Menjembatani Dua Dunia (1)


Islam, Christendom, New World Order, Perang Dingin
Ada satu faktor konstan dalam sejarah manusia sepanjang tiga belas abad terakhir. Itulah konfrontasi antara Islam dan apa yang dahulu disebut Dunia Kristen yang kini menjadi Dunia Barat sekuler. Selama periode relatif singkat imperialisme Eropa rivalitas antara dua Iman, dua kebudayaan, itu bisa dilupakan. Ketika “Perang Dingin” mendominasi percaturan politik internasional rivalitas dua iman itu kecil saja konsekuensinya. Kini rivalitas berurat mengakar itu muncul kembali ke permukaan, yang memang sudah disuratkan begitu cepat atau lambat karena Islam merasa punya misi universal sama halnya dengan peradaban Barat. Moto para sultan Utsmani “Satu Dunia, Satu Iman, Satu Penguasa” sekarang digaungkan dalam wacana “Satu Dunia” atau “Tata Dunia Baru” (New World Order). Tetapi dunia yang mana? Apakah hidup berdampingan yang damai dan bermanfaat itu mungkin? Tentunya ini bergantung pada pemahaman timbal balik dan, karena keputusan tergantung pada kekuasaan yang melaksanakannya, di sisi Barat perbatasanlah pemahaman itu paling mendasar.
Orang-orang Eropa dan Amerika sedemikian meyakini superioritas budaya sekuler liberal mereka sehingga, dan ini wajar, sulit bagi mereka berempati dengan sebuah sistem yang berbeda secara mendasar, padahal pemahaman mensyaratkan kadar tertentu empati. Mungkin saja mereka bertanya: Buat apa kami repot-repot? Jawabannya, saya rasa, adalah perdamaian dan tatanan yang baik dunia kita pada abad kedua puluh satu bergantung pada pemahaman tersebut. Saat ini umat Islam memang lemah, kebingungan dan terpecah belah. Tetapi tidak akan selamanya begitu, dan sudah tiba waktunya bagi warga, sementara ini, peradaban dominan untuk menempuh upaya-upaya intelektual dan imajinatif yang diperlukan dalam meninjau nasib dunia dan manusia dengan perspektif berbeda dari perspektif yang mereka terima begitu saja.
Buku-buku yang ditulis para Islamis akademisi memang bermanfaat, tetapi jarang menyodorkan wawasan bagi pembaca apa artinya menjadi Muslim. Pekerjaan ini sebaiknya diemban mereka yang, bisa dibilang, menjadi bagian kedua dunia itu dan sama-sama kerasan mendiami keduanya. Orang Eropa dan Amerika yang sampai pada Islam dengan cara ini berdiri dengan dua kaki di kedua sisi perbatasan paling tua di dunia ini, perbatasan yang membelah dua wilayah yang saling tidak memahami, dan bisa dikatakan orang itu bolak-balik di antara dua tata surya berbeda. Mereka yang berdiri di perbatasan itu merasa berkewajiban bertindak sebagai juru bahasa di antara dua bahasa berlainan dan harus fasih berbicara dalam kedua bahasa tersebut. Muslim Barat tidak mengubah identitasnya, tetapi dia mengubah arahnya, orientasinya. Dia diwarnai dengan budaya tempat dia dilahirkan dan dibentuk; dia mengajukan pertanyaan yang diajukan kebudayaannya, dan dia menyimpan kesan tragedi serta ambiguitas dunia yang merasuki tradisi Eropa tetapi asing bagi Muslim tradisional. Dia masih dibayangi hantu masa lalu Eropa, dan suara-suara leluhur yang familier bagi orang sebangsanya tak bisa dibungkam sungguhpun dia sudah menjauhkan diri.
Tujuan saya menulis Islam and the Destiny of Man adalah menawarkan beberapa kunci bagi pemahaman dari sudut pandang seorang Barat yang juga Muslim dan karena itu mempunyai kesadaran lebih tajam daripada “Muslim sejak lahir” mana pun tentang wilayah kesalahpahaman yang menimbulkan persoalan hubungan antara kedua kebudayaan tersebut. Bersamaan dengan itu buku ini mencerminkan pengalaman dan pemahaman pribadi saya tentang Iman pilihan saya ini. Pertanyaan tentang bagaimana akhirnya saya memeluk Islam, dengan demikian, menjadi relevan, dan jawaban bagi pertanyaan ini mungkin bisa lebih menjelaskan apa yang akan saya sampaikan nanti.
