Sekaya Croesus



Croesus sejarah uang

Croesus menduduki tahta Lydia pada 560 SM untuk memerintah kerajaan yang sudah kaya. Leluhurnya sudah membangun fondasi kokoh bagi kemakmuran kerajaan dengan memproduksi sebagian parfum dan kosmetik terbaik di dunia kuno; tetapi barang-barang itu saja tidak bakalan sanggup melambungkan Croesus ke jenjang kekayaan yang dilekatkan mitos kepada dirinya. Untuk mencapai itu, dia mengandalkan penemuan lain para leluhurnya—koin, sebuah bentuk uang yang baru dan revolusioner.
Sesuatu yang mirip uang dan sesuatu yang menyerupai pasar bisa dijumpai di Mesopotamia, Cina, Mesir, dan banyak tempat di belahan lain dunia, tetapi tak satu pun yang benar-benar menggunakan koin sebelum munculnya Lydia dan pencetakan koin pertama antara 640 dan 630 SM. Kegeniusan raja-raja Lydia terlihat dalam kesadaran mereka akan perlunya batangan-batangan sangat kecil dan mudah diangkut yang nilainya tak lebih dari beberapa hari kerja atau sebagian kecil dari panenan petani. Dengan menciptakan batangan-batangan kecil dalam ukuran dan berat yang dibakukan tersebut, dan dengan membubuhkan sebuah emblem pada batangan yang mengukuhkan nilainya bahkan bagi orang yang buta huruf pun, raja-raja Lydia dengan cepat mengembangkan peluang-peluang bagi usaha perdagangan.
Bangsa Lydia membuat koin pertama dari elektrum, campuran emas dan perak yang terjadi secara alamiah. Mereka memotong-motong elektrum menjadi bulatan-bulatan oval yang beberapa kali lebih tebal daripada koin modern, atau kira-kira seukuran ruas akhir ibu jari orang dewasa. Guna menjamin keautentikannya, raja memerintahkan tiap koin dicap dengan emblem kepala singa. Pengecapan itu juga berfungsi meratakan bulatan, mengawali transisi dari koin bungkal oval menjadi sekeping koin datar melingkar.
Dengan menjadikan bungkalan itu berbobot sama dan dengan demikian berukuran kurang lebih sama, raja melenyapkan salah satu langkah paling memakan waktu dalam jual beli: keharusan menimbang emas setiap kali traksaksi dilakukan. Kini pedagang bisa menaksir nilainya dari keterangan yang diberikan, atau cukup dengan menghitung jumlah koin. Standardisasi demikian sangat membatasi peluang terjadinya kecurangan menyangkut jumlah serta kualitas emas dan perak dalam jual beli. Orang tidak perlu menjadi ahli dalam menangani timbangan atau dalam menilai kemurnian logam untuk membeli sekeranjang gandum, sepasang sandal, atau satu amphora minyak zaitun. Penggunaan koin yang sudah ditimbang dan dicap di bengkel kerajaan membuka jalan bagi dilakukannya perdagangan dengan cara jauh lebih cepat dan jujur, selain memberi kesempatan bagi rakyat untuk ikut serta sekalipun mereka tidak punya timbangan. Perdagangan koin membuka dimensi-dimensi baru bagi segmen baru penduduk.
Bukan dari penaklukan, kekayaan Croesus dan para pendahulunya datang dari perniagaan. Semasa memerintah (560–546 SM), Croesus menciptakan koin-koin baru emas dan perak bukannya elektrum. Menggunakan koin-koin yang baru diciptakan sebagai medium jual beli yang dibakukan, para pedagang Lydia memperjualbelikan kebutuhan hidup sehari-hari—padi-padian, minyak, bir, anggur, kulit, tembikar, dan kayu bakar—maupun barang-barang mewah seperti parfum, kosmetik, perhiasan, alat musik, keramik mengkilap, arca perunggu, mohair, kain jingga, pualam, dan gading.
Keanekaragaman dan melimpahnya barang dagangan dengan cepat memunculkan inovasi lain: pasar eceran. Tidak membiarkan pembeli bersusah payah mendatangi rumah-rumah yang mungkin punya minyak atau perhiasan yang hendak dijual, raja-raja Sardis membangun sebuah sistem inovatif baru di mana siapa saja, seorang asing sekalipun, yang punya sesuatu untuk dijual bisa mendatangi pasar pusat. Toko-toko kecil berderet-deret di pasar, tiap pedagang mengkhususkan diri pada barang dagangan tertentu. Ada yang menjual daging, ada pula yang menyediakan padi-padian. Seorang pedagang menjual perhiasan, pedagang lainnya menjual kain. Yang satu menjual alat musik, lainnya menjual belanga. Sistem pasar ini dimulai pada penghabisan abad ketujuh SM, tetapi penerus-penerusnya bisa dilihat dengan jelas di agora Yunani generasi berikutnya, di kawasan pasar abad pertengahan Eropa utara, dan di mal-mal perbelanjaan pinggiran kota Amerika Serikat kontemporer.
Pemasaran menjadi sedemikian penting bagi bangsa Lydia sampai-sampai Herodotus menyebut mereka bangsa kapeloi, yang bermakna “pedagang” atau “penjual” tetapi dengan konotasi agak negatif yang dekat-dekat dengan pengasong atau “penjaja barang bajakan”. Herodotus memandang bangsa Lydia sudah menjadi bangsa pemilik toko. Mereka mengubah sekadar jual beli dan barter menjadi perdagangan yang sesungguhnya.
