Menjembatani Dua Dunia (2)


Perang Besar, Turki, Inggris, Perancis, Perang Krimea, Islam, Kristen
Gai Eaton's Islam and The Destiny of Man
Jalan saya panjang dan sulit. Saya lahir di Swis dari orang tua Inggris, anak perang. Saat saya lahir perjanjian perdamaian final yang mengakhiri Perang Dunia Pertama, perjanjian dengan Turki, ditandatangi di Lausanne. Badai dahsyat yang mengubah wajah dunia untuk sesaat kelelahan sendiri, tetapi efeknya tampak jelas di mana-mana. Keyakinan-keyakinan lama dan moralitas yang ditegakkan di atasnya tersungkur tak berdaya. Tetapi latar belakang keluarga saya berlumur darah konflik. Ayah saya, sudah 67 tahun saat saya lahir, adalah anak perang Krimea; ayahnya, kakek saya, lahir semasa perang melawan Napoleon Bonaparte. Keduanya tentara.
Perang terakhir ini, disebut “Perang Besar” waktu itu, memorak-porandakan keluarga. Ibu saya sembilan bersaudara, tiga dari mereka laki-laki. Ketiga anak lelaki itu tewas, begitu juga para pemuda yang mungkin menikahi saudari-saudari mereka. Kalau saja situasinya berbeda, orang tua ibu saya mungkin punya banyak sekali cucu. Mereka hanya punya satu cucu: saya. Pengalaman normal anak yang dikelilingi saudara laki-laki, saudara perempuan dan sepupu tidak saya jumpai dan, hingga saya pertama kali masuk sekolah pada usia sembilan tahun, saya jarang-jarang bertemu anak lain. Teman-teman saya selalu orang dewasa, dan mereka jarang berbicara selain tentang Perang Besar, seolah-olah dibayangi kenangan tak tertanggungkan yang tidak cocok dengan skema normal mana pun. Mereka membicarakan kematian mendadak, yang mengintai di sekitar tikungan depan, dan mendengarkan perbincangan itu, saya tidak ragu bahwa, pada saatnya nanti, saya pun akan dibunuh orang Jerman. Tampaknya peperangan merupakan kondisi alamiah umat manusia dan tak ada keamanan di dunia ini. Kalau memang begitu, saya harus meringkas seumur hidup menjadi beberapa tahun. Saya tak akan lama di sini.
Sungguhpun demikian, setidak-tidaknya saya masih punya tanah air. Nyatanya saya tidak punya. Meski lahir di Swiss, daya bukan orang Swiss. Ibu saya besar di Perancis dan mencintai orang Perancis di atas segalanya, tetapi saya bukan orang Perancis. Orang Inggris? Saya tak pernah merasa begitu. Ibu tak lelah-lelahnya mengingatkan saya bahwa orang Inggris itu dingin, bodoh, tidak seksi, tanpa kecerdasan dan tanpa budaya. Saya tidak mau seperti mereka. Jadi, kalau ada, di mana tanah air saya? Tampaknya, merenung ke belakang, masa kanak-kanak ganjil itu adalah persiapan yang bagus untuk memeluk Islam. Di mana pun dia lahir dan apa pun rasnya, tanah air Muslim adalah Darul Islam, Negeri Islam. Paspornya, di dunia ini dan akhirat kelak, adalah Pernyataan Iman sederhana, La ilaha illa ‘Llah. Dia tidak mengharapkan—atau seharusnya tidak mengharapkan—keamanan atau stabilitas di dunia ini dan selalu mengingat fakta bahwa kematian bisa menjemputnya besok. Dia tak punya akar kokoh di dunia rapuh ini. Akarnya di atas sana pada Itu yang mencukupi sendiri.
Bagaimana dengan agama Kristen? Kalaupun punya suatu keyakinan religius, ayah saya tidak pernah mengungkapkannya, meskipun—di ranjang kematiannya, mendekati 90 tahun—dia bertanya, “Adakah tempat yang menyenangkan di sana?” Pengasuhan saya sepenuhnya diserahkan pada ibu saya. Secara pemikiran dia bukan, saya rasa, tidak religius, tetapi dia tidak dibesarkan dalam kerangka religius dan membenci apa yang umumnya disebut agama terorganisasi. Sikapnya jelas dalam satu hal: anaknya harus dibiarkan berpikir sendiri dan jangan dipaksa menerima pendapat tangan kedua. Ibu bertekad melindungi saya dari agama “yang dijejalkan ke mulut saya”. Dia memperingatkan deretan pengasuh yang datang dan pergi di rumah dan menemani kami ke Perancis ketika liburan bahwa, kalau mereka berani menyebut-nyebut agama kepada saya, mereka akan langsung dipecat. Ketika umur saya lima atau enam tahun, bagaimanapun juga, perintahnya diabaikan oleh seorang perempuan muda yang ambisinya adalah menjadi misionaris di Arabia, menyelamatkan jiwa orang-orang bodoh yang—katanya kepada saya—tersesat dalam keyakinan pagan yang disebut “moslemism”. Itulah kali yang pertama saya mendengar tentang Arabia. Lalu dia menunjukkan pada saya peta negeri misterius itu.