Belum lama ini saya diminta oleh rekan sesama Muslim saya (yang ingin namanya tidak disebutkan) untuk menulis sekitar 20 halaman tentang apa yang dia sebut “Odyssey” saya. Untuk menjelaskan mengapa seseorang memeluk suatu agama jelas memerlukan sebuah esai autobirografis jika pertanyaan tersebut dikehendaki memberi jawaban memadai. Perjalanan panjang dari tidak percaya menuju iman selalu merupakan perjalanan menempuh sebuah kehidupan individu, dan saya senang memperoleh kesempatan merunut tahap-tahap perjalanan ini secara agak terperinci. Saya sudah lelah berusaha memberi jawaban-jawaban dangkal terhadap pertanyaan yang tak terbilang seringnya diajukan kepada saya selama bertahun-tahun.
Pihak penerbit menyarankan agar esai ringkas saya disisipkan ke edisi baru dan direvisi Islam and the Destiny of Man. Saran yang masuk akal bagi saya. Kebanyakan pembaca cenderung meremehkan unsur-unsur personal yang mendasari naskah setiap buku, termasuk karya-karya nonfiksi, dan saya sendiri selalu merasa akan memahami lebih baik apa pun yang saya baca jika saya tahu lebih banyak tentang penulisnya. Penulis atau, bisa juga, pembicara yang mengaku menawarkan penjelasan sepenuhnya subjektif tentang bahasannya adalah, biar bagaimanapun, individu unik yang dirasuki hasrat untuk berkomunikasi dengan individu lain; apa pun yang kita katakan atau lakukan mencerminkan siapa kita dan mengisahkan sejarah personal kita.
Pada tahun-tahun belakangan makin banyak saja pria dan wanita Eropa dan Amerika Serikat yang masuk Islam, dan merebak rasa ingin tahu apa yang memotivasi mereka. Sebuah artikel di sebuah surat kabar Minggu membandingkan saya dengan Kim Philby yang tenar itu dan para “komunis Cambridge” 1930-an lainnya yang memberikan kesetian mereka kepada kredo asing. Saya tidak bisa menerima perbandingan itu kecuali sejauh kekecewaan terhadap peradaban Barat sering merupakan salah satu unsur dalam motivasi mereka yang melihat Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi budaya di mana mereka dibesarkan. Tetapi tidak ada penjelasan sederhana bagi fenomena ini. Pada tahun 1986 dua jurnalis muda di Paris, satu berkebangsaan Perancis dan satunya Maroko, menerbitkan sebuah buku tentang kepindahan ke Islam di Barat.1 Buku ini adalah hasil riset ekstensif dan banyak sekali wawancara yang dilakukan di Eropa maupun Amerika Serikat. Jika ada sebuah pola dalam kepindahan iman itu dan dimungkinkan untuk mengeneralisasi motivasi mereka, buku ini pasti menyediakan kunci. Nyatanya buku tersebut tidak memperlihatkan adanya pola yang jelas dan kepindahan itu sama banyak dan beragamnya dengan individu yang bersangkutan.
Kendati demikian tampak bahwa mayoritas intelektual, dalam arti paling luas pengertian ini, masuk Islam melalui dimensi “mistik” agama ini, Sufisme. Kenyataan ini adalah sesuatu yang mengherankan bagi sebagian Muslim dan mengejutkan bagi sebagian yang lainnya. Bagi mereka hal ini tak ubahnya ingin sampai puncak gunung tanpa melewati dataran rendah atau, sederhananya, mencoba lari sebelum kita bisa berjalan. Ada dua alasan, saya rasa, bagi orientasi ini. Pertama, intelektual Eropa atau Amerika, ketika dia mulai meragukan keraguan-keraguannya sendiri dan merasa membutuhkan sebuah jalan iman dan kepastian, tidak begitu berminat pada ibadah lahiriah dan seperangkat aturan. Yang lebih menarik bagi mereka adalah pencarian jalan spiritual melalui kesadaran personal tentang Kehadiran ilahiah. Kedua, intelektual adalah, sesuai sifatnya, seseorang yang mengajukan pertanyaan dan tidak siap menerima jawaban mudah. Dalam tulisan-tulisan para Guru Sufi besar masa lalu dia menjumpai jawaban-jawaban yang memuaskannya dan menyelesaikan problem-problem yang selalu dia asumsikan tak terpecahkan. Tetapi apa pun motif bagi kepindahan iman itu—atau yang menurutnya itu motifnya—tampak jelas bahwa Tuhan merancang bagi tiap laki-laki dan perempuan jalan yang tak pernah sama, meski semua jalan itu, ada yang mulus ada yang terjal dan berliku, menuju akhir yang sama, kepulangan yang sama.


1 D’une Foi l’Autre: Les conversions a l’islam en Occident’: Lisbeth Rocher/Fatima Cherqaoui (Editions du Seuil)


Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)