     “Oh.”
     Mario, yang menaruh curiga dialog itu akan segera berakhir, memberanikan diri ikut-ikutan hanyut dalam keadaan bengong persis yang biasa ditunjukkan satu-satunya klien sekaligus klien favoritnya itu. Tapi keterhanyutan Mario sedemikian total sampai-sampai sang penyair terpaksa berkata, “Apa yang sedang kau pikirkan?”
     “Oh, cuma berpikir kira-kira apa yang ada dalam surat-surat anda. Siapa tahu ada surat cinta.”
     Sang penyair yang tegap itu terbatuk, “Dengar, aku sudah menikah. Semoga Matilde tidak mendengarmu.”
     “Maafkan saya, Pak.”
     Neruda merogoh saku dan mengeluarkan pecahan uang kertas “lebih tinggi dari biasanya”. Si tukang pos mengucapkan terima kasih dengan nada sedih, tidak lain karena perpisahan yang menjelang dan bukan karena besarnya tip. Apa pun penyebabnya, secepat kilat kesedihan itu berubah menjadi kelumpuhan yang tarafnya mencemaskan, Sang penyair, yang bersiap-siap berbalik masuk ke rumah, tak mampu berbuat apa-apa selain terheran-heran dengan kelembaman ekstrem serupa itu.
     “Ada apa denganmu?”
     “Pak?”
     “Kau berdiri di situ seperti tonggak.”
      Mario memutar kepala sekeliling dan menumbuk mata sang penyair. “Tertancap seperti paku.”
     “Bukan. Diam bagai benteng.”
     “Lebih tenang dari kucing porselen?”
     Neruda melepas gerendel gerbang dan mengusap dagu. “Mario Jiménez, aku punya buku yang jauh lebih bagus daripada Elemental Odes. Sungguh memalukan menghadapkan aku pada seluruh perumpamaan dan metafora itu.”
     “Pak?”
     “Metafora, kataku!”
     "Apa itu?”
     Sang penyair menaruh tangannya di pundak si bocah.
     “Kurang lebihnya, kita bisa mengatakan bahwa ada suatu cara memerikan sesuatu dengan membandingkannya dengan hal lain.”
     “Beri saya contoh.”
     Neruda melihat arloji dan mendesah.
     “Begini, jika kau mengatakan langit sedang menangis, apa yang kau maksud?”
     “Gampang—hujan?”
     “Nah, itulah metafora.”
     “Kalau cuma sesederhana itu, kenapa namanya begitu rumit?”
     “Karena nama-nama segala sesuatu sama sekali tidak ada hubungannya dengan betapa sederhana atau alangkah rumitnya. Menurutmu, apakah hewan kecil-kecil yang beterbangan tak pantas menyandang nama sepanjang kupu-kupu? Sementara gajah justru lebih sedikit hurufnya ketimbang kupu-kupu,” dia menyudahi, kali ini dengan napas terengah, “padahal ia jauh lebih besar dan tidak terbang.” Kemudian, dengan seluruh tenaga yang masih tersisa, ia mengingatkan pada Mario bahwa seharusnya sekarang ia sudah dalam perjalanan menuju teluk.
     Sang tukang pos berusaha menjaga kesadarannya dan berujar, “Wah! Saya mau sekali jadi penyair!”
     “Kautahu? Setiap orang dan saudaranya adalah penyair di Chile. Menjadi tukang pos jauh lebih orisinal. Setidaknya kamu harus banyak jalan kaki dan kamu tidak gemuk. Di Chile, kami sekalian penyair berperut gendut.”
     Neruda memasang gerendel lagi dan sudah akan masuk ketika Mario, mengamati terbangnya burung yang tidak terlihat, mengatakan, “Hanya jika saya seorang penyair, saya bisa mengatakan apa pun yang saya mau.”
     “Apa yang mau kaukatakan?”
     “Nah, itulah persoalannya. Karena saya bukan seorang penyair, saya tidak dapat mengatakannya.”
     Sang pujangga mengerutkan kening.
     “Mario ...”
     “Ya, Pak?”
     “Aku hendak mengucap salam berpisah dan menutup gerbang.”
     “Baik, Pak.”
     “Sampai besok.”
     “Ya, sampai besok.”
     Neruda menujukan matanya pada surat yang belum terbaca, sejurus kemudian menengok ke arah gerbang. Sang tukang pos sedang berdiri di sana dengan tangan terlipat di dada, mengamati awan. Sang penyair menghampiri dan menepuk bahunya.
     “Aku kembali karena khawatir kau masih di sini,”
     “Saya sedang berpikir.”
     Neruda mengencangkan pegangan pada siku si tukang pos dan membimbingnya kuat-kuat menuju tiang lampu di mana sepedanya disandarkan.
     “Kaupikir kau bisa berpikir hanya jika berdiri di situ? Kalau kau ingin jadi seorang penyair, kau harus bisa berpikir sambil berjalan. Atau kau seperti John Wayne, yang tidak sanggup berjalan dan mengunyah permen karet pada saat bersamaan? Sekarang berjalanlah menyusur teluk dan ketika kau mengamati gerak laut, cobalah kaureka metafora.”
     “Beri saya misal.”
     “Simak puisi ini: “Di sini di Pulau ini, laut, laut seluruhnya. Membuncah dari waktu ke waktu. Ia katakan ya, lantas tidak, lantas tidak. Ia katakan ya, dalam biru, dalam busa, dalam satu golakan. Ia katakan tidak, lalu tidak. Ia tak kunjung bisa diam. Laut namaku, ia mengulang, menerjang sebongkah batu tapi itu tak bisa meyakinkannya. Lalu dengan tujuh lidah hijau, tujuh harimau hijau, tujuh laut hijau, membelainya, menciumnya, dan menetak dadanya, mengulang-ulang namanya.”
     Ia berhenti dengan roman muka puas. “Bagaimana?”
     “Aneh.”
     “Aneh? Wah, ternyata kau kritikus tajam.”
     “Bukan, Pak. Puisi itu tidak aneh. Yang aneh adalah apa yang saya rasakan ketika anda mengucapkannya.”
     “Ayolah Mario, cobalah kauungkapkan lebih jelas. Aku tak bisa menghabiskan seluruh pagi dengan kehadiranmu yang menyenangkan ini.”
     “Bagaimana harus saya jelaskan pada anda? Ketika anda mengucapkan puisi itu, kata-kata berlarian ke sana kemari.”
     “Seperti laut, ya!”
     “Tepat, mereka bergerak laksana laut.”
     “Itulah irama,”
     “Saya merasa aneh karena dengan semua gerak itu, saya pusing.”
     “Pusing?”
     “Tentu saja, saya seperti perahu terombang-ambing di atas kata-kata anda.”
     Kelopak mata sang penyair terangkat pelan.
     “Seperti perahu terombang-ambing di atas kata-kataku.”
     “He’eh.”
     “Tahu apa yang baru kaulakukan, Mario?”
     “Tidak. Apa?”
     “Kau mencipta sebuah metafora.”
     “Tapi itu tidak dihitung sebab itu muncul begitu saja tanpa sengaja.”
     “Semua gambaran adalah kebetulan, Anakku.”
     Menaruh telapak tangan di jantungnya, Mario berusaha mengendalikan dentam yang menggila. Ia yakin dadanya akan robek seketika itu juga. Tapi ia berhasil menguasai diri, dan dengan kurang ajarnya menunjuk jari hanya beberapa inci dari hidung klien emiritusnya, mengatakan, “Menurut anda semua di dunia ini, maksud saya semuanya, seperti angin, lautan, pepohonan, pegunungan, api, binatang, kuda, gurun pasir, hujan ...”
     “Kini kamu boleh mengatakan ‘dll’”
     “... segala dll. Menurut anda seisi dunia adalah sebuah metafora bagi sesuatu?”
     Neruda ternganga dan dagu kokohnya seakan hendak copot dari wajahnya.
     “Apa aku menyampaikan pertanyaan bodoh?”
     “Tidak, kawan, tidak.”
     “Ekspresi wajah anda aneh.”
     “Tidak. Aku cuma berpikir.”
     Dengan sapuan tangannya, ia menghapus kabut imajiner dari matanya, mengangkat celananya yang melorot, dan menempelkan telunjuk ke dada anak muda itu, ia berkata, “Dengar Mario, kita buat perjanjian. Sekarang aku harus ke dapur, membuat sandwich aspirin, dan merenungkan pertanyaanmu. Besok akan kukatakan pendapatku padamu.”
     “Betulkah, Pak?”
     “Ya, betul. Sekarang, selamat tinggal. Sampai besok.”
     Ia berpaling menuju rumah dan, setelah menutup gerbang, bersandar pada gerbang dan dengan sabar melipat tangannya.
     “Anda tidak masuk?” tanya Mario.
     “Oh, tidak. Kali ini aku tunggu sampai kau pergi.”
     Si tukang pos mengambil sepedanya, dengan riang membunyikan bel, diiringi senyum merekah cukup lebar untuk menelan sang penyair dan apa yang ada di sekelilingnya, berteriak, “Sampai jumpa, Pak.”
     “Sampai jumpa, Nak.”