Suatu hari dia mengajak saya berjalan-jalan melewati Penjara Wandsworth (kami tinggal di Wandsworth Common). Saya pasti melakukan kesalahan entah apa karena dia mencengkeram lengan saya dengan kasar, menunjukkan pada saya gerbang muram penjara dan berkata: “Ada orang berambut merah di langit yang akan mengurungmu di situ kalau kamu nakal!” Itulah pertama kalinya saya mendengar “Tuhan”, dan saya tidak suka yang saya dengar. Karena suatu alasan saya takut pada orang berambut merah (pengasuh saya pasti tahu itu), dan sosok ajaib ini—tinggal di atas awan dan sibuk menghukum anak-anak nakal—terdengar sangat menakutkan. Saya bertanya kepada ibu saya tentang orang di langit itu begitu kami sampai di rumah. Saya tidak ingat apa yang dikatakan Ibu untuk menenangkan saya, tetapi gadis itu seketika dipecat.
Akhirnya, terlambat jauh dibanding kebanyakan anak-anak, saya dimasukkan ke sekolah atau serangkaian sekolah di Inggris dan Swiss sebelum sampai ke, pada usia 14, Charterhouse. Dengan kebaktian di kapel sekolah dan pelajaran “Alkitab” tentunya agama Kristen berpengaruh pada saya. Begitukah? Agama itu tidak berpengaruh apa-apa pada saya maupun teman-teman saya. Agama tidak bisa bertahan, utuh dan efektif, ketika dibatasi pada satu segi kehidupan dan pendidikan. Agama adalah soal semuanya atau tidak sama sekali; ia harus mengalahkan semua studi profan atau sebaliknya. Sekali atau dua kali sepekan kami mengikuti pelajaran tentang Bibel, persis seperti kami diajar dalam mata pelajaran lain. Agama, diasumsikan, tak ada sangkut pautnya dengan studi-studi lebih penting yang membentuk tulang punggung pendidikan kami. Tuhan tidak ikut campur dalam peristiwa bersejarah, Dia tidak menentukan fenomena-fenomena yang kami pelajari dalam pelajaran sains, Dia tidak memainkan peran apa pun dalam peristiwa-peristiwa mutakhir, dan dunia, sepenuhnya diatur oleh kebetulan dan kekuatan-kekuatan material, harus dipahami tanpa rujukan pada apa saja yang mungkin—atau mungkin juga tidak—ada di luar cakrawalanya. Tuhan adalah surplus dari persyaratan.
Jika pendidikan ini netral sejauh menyangkut agama, mungkin tidak ada bahaya apa-apa. Atau setidak-tidaknya begitu. Tetapi ia sama sekali tidak netral. Dalam setiap pelajaran kami dijumpai isyarat bahwa evolusi manusia (apa pun itu artinya) adalah perjalanan dari kegelapan “takhayul” menuju benderang “nalar”. Dalam pelajaran sains kami diberi tahu bahwa “pengetahuan” hanya bisa maju setelah melalui pertempuran terus-menerus melawan “kekolotan” agama. Sejarah mengajarkan hal yang persis sama: kemanusiaan perlahan-lahan membebaskan diri dari “fanatisme” agama dan merana, abad demi abad, karena absurditas perang agama. Latin, yang wajib kami pelajari untuk meningkatkan pikiran kami, menerangi absurditas dewa-dewa Romawi dan, dengan sendirinya, semua keyakinan pada ihwal supranatural. Ditimbang dengan bias kental ini, pelajaran Bibel kami nyaris tak seberat bulu.
Tetapi saya ingin tahu makna eksistensi saya sendiri. Hanya mereka yang, pada satu masa dalam hidup mereka, dirasuki kebutuhan semacam itu yang bisa menduga-duga intensitasnya, sebanding dengan intensitas kelaparan fisik atau hasrat seksual. Saya tidak tahu bagaimana harus melangkah kecuali saya paham ke mana saya pergi dan mengapa. Saya tidak bisa melakukan apa pun kecuali saya paham peran apa yang saya mainkan dalam skenario. Yang saya tahu adalah saya tidak tahu apa pun—tidak ada yang, katakanlah, penting—dan saya dilumpuhkan oleh ketidaktahuan saya seolah-olah terperangkap tak berdaya dalam kabut tebal.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)