Kereta Kehidupan

Kereta Kehidupan, Charles Le gai Eaton
Train of Life

Ingat kepada Tuhan:Renungan tentang Islam.
Ditujukan bagi muallaf dan khalayak pembaca Barat pada umumnya, buku ini mengungkapkan banyak hal penting bagi umat Islam yang—meminjam bahasa penulis ternama Seyyed Hossein Nasr dalam Pendahuluan—“terperangkap dalam labirin ide-ide dan tren modern.” Gai Eaton sangat memenuhi syarat untuk menulis sebuah buku tentang Islam yang menawarkan perspektif segar untuk melihat segala problem yang menghadang siapa saja yang membutuhkan dimensi spiritual dalam hidup tetapi, mengingat kondisi masyarakat mutakhir dan apa yang disebut Gai Eaton sebagai scientism, tergoda untuk mengelak dari pentingnya iman dan disiplin.
Gai Eaton menghabiskan masa kecilnya di Mesir, di mana dia masuk Islam sekitar lima puluh tahun silam. Di kemudian hari dia menjadi konsultan Pusat Kebudayaan Islam di London dan dikenal luas sebagai penulis serta penyaji masalah keislaman di media elektronik. Mula-mula namanya dikenal berkat bukunya King of the Castle yang sarat argumen telak mendukung sikap religius terhadap hidup—tidak mesti hidup seorang Islam—berhadapan dengan pendekatan humanis yang kian populer. Dalam karya debutan itu dia memperlihatkan diri sebagai penulis yang mampu menggarap isu-isu penting dan serius tanpa menjadi menjemukan dan menggurui. Kualitas demikian jugalah yang menjadikan Islam and Destiny of Man, sebuah buku yang ditulis dari sudut pandang sangat Islam, sebagai bacaan wajib bagi peminat kajian Islam.
Masing-masing empat belas bab dalam buku terakhirnya dibuka dengan ayat-ayat Qur’an, sementara isi babnya sarat rujukan pada Qur’an dan Hadits. Sebagai orang yang hidupnya begitu lekat dengan iman seorang Muslim, tentu dia sangat akrab dengan Kitab Suci. Berkenaan dengan hal ini perlu diketahui bahwa beberapa tahun silam, kami bertemu di sebuah studio rekaman kenamaan di Athena untuk menggarap rekaman dua bahasa Al Qur’an al-Karim utuh. Prosesnya: seorang qari’ Mesir membaca beberapa ayat, lalu ayat-ayat itu dibaca Gai Eaton dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan Marmaduke Pitckthall. Rekaman unik tersebut disponsori oleh Syaikh Sultan, penguasa Syarjah.
Gai Eaton hidup dalam tradisi para penulis seperti René Guenon, Frithjof Schuon, Titus Burckhardt dan Martin Lings, para pemikir Barat yang menggeluti kegamangan serius tentang nilai-nilai yang dianut membuta oleh peradaban tempat mereka hidup.
Tepat di awal bukunya Gai Eaton mengatakan bahwa dia dibesarkan sebagai seorang agnostik; dia lantas membuat simpulan menarik bahwa cuma mereka yang dengan satu dan lain cara melepaskan diri dari identitas Eropa atau Amerika yang bisa mengerti betapa menyesakkan peradaban itu. Dia membahas keyakinan buta mutakhir pada “progres”. Dia mengungkapkan betapa budaya Barat menatap ke depan dan menampik sebagian besar masa lalu. Sedangkan Islam justru cenderung melihat ke belakang yang, dalam soal spiritualitas, tak tertandingi keunggulannya oleh masa kini. Bagi Barat kemajuan tentu saja adalah kemajuan teknologi: sarana komunikasi lebih canggih, mobil lebih andal dan persenjataan lebih ampuh. Dari semua yang disebut capaian Barat—peningkatan harapan hidup, kesehatan lebih baik, dll.—pada akhirnya, di mata Gai Eaton, tidak berarti apa-apa. Dia menyitir pandangan filsuf Katolik Gustave Thibon yang membandingkan peradaban modern dengan sebuah kereta api yang melaju kencang menuju dasar jurang. Apa lantas menyelesaikan persoalan kalau kursi kereta terus menerus dimodifikasi agar lebih nyaman ditambah AC yang lebih sejuk? Bagi Muslim sejati, kata Gai Eaton, hanya ada satu parameter untuk mengukur perubahan—meningkatkan ketakwaan atau tidak? Kebanyakan pembaca boleh jadi menganggap itu adalah sikap ekstrem, tetapi pada sikap inilah penulis berpijak di sepanjang buku. Dia enggan, seperti kebanyakan orang yang menulis tentang agama, berkompromi dengan pihak-pihak yang tidak sepaham dengan pandangannya. Dia tidak takut merambah wilayah panas seperti Darwinisme dan teori evolusi, yang dia katakan sudah merusak banyak umat Kristen. Agama samawi, tandas Gai Eaton, tidak bisa hidup berdampingan dengan scientism.