[...]
      “Mario yang baik, aku tak sanggup menahan godaan untuk segera membaca telegram ini. Maukah kau membiarkan aku membacanya?”
     “Dengan senang hati.”
     “Terima kasih.”
     Neruda bermaksud membuka amplopnya saja, tapi karena terburu-buru telegram di dalamnya ikut terkoyak. Mario berdiri berjingkat, ia berusaha mencuri baca dari balik pundak sang penyair.
     “Bukan dari Swedia, kan?”
     “Bukan.”
     “Apa mereka akan memberikan Hadiah Nobel untuk anda tahun ini?”
     “Aku tak lagi memusingkan hal itu. Aku muak membaca namaku masuk dalam daftar perlombaan tahunan, sepertinya aku ini kuda pacuan.”
     “Jadi, dari siapa telegram itu?”
     “Komite Sentral Partai.”
     Sang penyair mengambil jeda sejenak dengan raut muka tragis.
     “Nak, apa hari ini benar Jumat tanggal tiga belas?”
     “Kabar buruk?”
     “Gawat! Mereka menunjukku sebagai calon presiden Republik Chile!”
     “Don Pablo, itu sungguh menakjubkan!”
     “Yah, menakjubkan untuk ditunjuk, tapi apa jadinya kalau aku terpilih?”
     “Tentu saja anda pasti terpilih. Semua orang kenal anda. Di rumah, ayah saya cuma punya satu buku dan itu karangan anda.”
     “Lalu kenapa?”
     “Apa maksud anda dengan ‘lalu kenapa’? Ayah saya buta huruf dan ia menyimpan salah satu buku anda, artinya kita akan menang.”
     “Kita akan menang?”
     “Jelas. Saya akan memilih anda apa pun yang terjadi.”