Revolusi perdagangan di kota Sardis memicu perubahan luas di seluruh masyarakat Lydia. Diiringi ketakjuban luar biasa Herodotus menuturkan tentang adat istiadat Lydia yang membolehkan wanita memilih suami sendiri. Berkat pengumpulan koin, kaum wanita menjadi bebas menentukan mahar mereka sendiri dan dengan begitu punya kebebasan lebih besar dalam memilih-milih suami.
Jasa-jasa baru dengan gesit memasuki pasar. Hampir tidak ada toko yang dibuka untuk pertama kali tanpa didatangi orang-orang yang menawarkan sebuah rumah yang mengkhususkan diri dalam jasa seksual bagi banyak pria yang terlibat dalam perdagangan. Bordil pertama yang dikenal dibangun di Sardis kuno. Untuk mengumpulkan mahar mereka sendiri, konon banyak wanita lajang Sardis bekerja di rumah-rumah bordil untuk waktu yang cukup lama demi mendapatkan uang yang diperlukan bagi model perkawinan yang mereka ingini.
Perjudian segera menyusul, dan bangsa Lydia dicatat bukan hanya menemukan koin saja melainkan juga dadu. Penggalian arkeologis secara meyakinkan menunjukkan bahwa judi dan permainan untung-untungan adu jari tumbuh subur di area seputar pasar.
Perdagangan menciptakan kekayaan Croesus yang mencengangkan, tetapi dia dan keluarga-keluarga elite Lydia menghambur-hamburkan kekayaan. Mereka memupuk nafsu besar pada barang-barang mewah, dan mereka terperosok dalam permainan konsumsi mencolok yang kian menanjak. Misalnya, setiap keluarga berlomba membangun kuburan yang lebih besar daripada keluarga-keluarga di sekitar mereka. Mereka mempercantik kuburan-kuburan dengan gading dan marmer berlebihan, mereka juga menyelenggarakan pemakaman bertele-tele, menguburkan kerabat yang meninggal dengan ikat kepala, gelang dan cincin emas. Bukannya menghasilkan lebih banyak kekayaan lagi, mereka malah menghancurkan kekayaan yang dihimpun leluhur mereka. Golongan elite Sardis menggunakan kekayaan baru mereka untuk konsumsi bukan untuk investasi produksi.
Ujungnya, Croesus mencurahkan kekayaannya ke dalam dua sumur tanpa dasar konsumsi gila-gilaan yang begitu lazim di kalangan raja-raja: bangunan dan tentara. Dia menaklukkan dan membangun. Croesus menggunakan limpahan kekayaannya untuk menaklukkan hampir semua kota-kota Yunani di Asia Kecil, termasuk Efesus yang megah, yang kemudian dia bangun kembali dengan gaya lebih megah lagi. Meski dia orang Lydia, bukan Yunani, Croesus memupuk kecintaan mendalam bagi kebudayaan Yunani, termasuk bahasa dan agamanya. Karena Croesus bisa dikatakan seorang Hellenofil, dia memerintah kota-kota Yunani dengan lunak.
Dalam sebuah episode termasyhur sejarah Yunani, Croesus mendatangi peramal besar Yunani Apollo untuk menanyakan apa yang bakal terjadi sekiranya dia berperang melawan Persia. Peramal itu mengatakan kalau Croesus menyerang Persia yang perkasa, sebuah kerajaan besar akan roboh. Croesus menanggapi ramalan itu sebagai sesuatu yang menguntungkan, dia pun menggempur Persia. Dalam peperangan dahsyat pada 547–546 SM kerajaan besar yang jatuh itu adalah kerajaan besar merkantil Lydia. Menggilas tentara bayaran Croesus dengan mudahnya, Cyrus lantas berderap menuju ibu kota Lydia, Sardis.
Sewaktu bala tentara Persia menjarah dan membakar kota kaya Sardis, Cyrus mengejek Croesus dengan memberitahukan apa yang sedang dilakukan tentaranya terhadap kota dan kekayaan Croesus. Croesus menjawab: “Bukan milikku lagi. Tidak ada yang kumiliki sekarang. Kotamulah yang sedang mereka hancurkan dan kekayaanmu yang sedang mereka jarah.”
Dengan ditaklukkannya Lydia oleh Cyrus, kekuasaan Croesus berakhir, dinasti Mermnadae menemui ajal, dan kerajaan Lydia menghilang dari lembaran sejarah. Sekalipun kerajaan megah Lydia berikut para penguasanya tidak pernah bangkit lagi, pengaruh kerajaan mungil dan relatif tak dikenal itu sungguh tak sebanding dengan ukuran geografisnya dan perannya yang relatif kecil dalam sejarah. Banyak bangsa-bangsa tetangga yang mengadopsi dengan cepat praktik pembuatan koin Lydia, dan sebuah revolusi perdagangan menyebar di seluruh dunia Mediterania, utamanya di tetangga terdekat Lydia, Yunani.

Dipetik dari Jack Weatherford, The History of Money, Crown Publishers Inc, New York, 1997, diterjemahkan oleh Noor Cholis dengan judul Sejarah Uang, PT Bentang Pustaka, Yogyakarta (2005)


Comments

Popular posts from this blog

Para Pembunuh

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Kekekalan (L'Immortalite), Milan Kundera