Tidak itu saja, Gai Eaton juga tidak gentar menyoal “pusaka keramat” seperti demokrasi. Demokrasi diusung Barat sebagai lambang kedewasaan dan [oleh sebab itu] keunggulan politik. Era modern “rakyat” membenci elitisme: sekarang yang berjaya adalah kuantitas, bukan kualitas. Gai Eaton berpendapat bawah era modern sudah tidak mau menghormati elite dan mencoba bangkit dari mediokritas menuju sesuatu yang lebih baik. Zaman modern mencari pahlawan di kalangan awam, dan Gai Eaton membahas panjang lebar reaksi populer luar biasa terhadap kematian Putri Diana berikut citra sang putri yang diciptakan oleh media: “sebuah ikon yang dibangun dari kecengengan yang menjangkiti begitu banyak orang di zaman ini.” Sementara itu dunia Islam sedang dirambati penyebaran tak terbendung Weternesiasi yang produk-produknya membawa, laksana infeksi tak kasatmata, keyakinan, nilai, dan ilusi Barat.
Di Barat agama tradisional makin sering ditampik. Salah satu alasan bagi penolakan itu adalah pluralitas agama, terlebih bila menyangkut agama samawi. Gai Eaton menyampaikan situasi itu dengan pas dari sudut pandang orang skeptis zaman kita: Karena semua agama, dengan segala kontradiksi nyata mereka, tidak benar, maka semua pasti salah. Meski begitu, penulis kita ini juga tidak berusaha mengelak menjawab persoalan yang nampaknya tidak punya jawaban memuaskan itu.
Bagi saya bab paling menarik dalam bukunya adalah “Earth’s Complaint”. Dalam bab itu ia menyitir ayat Al Qur’an: “Janganlah membuat kerusakan di muka bumi setelah disempurnakannya.” Al Qur’an sarat dengan rujukan pada alam, tetapi peradaban kita malah makin menjauhkan kita dari ciptaan Tuhan. Gai Eaton mengatakan bahwa ada anak-anak di Eropa dan Amerika yang tidak tahu bahwa daging kalengan di toko swalayan tadinya adalah daging hewan hidup.
Tidak ada agama yang memberi tekanan lebih besar daripada Islam dalam perlakuan yang baik pada hewan. Gai Eaton menyampaikan banyak contoh tentang perbuatan baik Nabi kepada semua bintang, bahkan kepada anjing yang najis dan keledai yang tampangnya dungu itu. Sayangnya teladan Nabi ini sudah jarang diikuti di dunia Islam.
Bab “Cityscape” mengulas tentang bagaimana spiritualitas menjadi semakin tidak penting dalam kehidupan keseharian kita seperti di, misalnya, kota-kota “duniawi” di mana sebagian besar orang hidup, berdesakan namun tiada henti berusaha untuk tetap asing satu sama lain.
Mengingat Tuhan mempunyai premis dasar keyakinan, sebagaimana disampaikan Seyyed Hossein Nasr dalam pendahuluannya, “bahwa alfa dan omega kehidupan haruslah mengingat Allah dalam semua pengalaman berlainan yang membentuk perjalanan singkat yang di sini kita sebut hidup, tetapi sejatinya itu hanyalah pendahuluan bagi kehidupan kekal hakiki ...”
Wajar jika bagi kebanyakan pembaca buku ini menggelisahkan, walaupun ditulis dengan amat menawan, diwarnai selera humor penulisnya, bertaburan kutipan dan anekdot cerdas yang membuat buku ini bermanfaat bagi kita yang, suka atau tidak, mengakui bahwa kita adalah penumpang kereta api express Gustave Thibon dan sangat penasaran di mana perjalanan akan berakhir.

Charles Le Gai Eaton.
ABC International Group, Inc., 2000, h. 241.

Diresensi oleh: Denys Johnson-Davies

Sumber: Al-Ahram Weekly

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)