[...]
     Dua hari kemudian sebuah truk yang hingar-bingar penuh tempelan poster-poster sang penyair dan slogan “Neruda for President” tiba di kota dan menculik Neruda dari peristirahatannya. Sang penyair meringkas kesannya dalam catatan harian: “Kehidupan politik menyerbuku bagai halilintar dan merenggut aku dari karyaku. Massa besar manusia adalah guru paling agung yang pernah kupunyai. Aku bisa mendekati mereka dengan rasa malu bawaan seorang penyair atau kehati-hatian seorang pemalu, tetapi begitu berada di tengah mereka, aku merasa berubah. Aku adalah bagian dari mayoritas hakiki itu; aku hanyalah sehelai daun dari pohon besar manusia.”
     Mario Jiménez, sehelai daun yang layu dari pohon itu juga, harus mengucap selamat tinggal. Sedikit pun ia tak merasa terhibur ketika sang penyair, setelah memeluknya dengan cara agak berbau seremonial, menghadiahkan kepadanya dua jilid buku bersampul kulit karya lengkapnya, dengan kalimat persembahan – “Untuk teman baik dan kameradku, Mario Jiménez. Pablo Neruda” – yang jika tidak dalam situasi demikian pasti melebihi harapannya yang paling tinggi.
      Ia mengamati truk itu lenyap ditelan jalan tak beraspal dan berharap agar debu beterbangan yang ditinggalkan truk tersebut menguburnya seolah ia telah mati.

[...]
..., truk merah yang dua bulan sebelumnya melarikan Neruda kini datang lagi untuk memulangkan si penyair ke Isla Negra. Kendaraan itu tetap penuh dengan poster, tapi bukan lagi poster Neruda. Lelaki dalam poster yang sekarang berwajah tegang namun lembut dan kebapakan. Wajah itu bertengger di atas dada yang sama anggunnya dengan dada merpati. Dialah Salvador Allende. Namanya tertulis pada tiap poster.
     Para nelayan berlarian di kedua sisi truk; Mario tak mau ketinggalan dan jelas sekali bahwa ia kurang latihan atletik. Di gerbang rumahnya truk berhenti. Dengan topi klasiknya dan poncho yang penutup kepalanya dibiarkan menggelantung di bahu, Pablo Neruda menyampaikan sebuah pidato improvisasi yang, meski singkat, bagi Mario terasa abadi.

