Kumpulan Cerita F. Scott Fitzgerald


terjemahan The Diamond as Big as the Ritz F. Scott Fitzgerald
Kisah Ajaib Benjamin Button & Berlian Sebesar Ritz


Brigadir Jenderal Benjamin Button
Terdengar ketukan di pintu, dan seorang pelayan muncul sambil membawa sepucuk surat dengan cap resmi besar di sudut yang tertuju pada Mr. Benjamin Button. Benjamin membuka amplop dengan penuh semangat, dan membaca lampiran dengan hati gembira. Surat itu memberitahukan bahwa banyak perwira cadangan veteran Perang Spanyol-Amerika dengan pangkat lebih tinggi dipanggil bertugas kembali, dan lampirannya menyebutkan penugasannya sebagai seorang brigadir jenderal tentara Amerika Serikat disertai perintah untuk melapor secepatnya.
Benjamin terlonjak gemetar penuh semangat. Inilah yang dia inginkan. Dia menyambar topinya, dan sepuluh menit kemudian dia sudah memasuki sebuah toko konveksi besar di Jalan Charles, dan dengan suaranya yang melengking tak jelas dia minta diukur untuk dibuatkan seragam.
“Mau main tentara-tentaraan, Nak?” tanya seorang pegawai bercanda.
Benjamin memerah. “Hei! Jangan urusi apa yang kumau!” dia menjawab dengan marah. “Namaku Button dan aku tinggal di Mt. Vernon Place, jadi sudah pasti aku mampu membayarnya.”
“Baiklah,” pegawai itu menjawab ragu,” kalau bukan kamu, kurasa ayahmulah yang membayarnya nanti.”
Benjamin diukur, dan sepekan kemudian seragamnya jadi. Dia kesulitan mendapatkan insinye jenderal yang tepat karena pegawai itu berkeras mengatakan kepada Benjamin bahwa emblem Y. W. C. A. yang manis tak kalah bagusnya dan lebih menyenangkan untuk permainan.
Tidak mengatakan apa-apa kepada Roscoe, suatu malam dia meninggalkan rumah dan naik kereta api menuju Kamp Mosby, di Carolina Selatan,tempat dia ditugaskan untuk mengomandani sebuah brigade infanteri.  Pada suatu hari yang panas di bulan April dia mendekati gerbang masuk kamp, membayar ongkos taksi yang membawanya dari stasiun dan berpaling kepada prajurit jaga.
“Panggil seseorang untuk mengurus bawaanku!” dia berteriak tiba-tiba.
Prajurit jaga itu memandangnya dengan cemooh. “Eh,” katanya, “mau ke mana kamu dengan seragam jenderal itu, Nak?”
Benjamin, veteran Perang Spanyol-Amerika, mengitari prajurit itu dengan mata menyala, tapi sayang sekali, suara berubah melengking.
“Perhatian!” dia berusaha membentak dengan menggelegar; dia berhenti mengambil napas—dan tiba-tiba dia melihat prajurit jaga itu merapatkan tumitnya dan memberikan hormat senjata. Benjamin menyembunyikan senyum puas,tapi ketika dia memandang sekeliling senyumnya pudar. Ternyata bukan dia yang membuat prajurit itu patuh, melainkan seorang kolonel gagah yang mendekat sambil menunggang kuda.
“Kolonel!” panggil Benjamin dengan suara melengking.
Kolonel itu mendekat, menarik tali kekang, dan dalam sikap tenang memandanginya dengan mata bersinar-sinar. “Kamu anak siapa?” tanyanya dengan ramah.
“Akan kutunjukkan padamu anak siapa aku!” jawab Benjamin dengan suara marah. “Turun dari kuda!”
Tawa kolonel itu meledak.
“Kamu mau bertemu dia, ya, jenderal?”
“Sini!” teriak Benjamin susah payah. “Baca ini.” Dia pun menyerahkan surat tugasnya kepada kolonel itu.
Kolonel itu membacanya, matanya melompat dari rongganya.
“Dari mana kamu dapat ini?” tanyanya seraya memasukkan dokumen itu ke sakunya.
“Aku mendapatkannya dari pemerintah, seperti yang akan segera kamu ketahui!”
“Ikut aku,” kata kolonel itu dengan tatapan ganjil. “Kita akan ke markas dan membicarakan ini. Ayo, ikut aku.”
Kolonel itu membalikkan badan dan menuntun kudanya menuju markas. Tak ada yang bisa dilakukan Benjamin selain ikut dengan sikap segagah mungkin—dalam hari dia menjanjikan pembalasan yang keras.
Tetapi pembalasan yang dijanjikan itu tak pernah datang. Dua hari kemudian,apa boleh buat, Roscoe anaknya datang dari Baltimore, kepanasan bercampur penat usai melakukan perjalanan tergesa-gesa, dan mengawal jenderal yang menangis itu, tanpa seragam, pulang ke rumah.

