Kereta Kehidupan
![]() |
Train of Life |
Ingat kepada Tuhan:Renungan tentang Islam.
Ditujukan bagi muallaf dan khalayak pembaca Barat pada umumnya, buku
ini mengungkapkan banyak hal penting bagi umat Islam yang—meminjam bahasa
penulis ternama Seyyed Hossein Nasr dalam Pendahuluan—“terperangkap dalam
labirin ide-ide dan tren modern.” Gai Eaton sangat memenuhi syarat untuk
menulis sebuah buku tentang Islam yang menawarkan perspektif segar untuk
melihat segala problem yang menghadang siapa saja yang membutuhkan dimensi
spiritual dalam hidup tetapi, mengingat kondisi masyarakat mutakhir dan apa
yang disebut Gai Eaton sebagai scientism, tergoda untuk mengelak dari
pentingnya iman dan disiplin.
Gai Eaton menghabiskan masa kecilnya di Mesir, di mana dia masuk Islam
sekitar lima puluh tahun silam. Di kemudian hari dia menjadi konsultan Pusat
Kebudayaan Islam di London dan dikenal luas sebagai penulis serta penyaji
masalah keislaman di media elektronik. Mula-mula namanya dikenal berkat bukunya
King of the Castle yang sarat argumen telak mendukung sikap religius
terhadap hidup—tidak mesti hidup seorang Islam—berhadapan dengan pendekatan
humanis yang kian populer. Dalam karya debutan itu dia memperlihatkan diri
sebagai penulis yang mampu menggarap isu-isu penting dan serius tanpa menjadi
menjemukan dan menggurui. Kualitas demikian jugalah yang menjadikan Islam
and Destiny of Man, sebuah buku yang ditulis dari sudut pandang sangat
Islam, sebagai bacaan wajib bagi peminat kajian Islam.
Masing-masing empat belas bab dalam buku terakhirnya dibuka dengan
ayat-ayat Qur’an, sementara isi babnya sarat rujukan pada Qur’an dan Hadits.
Sebagai orang yang hidupnya begitu lekat dengan iman seorang Muslim, tentu dia
sangat akrab dengan Kitab Suci. Berkenaan dengan hal ini perlu diketahui bahwa
beberapa tahun silam, kami bertemu di sebuah studio rekaman kenamaan di Athena
untuk menggarap rekaman dua bahasa Al Qur’an al-Karim utuh. Prosesnya: seorang qari’
Mesir membaca beberapa ayat, lalu ayat-ayat itu dibaca Gai Eaton dalam bahasa
Inggris yang diterjemahkan Marmaduke Pitckthall. Rekaman unik tersebut
disponsori oleh Syaikh Sultan, penguasa Syarjah.
Gai Eaton hidup dalam tradisi para penulis seperti René Guenon, Frithjof
Schuon, Titus Burckhardt dan Martin Lings, para pemikir Barat yang menggeluti
kegamangan serius tentang nilai-nilai yang dianut membuta oleh peradaban tempat
mereka hidup.
Tepat di awal bukunya Gai Eaton mengatakan bahwa dia dibesarkan sebagai
seorang agnostik; dia lantas membuat simpulan menarik bahwa cuma mereka yang
dengan satu dan lain cara melepaskan diri dari identitas Eropa atau Amerika
yang bisa mengerti betapa menyesakkan peradaban itu. Dia membahas keyakinan
buta mutakhir pada “progres”. Dia mengungkapkan betapa budaya Barat menatap ke
depan dan menampik sebagian besar masa lalu. Sedangkan Islam justru cenderung
melihat ke belakang yang, dalam soal spiritualitas, tak tertandingi
keunggulannya oleh masa kini. Bagi Barat kemajuan tentu saja adalah kemajuan
teknologi: sarana komunikasi lebih canggih, mobil lebih andal dan persenjataan
lebih ampuh. Dari semua yang disebut capaian Barat—peningkatan harapan hidup,
kesehatan lebih baik, dll.—pada akhirnya, di mata Gai Eaton, tidak berarti
apa-apa. Dia menyitir pandangan filsuf Katolik Gustave Thibon yang
membandingkan peradaban modern dengan sebuah kereta api yang melaju kencang
menuju dasar jurang. Apa lantas menyelesaikan persoalan kalau kursi kereta
terus menerus dimodifikasi agar lebih nyaman ditambah AC yang lebih sejuk? Bagi
Muslim sejati, kata Gai Eaton, hanya ada satu parameter untuk mengukur
perubahan—meningkatkan ketakwaan atau
tidak? Kebanyakan pembaca boleh jadi menganggap itu adalah sikap
ekstrem, tetapi pada sikap inilah penulis berpijak di sepanjang buku. Dia
enggan, seperti kebanyakan orang yang menulis tentang agama, berkompromi dengan
pihak-pihak yang tidak sepaham dengan pandangannya. Dia tidak takut merambah
wilayah panas seperti Darwinisme dan teori evolusi, yang dia katakan sudah
merusak banyak umat Kristen. Agama samawi, tandas Gai Eaton, tidak bisa hidup
berdampingan dengan scientism.