[...]

     “Dengan demikian puisi tidak akan dilantunkan dalam kesia-siaan.”
     Tepat pada kata-kata itu, tepuk tangan spontan membahana dari para penonton yang berjubel di sekitar pesawat TV dan Mario merasakan air matanya meleleh. Setengah menit ia memberi hormat dan setelah itu baru mengusap hidungnya yang berair, mengeringkan pipi basahnya, dan mondar-mandir di tengah kerumunan sembari tersenyum lebar-lebar, mengucap terima kasih kepada semua orang atas sambutan hangat mereka pada Neruda dan menjabat tangan siapa saja seolah-olah ia sedang mencalonkan diri menjadi presiden.
     Gambar sang penyair mendadak lenyap dari layar dan sang operator telegram berusaha menangkap isi berita berikutnya ketika pembawa acara mengatakan: “Kami ulangi: pasukan komando fasis membom dan menghancur-leburkan menara listrik di Provinsi Valparaíso. Serikat Buruh Bersatu memerintahkan semua anggotanya di seluruh negeri untuk tetap siaga ...”

[...]

     Di lingkungan dekat rumah Neruda, segerombolan tentara membangun barikade, dan lebih ke sana lagi, di kejauhan, cahaya lampu sorot konvoi militer berkelap-kelip hening. Hujan rintik-rintik: gerimis pantai yang dingin lebih menyebalkan ketimbang hujan lebat. Sang tukang pos memotong kompas ke puncak bukit. Terus bertiarap, ia mengamati situasi dari situ: jalan ke rumah sang penyair diblokir dari utara, dan tiga tentara wajib militer mengawasi rumah dari sekitar toko roti.

[...]

     “Katakan sebuah metafora bagus biar aku bisa mati dengan tenang, Nak.”
     “Saya tidak bisa memikirkan satu metafora pun, penyair, namun tolong dengar baik-baik apa yang hendak saya sampaikan pada anda.”

[...]

     “Duka atas pembunuhan tak berperikemanusiaan Presiden Allende. Rakyat dan pemerintah Swedia menawarkan perlindungan bagi penyair Pablo Neruda.”

“Lainnya,” ujar sang penyair, merasakan seakan-akan bayang-bayang menyergap matanya, seperti air terjun atau hantu berlarian, mencoba menembus kaca dan bergabung dengan semacam tubuh-tubuh samar yang tampak bermunculan dari pasir.

“Meksiko menawarkan pesawat terbang yang siap sewaktu-waktu membawa Pablo Neruda beserta keluarga.” Mario melanjutkan, kini dengan kepastian bahwa dirinya tidak didengarkan.

[...]

Ambulans mengantarkan Pablo Neruda ke Santiago. Di sepanjang perjalanan, kendaraan itu dipaksa berhenti di barikade polisi dan pos pemeriksaan militer.

Pada 23 September 1973, sang penyair meninggal di Klinik Santa Maria.

Sebelum ia menghembuskan napas terakhir, rumahnya di kaki Gunung San Cristobal di Santiago dijarah, jendela-jendela hancur, dan segala yang ada dibanjiri air dari kran yang dibiarkan terbuka.

Ia diratapi di tengah reruntuhan.

Waktu itu malam musim semi yang menggigilkan dan orang-orang yang berduka cita meneguk bercangkir-cangkir teh hingga fajar tiba. Sekitar pukul tiga dini hari seorang gadis berbusana hitam menantang jam malam dan memanjat bukit untuk bergabung mengikuti upacara.

Matahari pucat keesokan harinya.

 Dicuplik dari Antonio Skármeta, Il Postino, akubaca, Jakarta, 2002.

Tentang Pablo Neruda bisa dibaca di sini
Pidato Nobel Neruda bisa dibaca di sini

Comments

Popular posts from this blog

Para Pembunuh

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Kekekalan (L'Immortalite), Milan Kundera