Kisah Cinta Kismine Washington dan John Unger
Mereka sedang berada di semak-semak favorit mereka, dan di antara ciuman John memperturutkan diri dalam firasat buruk romantis yang dibayangkannya menambah kemuraman hubungan mereka.
“Kadang aku pikir kita tak akan pernah menikah,” kata John sedih. “Kamu terlalu kaya, terlalu memikat. Tidak ada orang sekaya kamu yang bisa seperti gadis-gadis lain. Aku harus menikah dengan anak perempuan pedagang grosir perkakas yang cukup berada dari Omaha atau Sioux City, dan puas dengan setengah jutanya.”
“Aku pernah kenal anak perempuan seorang pedagang grosir perkakas,” ujar Kismine. “Kurasa kamu tidak akan cukup puas dengannya. Dia teman kakak perempuanku. Dia pernah berkunjung ke sini.”
“Oh, jadi kamu pernah punya tamu lain?” seru John terkejut.
Kismine tampak menyesali perkataannya.
“Oh, ya,” kata Kismine cepat-cepat, “ada beberapa.”
“Tapi apa kamu tidak—bukankah ayahmu takut mereka akan berbicara di luar?”
“Oh, sedikit, sedikit,” jawab Kismine. “Kita bicara hal yang lebih menyenangkan saja.”
Tapi rasa ingin tahu John tergugah.
“Hal yang lebih menyenangkan!” John mendesak. “Apa yang tidak menyenangkan dengan itu? Bukankah mereka gadis-gadis yang baik?”
Di luar dugaan John, Kismine mulai menangis.
“Ya—it—itu—itulah masalahnya. Aku menjadi be-begitu terikat dengan sebagian dari mereka. Jasmine juga, tapi dia terus saja mengundang mereka. Aku tidak mengerti itu.”
Sebuah kecurigaan misterius tumbuh di hati John.
“Maksudmu mereka bercerita, dan ayahmu menyuruh mereka—disingkirkan?”
“Lebih buruk dari itu,” gumam Kismine terpatah-patah. “Ayah tidak mau ambil risiko—dan Jasmine terus mengundang mereka datang, dan mereka sangat senang!”
Kismine dilanda kesedihan mendalam.
Terpaku oleh horor pemberitahuan itu, John duduk di sana dengan mulut ternganga, merasakan saraf tubuhnya bercicit-cicit seperti begitu banyak burung pipit bertengger di tulang belakangnya.
“Nah, sudah kukatakan kepadamu, padahal mestinya tidak boleh,” kata Kismine, tenang mendadak dan mengeringkan mata biru gelapnya.  
“Kamu mau bilang bahwa ayahmu menyuruh mereka dibunuh sebelum mereka pergi?”
Kismine mengangguk.
“Pada bulan Agustus biasanya—atau awal September. Tentu saja kami mendapat semua kesenangan dari mereka terlebih dahulu sebanyak yang kami bisa.”
“Alangkah sadisnya! Bagaimana—mengapa, aku pasti gila! Apakah kamu benar-benar mengakui bahwa—”
“Ya,” sela Kismine, mengangkat bahunya. “Kami tidak bisa memenjarakan mereka begitu saja seperti para penerbang itu, bisa-bisa mereka menjadi caci maki tak ada habisnya bagi kami setiap hari. Dan semua selalu dipermudah untuk Jasmine dan aku karena ayah sudah menyuruh itu dilakukan lebih cepat dari perkiraan kami. Dengan cara itu kami menghindari setiap adegan perpisahan—”
“Jadi kamu membunuh mereka! Hah!” teriak John.
“Itu dilakukan dengan sangat halus, mereka dibius saat mereka tidur—dan keluarga mereka selalu diberitahu bahwa mereka meninggal karena demam scarlet di Butte.”
“Tapi—aku tidak paham mengapa kamu terus mengundang mereka!”
“Bukan aku,” Kismine meledak. “Aku tidak pernah mengundang siapa pun. Jasmine-lah yang mengundang. Dan mereka selalu mendapatkan kegembiraan. Jasmine memberi mereka hadiah-hadiah paling bagus menjelang akhir. Mungkin aku akan menerima tamu juga—tapi aku akan menjadikannya lebih rumit. Kami tidak bisa membiarkan hal tidak diinginkan semacam itu seperti kematian menghalangi kami saat menikmati hidup. Bayangkan betapa sepinya di sini jika kami tak pernah mempunyai seorang pun. Lagi pula, ayah dan ibu sudah mengorbankan sebagian sahabat-sahabat mereka persis seperti yang kami alami.”
“Jadi,” teriak John dengan nada menuduh, “jadi kamu membiarkanku bercinta denganmu dan berpura-pura membalasnya, lalu berbicara tentang perkawinan, sementara itu tahu betul bahwa aku tidak akan keluar dari sini hidup-hidup—”

Dua petikan cerita ini diambil dari terjemahan The Curious Case of Benjamin Button & The Diamond as Big as the Ritz dalam F. Scott Fitzgerald, Kisah Ajaib Benjamin Button dan Berlian Sebesar Ritz, bisa diperoleh dengan harga Rp47.000 (empat puluh tujuh ribu rupiah), belum termasuk ongkos kirim. Hubungi 0812 2550 5941 (wa)



Comments

Popular posts from this blog

Para Pembunuh

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Kekekalan (L'Immortalite), Milan Kundera