Tidak itu saja, Gai Eaton juga tidak gentar menyoal “pusaka keramat”
seperti demokrasi. Demokrasi diusung Barat sebagai lambang kedewasaan dan [oleh
sebab itu] keunggulan politik. Era modern “rakyat” membenci elitisme: sekarang
yang berjaya adalah kuantitas, bukan kualitas. Gai Eaton berpendapat bawah era
modern sudah tidak mau menghormati elite dan mencoba bangkit dari mediokritas
menuju sesuatu yang lebih baik. Zaman modern mencari pahlawan di kalangan awam,
dan Gai Eaton membahas panjang lebar reaksi populer luar biasa terhadap
kematian Putri Diana berikut citra sang putri yang diciptakan oleh media:
“sebuah ikon yang dibangun dari kecengengan yang menjangkiti begitu banyak orang
di zaman ini.” Sementara itu dunia Islam sedang dirambati penyebaran tak
terbendung Weternesiasi yang produk-produknya membawa, laksana infeksi tak
kasatmata, keyakinan, nilai, dan ilusi Barat.
Di Barat agama tradisional makin sering ditampik. Salah satu alasan bagi
penolakan itu adalah pluralitas agama, terlebih bila menyangkut agama samawi.
Gai Eaton menyampaikan situasi itu dengan pas dari sudut pandang orang skeptis
zaman kita: Karena semua agama, dengan segala kontradiksi nyata mereka, tidak
benar, maka semua pasti salah. Meski begitu, penulis kita ini juga tidak
berusaha mengelak menjawab persoalan yang nampaknya tidak punya jawaban
memuaskan itu.
Bagi
saya bab paling menarik dalam bukunya adalah “Earth’s Complaint”. Dalam bab itu
ia menyitir ayat Al Qur’an: “Janganlah membuat kerusakan di muka bumi setelah
disempurnakannya.” Al Qur’an sarat dengan rujukan pada alam, tetapi peradaban
kita malah makin menjauhkan kita dari ciptaan Tuhan. Gai Eaton mengatakan bahwa
ada anak-anak di Eropa dan Amerika yang tidak tahu bahwa daging kalengan di
toko swalayan tadinya adalah daging hewan hidup.
Tidak ada agama yang memberi tekanan lebih besar daripada Islam dalam
perlakuan yang baik pada hewan. Gai Eaton menyampaikan banyak contoh tentang
perbuatan baik Nabi kepada semua bintang, bahkan kepada anjing yang najis dan
keledai yang tampangnya dungu itu. Sayangnya teladan Nabi ini sudah jarang
diikuti di dunia Islam.
Bab “Cityscape” mengulas tentang bagaimana spiritualitas menjadi semakin
tidak penting dalam kehidupan keseharian kita seperti di, misalnya, kota-kota
“duniawi” di mana sebagian besar orang hidup, berdesakan namun tiada henti
berusaha untuk tetap asing satu sama lain.
Mengingat Tuhan mempunyai premis dasar keyakinan, sebagaimana disampaikan
Seyyed Hossein Nasr dalam pendahuluannya, “bahwa alfa dan omega kehidupan
haruslah mengingat Allah dalam semua pengalaman berlainan yang membentuk
perjalanan singkat yang di sini kita sebut hidup, tetapi sejatinya itu hanyalah
pendahuluan bagi kehidupan kekal hakiki ...”
Wajar jika bagi kebanyakan pembaca buku ini menggelisahkan, walaupun
ditulis dengan amat menawan, diwarnai selera humor penulisnya, bertaburan
kutipan dan anekdot cerdas yang membuat buku ini bermanfaat bagi kita yang,
suka atau tidak, mengakui bahwa kita adalah penumpang kereta api express
Gustave Thibon dan sangat penasaran di mana perjalanan akan berakhir.
Charles Le Gai Eaton.
ABC International Group, Inc., 2000, h. 241.
Comments
Post a Comment